tirto.id - Salah satu mahasiwi Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Rasya Ramadhania, dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan oleh kampusnya sendiri.
Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2018 itu dituduh melangagr pasal 170 KUHP yakni "dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan."
"Iya, saya yang dilaporkan. Hanya saya sendiri," kata Rasya saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Rabu (15/7/2020) sore.
Kata Rasya, pihak Universitas Nasional melaporkan dirinya ke Polres Jakarta Selatan pada 23 Juni lalu. Ia mengaku sudah mendapat pemanggilan pertama pada 2 Juli lalu, namun kuasa hukumnya meminta untuk tidak datang ke pemanggilan.
Kasus Rasya didampingi oleh Charlie Albajili dari LBH Jakarta.
"Saya enggak datang pas pemanggilan. LBH Jakarta meminta saya untuk tidak mengikuti, karena cacat prosedural dan minta pengunduran waktu," kata Rasya.
Terkait cacat proseduran, kata Rasya, karena surat pemanggilan menggunakan pasal 170 KUHP untuk orang jamak, namun hanya dirinya yang dipanggil.
"Cuma pemanggilannya agak rancu, karena di sana tertulis kerusakan di muka umum secara bersama-sama. Pasal 170 KUHP. Sedangkan yang dipanggil cuma saya," katanya.
"Kuasa hukum bilang saya untuk tidak datang. Kalau pun saya datang, saya bukan jadi saksi maupun bukan jadi tersangka. Hanya klarifikasi saja. Tapi bisa jadi nanti saat pemeriksaan saya diapain-diapakan, ujung-ujungnya jadi pengembangan, dan bisa jadi tersangka," tambahnya.
Rektor Universitas Nasional, El Amry Bermawi Putera, menolak tudingan pelaporan mahasiswa ke Polres Jakarta Selatan adalah upaya kriminalisasi.
Ia mengatakan bahwa apa yang dirinya lakukan justru menunjukkan ketegasan kampus yang tidak menolerir adanya tindakan 'anarkis' di area kampusnya.
“Di sini, kami adalah korban dari tindakan demonstrasi anarkis dan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh oknum mahasiswa. Sehingga sangat wajar, apabila tindakan yang tidak terpuji ini kami laporkan ke pihak berwenang. Sebagai warga negara yang patuh hukum dan aturan perundang-undangan, kita wajib untuk menghormati jalannya proses hukum yang berlaku," kata El Amry, 6 Juli lalu.
Tindakan tersebut, kata El Amry, bertentangan dengan isi surat pernyataan bermaterai yang ditandatangani oleh mahasiswa ketika baru masuk Universitas Nasional.
Surat tersebut, tambah El Amry, menyatakan bahwa mahasiswa akan mematuhi seluruh peraturan, menjaga nama baik universitas serta tidak melanggar hal-hal yang dilarang oleh universitas. Surat pernyataan ini juga ditandatangani oleh orangtua dan berkekuatan hukum.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa atas nama UnasGawatDarurat (UGD) melakukan aksi protes terhadap biaya kuliah Universitas Nasional selama pandemi COVID-19, mereka menuntut adanya pemotongan atau pengurangan biaya kuliah hingga 65 persen.
"Sayangnya, aksi tersebut diwarnai dengan tindakan anarkis berupa pengerusakan mobil dosen, pembakaran ban, penguncian gerbang kampus, pemukulan terhadap karyawan dan pihak keamanan kampus hingga pembakaran jaket almamater," kata El Amry.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali