Menuju konten utama

Mahasiswa vs Nadiem: Menggugat Regulasi UKT ke Mahkamah Agung

Mahasiswa melayangkan uji materi peraturan Nadiem Makarim soal UKT ke MA. Mereka menilai peraturan ini bermasalah.

Mahasiswa vs Nadiem: Menggugat Regulasi UKT ke Mahkamah Agung
Gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi UNS Bergerak melakukan aksi damai dan teatrikal di depan kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) menutut penurunan UKT, kejelasan almamater, dan respons rektor di masa pandemi, Senin (20/7/2020) lalu. foto/Aliansi UNS Bergerak

tirto.id - Setelah melayangkan serangkaian protes lewat aksi massa, kini mahasiswa melangkah lebih jauh 'melawan' Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim lewat jalur hukum. Enam mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengajukan uji materi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 ke Mahkamah Agung, Selasa (21/7/2020) lalu.

Peraturan yang diteken Nadiem pada 18 Juni lalu ini menjadi pedoman bagi kampus jika hendak memberikan keringanan Uang Kuliah Tunggal (UKT) kepada mahasiswa yang ekonominya terdampak COVID-19.

Franscollyn Mandalika, salah satu mahasiswa penggugat, mengatakan pasal 9 ayat 1 yang menyatakan "mahasiswa wajib membayar UKT secara penuh pada setiap semester," bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 47 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 3 huruf e, Pasal 7 ayat 2, Pasal 63 huruf c UU Pendidikan Tinggi (Dikti), dan Pasal 26 ayat 2 dan Pasal 48 huruf d UU Penanggulangan Bencana.

"Apabila tetap diberlakukan, maka nyata-nyata menciptakan pendidikan yang tidak berkeadilan dan jauh dari kata menyejahterakan, serta menegaskan bahwa kampus memberikan layanan pendidikan dengan mengejar laba, yang secara jelas dilarang dan bertentangan dengan UU Dikti," kata Frans lewat keterangan tertulisnya yang diterima wartawan Tirto, Selasa (21/7/2020).

Penggugat lain adalah: Frans Josua Napitu, Ignatius Rhadite Prastika Bhagaskara, Michael Hagana Bangun, Jonasmer Simatupang, dan Machmud Alwy Syihab.

Menurut Frans, dalam kondisi bencana non-alam seperti saat ini, mahasiswa seharusnya tidak perlu membayar UKT secara penuh. "Pasalnya selama pandemi mahasiswa melakukan pembelajaran secara daring, yang menyebabkan tidak dinikmatinya hak berupa fasilitas yang sepadan dengan kewajiban pembayaran UKT secara penuh, apabila dibandingkan dengan kondisi normal."

Dalam kasus Universitas Sebelas Maret, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi UNS Bergerak menyebut kampus berhemat sebesar Rp10 miliar karena adanya sejumlah uang yang tak bakal keluar seperti persediaan bahan baku dan konsumsi, beban barang dan jasa, hingga beban perjalanan dinas.

Mereka lantas menilai kampus dapat "memberikan potongan UKT kepada seluruh mahasiswa."

Pasal bermasalah lain adalah pasal 10 ayat 1 huruf (d), yang berbunyi: "(1) PTN dapat memungut iuran pengembangan institusi sebagai pungutan dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa program diploma dan program sarjana bagi: d. Mahasiswa yang masuk melalui seleksi mandiri."

Permendikbud tersebut tidak mengatur berapa batas atas uang pangkal tersebut, oleh karenanya "dikhawatirkan akan menyebabkan kampus memungut uang pangkal secara sewenang-wenang." Kata Frans, pasal itu juga banyak bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi.

"Pemohon menganggap pasal itu telah mengakibatkan secara langsung kerugian terhadap Pemohon karena secara nyata-nyata telah menciptakan pendidikan yang tidak berkeadilan, diskriminatif, tidak terjangkau, dan tidak berdasar pada prinsip nirlaba serta bertujuan komersial," katanya. "Ibi jus ibi remedium--di mana ada hak, di sana ada kemungkinan menuntut, memperoleh, atau memperbaikinya bilamana hak tersebut dilanggar."

Terdapat delapan poin petitum yang diajukan oleh para mahasiswa, salah satunya menghukum Nadiem membatalkan permendikbud. "Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono)."

Dalam keterangan resmi pada 2 Juli lalu, Nadiem mengatakan lewat permendikbud ini, "mahasiswa yang menghadapi kendala finansial selama pandemi COVID-19 dapat mengajukan keringanan UKT."

Keringanan dapat diajukan oleh mahasiswa yang orang tua/penanggung biaya kuliahnya dapat dibuktikan mengalami kendala finansial terdampak pandemi. Kedua, tidak sedang dibiayai oleh Program Bidikmisi atau program beasiswa lain yang membiayai UKT/SPP baik secara penuh atau sebagian. Ketiga, mahasiswa yang sedang menjalani perkuliahan di semester 3, 5 dan 7.

Mahasiswa juga diperbolehkan tidak membayar UKT jika sedang ambil cuti atau tidak mengambil SKS karena sedang menunggu kelulusan. Kemudian, mahasiswa di masa akhir kuliah dapat membayar paling tinggi 50 persen UKT jika mengambil di bawah atau sebanyak 6 SKS. Ini berlaku bagi mahasiswa program sarjana dan sarjana terapan (S-1, D-4) semester 9 dan mahasiswa program diploma tiga (D-3) semester 7.

Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Remy Hastian mengatakan kebijakan itu terlalu biasa karena juga berlaku saat situasi normal. "Kalau bicara penurunan UKT dan mekanisme, kami juga rasakan saat masa normal. Mahasiswa diperbolehkan melakukan penyanggahan UKT di saat perekonomian keluarga sedang bermasalah," katanya 9 Juli lalu.

Sementara Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan skema bantuan ini "tidak merumuskan tentang kondisi khusus akibat COVID-19."

Kampus Tak Tahu, Kemdikbud Siap

Rektor Unnes Fathur Rohman mengaku tak tahu ada mahasiswanya yang melayangkan uji materi ke MA. "Segera saya koordinasikan dengan Dekan FH, baru mengambil sikap," katanya kepada wartawan Tirto, Rabu (22/7/2020) kemarin.

Dekan Fakultas Hukum Unnes, Rodiyah, juga mengaku tak mendapat informasi apa-apa. "Mahasiswa yang bersangkutan tidak ada informasi, koordinasi, atau pemberitahuan dengan pimpinan FH Unnes. Baik proses maupun yang terjadi di MA kemarin," katanya kepada wartawan Tirto, Kamis (23/7/2020) siang.

Sementara Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Nizam mengaku meski belum tahu, lembaganya siap jika harus mengikuti persidangan. "Kami selalu terbuka terhadap masukan-masukan untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi berbagai masalah, dalam koridor hukum dan peraturan perundangan yang ada," katanya kepada wartawan Tirto, Kamis siang.

Namun Nizam mengatakan kementerian akan lebih memilih mencari solusi lain yang lebih efisien--kendati tak menjelaskan detail.

"Tujuannya kan mencari solusi, bukan mencari masalah atau menambah masalah. Lebih baik energi kita fokuskan bersama-sama mencari solusi mengatasi situasi saat ini yang kita semua tidak harapkan," katanya.

Baca juga artikel terkait RELAKSASI UKT atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino