tirto.id - Alan Gumelar, 21 tahun, diberhentikan sementara selama enam bulan sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas). Pangkalnya karena Alan aktif dalam UnasGawatDarurat (UGD), aliansi mahasiswa yang mendesak transparansi dana dan pengurangan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di masa pandemi COVID-19.
Surat pemberhentian sementara diteken oleh Dekan FISIP Unas, Zulkarnain, 8 Juli lalu. Alan mengaku baru menerima surat itu sehari setelahnya.
Beberapa hari sebelumnya ia dan dua mahasiswa lain diundang dekanat. Pertemuan itu dihadiri jajaran Komisi Disiplin, Dekan dan Wakil Dekan FISIP, Kepala Program Studi, dan anggota Pusat Bantuan Hukum Unas. “Saat itu mereka bilang saya masih ikuti UGD, follow dan like setiap unggahan kegiatan UGD, dan membuat Instastory dukungan terhadap teman saya yang dipanggil pihak Polres Metro Jakarta Selatan,” kata Alan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/7/2020).
Alan mengatakan “tidak logis” jika keterlibatannya di gerakan tersebut dijadikan dasar kampus “melayangkan surat skors.” Menurutnya tidak ada yang salah dari kegiatannya itu.
UGD menolak kebijakan Unas yang hanya memotong UKT sebesar Rp100 ribu dan dapat ditambah Rp150 ribu lagi apabila menyertakan bukti kalau keluarga/wali mahasiswa terdampak pandemi Corona. Menurut dia, syarat kedua sangat merepotkan.
Selama pandemi, sistem kuliah di Unas berubah menjadi daring. Alan tetap membayar UKT sebesar Rp6.600.000 per semester padahal tidak ada fasilitas kampus yang ia gunakan. “Kami minta keringanan UKT karena pendapatan keluarga berkurang juga,” kata mahasiswa jurusan Administrasi Publik itu.
Selain itu, ia juga meminta pihak kampus menggelar audiensi terbuka, juga “setop kriminalisasi dan intimidasi kepada mahasiswa.”
Deodatus Sunda Se (24), mahasiswa asal Flores, Nusa Tenggara Timur, juga Koordinator UGD, bahkan tidak sekadar diskors, tapi dikeluarkan alias drop out (DO) lewat penetapan pada 7 Juli oleh Dekan FISIP Zulkarnain.
Dendy, sapaan akrab mahasiswa jurusan Ilmu Politik itu, mengatakan ada 37 mahasiswa yang dipanggil Unas karena terlibat di UGD. 10 di antaranya diberi sanksi: dua diskors, enam mendapat peringatan keras, dan dua lagi dipecat--termasuk dirinya.
“[Pemutusan] sepihak. Harusnya ada SP1, SP2, SP3, baru DO,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/7/2020).
Ia bilang mahasiswa meminta audiensi dengan petinggi Unas untuk mendesak “pemotongan [UKT] 50 sampai 60 persen.” Tapi alih-alih digubris, kampus malah meresponsnya dengan meneken surat-surat keputusan tersebut.
UGD terus bergerak meski ada intimidasi dari kampus, kata Dendy. Mahasiswa hendak mengajukan gugatan hukum agar surat-surat keputusan dicabut.
Ramai-Ramai Kecam Unas
Kebijakan Unas ini dikritik pelbagai pihak. Program Manager Lokataru Foundation, Mirza Fahmi, menilai Unas tidak peka terhadap mahasiswa yang notabene terdampak pandemi COVID-19.
Mirza juga mengatakan cara seperti itu tidak layak dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi. “Ini memperpanjang daftar kampus yang semakin bermusuhan dengan mahasiswa terkait kebebasan berpendapat,” ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (9/7/2020) pekan lalu.
Unas selaku lembaga pendidikan wajib melindungi kebebasan berpendapat mahasiswa dan tak menjadikan mereka sebagai “konsumen atau barang cetakan.” Ia menilai pejabat kampus dan mahasiswa setara dan oleh karenanya tidak perlu ada intimidasi.
Ia juga mengatakan kampus semestinya transparan soal UKT. Menurutnya tuntutan transparansi mahasiswa sangat wajar “jika Unas masih menganggap dirinya sebagai kampus, bukan lembaga kursus.”
Hal senada diungkapkan oleh pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait. Kepada reporter Tirto, Kamis (9/7/2020), ia menegaskan “apa yang diminta mahasiswa itu dijamin dalam UU.” Pasal 48 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tegas mengatakan: “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.”
Jeanny mengatakan apabila Unas tak mau buka-bukaan soal dana UKT, maka tak perlu mengintimidasi mahasiswa, apalagi memberi sanksi.
Ia juga mengatakan wajar bila mahasiswa masih terus menuntut kampus karena kebijakan terbaru dari Menteri Pendidikan da Kebudayaan Nadiem Makarim tak menjawab kegelisahan mereka. Peraturan yang dimaksud adalah Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada satu poin pun yang menyebutkan peraturan itu terkait dengan wabah. “Jika tak berdasar pada itu [situasi darurat], apa tujuan dikeluarkan Permendikbud ini?” kata Jeanny, menyebut alasan pertama.
Kedua, sebelum ada peraturan itu, ada beberapa PTN yang mengurangi ongkos UKT dan terdapat kata ‘dapat’ dalam ranah persetujuan pengurangan biaya. “Kata ‘dapat’ dalam bahasa hukum itu biasa. Tergantung pihak kampus menyetujui atau tidak,” katanya. “Ketika [pemenuhan hak] itu diberikan ke pihak kampus dengan kata ‘dapat’, sebenarnya negara sedang lepas tangan,” papar Jeanny.
Dalih Unas DO & Pidanakan Mahasiswa: Demo Tak Santun
Reporter Tirto telah mencoba mengonfirmasi kasus ini ke Rektor Unas El Amry Berwami Putera. Hingga Jumat (10/7/2020) malam, pesan singkat WhatsApp tak dibalas dan telepon tak diangkat sama sekali. Namun kata Humas Unas Marsudi, pesan tersebut tak diterima oleh Putera.
Akhirnya Marsudi mengirimkan hak jawab melalui surel ke redaksi Tirto, Selasa (14/7/2020). Isinya terkait penjelasan dari Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Unas Mochammad Ali Asghar. Menurutnya, sanksi yang diberikan berupa skorsing, peringatan keras, dan DO bukan hanya karena mahasiswa tersebut melakukan demonstrasi. Melainkan, karena para mahasiswa itu dituding melakukan tindakan kekerasan: memukul karyawan, menggembok gerbang kampus, dan merusak mobil dosen.
“Unas tidak melarang siapa pun dan menghargai siapapun termasuk mahasiswa menyalurkan pendapatnya di muka umum. Namun harus dilakukan dengan baik dan santun, tidak membahayakan orang lain, apalagi yang cenderung ke tindakan yang bersifat anarkis,” kata Asghar.
Landasan dari berbagai sanksi itu, kata Asghar, diatur dalam SK Rektor 112/2014, tentang tata tertib kehidupan kampus bagi mahasiswa. Menurutnya, saat masuk ke Unas, para mahasiswa sudah menandatangani surat pernyataan berlegal hukum: patuh terharap peraturan yang diterapkan Unas.
Asghar mengklaim, Unas telah melakukan prosedur: memanggil mahasiswa dan orangtuanya, dialog, hingga peringatan keras. Sanksi DO itu diberikan karena mahasiswa melakukan pelanggaran berat berupa: melanggar peraturan secara berulang.
“Semisal mahasiswa melakukan tindakan yang bertentangan dengan tata tertib yang meminta maaf kepada pihak kampus dan berjanji tidak akan mengulang kembali, maka pihak kampus akan memberikan sanksi dengan tindakan ringan,” tuturnya.
Rektor Unas El Amry Bermawi Putera juga menegaskan, sanksi yang diberikan, bukanlah tindakan kriminalisasi dalam penyampaian pendapat. Justru menurutnya, sanski DO maupun pelaporan ke polisi dengan jeratan Pasal 170 KUHP serta UU ITE itu, bukti Unas tak menolerir tindakan kekerasan terjadi di area kampus.
“Di sini, kami [Unas] adalah korban dari tindakan demonstrasi anarkis dan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh oknum mahasiswa. Sehingga sangat wajar, apabila tindakan yang tidak terpuji ini kami laporkan ke pihak berwenang. Sebagai warga negara yang patuh hukum dan aturan perundang-undangan, kita wajib untuk menghormati jalannya proses hukum yang berlaku," kata Putera.
Unas mengklaim saat pandemi COVID-19, telah memberikan berbagai kemudahan ke mahasiswa dalam hal pembelajaran jarak jauh. Mereka dapat mengakses perkuliahan online secara gratis dengan menggunakan operator Telkomsel dan Indosat. Selain itu, Unas memberikan potongan biaya kuliah, ke seluruh mahasiswa sebesar Rp100 ribu dan ada penambahan Rp150 ribu jika memenuhi syarat tertentu.
Kampus Gemar DO Mahasiswa
Bernasib sial karena diskors atau bahkan di-DO tak hanya dirasakan oleh para mahasiswa Unas. Berdasar laporan Lokataru Foundation berjudul "Babak Belur di Kampus Sendiri", kasus mahasiswa yang diskors dan di-DO jamak terjadi pada periode September 2019 hingga Januari 2020--periode Menteri Nadiem sudah bekerja.
Semua kasus tersebut rata-rata berkaitan dengan kebebasan akademik, kebebasan berpendapat, hingga tuntutan transparansi. Ini ironis karena salah satu program atau jargon yang dibanggakan Menteri Nadiem adalah 'Kampus Merdeka'.
Beberapa hari setelah Nadiem dilantik menjadi Mendikbud, 31 Oktober 2019, 11 mahasiswa Universitas Darma Persada Jakarta Timur mendapatkan surat peringatan dan terancam di-DO oleh rektor lantaran menggelar aksi damai menuntut transparansi dan perbaikan sistem birokrasi kampus.
Setelahnya, 12 Desember 2019, empat mahasiswa Universitas Khairun Ternate juga di-DO secara sepihak karena ikut aksi Front Rakyat Indonesia West Papua.
Di bulan yang sama, 11 mahasiswa Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika Komputer (STMIK) Akba Makassar di-DO berdemonstrasi ihwal pemberlakuan jam malam.
Kemudian, pada awal tahun 2020 kasus DO massal dialami 28 mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar, Sulawesi Selatan. Sebabnya sepele: mereka menggelar aksi memprotes kebijakan yang mengharuskan mahasiswa memiliki IPK minimal 3.00 untuk dapat menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam mengaku belum pernah mendengar kasus-kasus DO dan skors yang dihimpun oleh Lokataru Foundation maupun kasus terakhir di Unas. Namun ia menegaskan DO bisa terjadi karena berbagai sebab, entah akademik maupun non-akademik, yang semua didasarkan pada norma dan regulasi di masing-masing kampus.
“Tidak pernah pemerintah meminta kampus men-DO mahasiswa. Itu kewenangan kampus sesuai dengan statuta dan tata norma di masing-masing kampus,” ujar Nizam Nizam kepada wartawan Tirto, Jumat (10/7/2020).
Dia mengatakan lahirnya UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sedari awal sudah menekankan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik sebagai ruh pendidikan tinggi, serta otonomi perguruan tinggi untuk mewujudkan kedua prinsip tersebut. Oleh karena itu, kata Nizam, pemerintah tak perlu turun dan mengatur urusan kampus, karena akan mencederai prinsip otonomi perguruan tinggi.
“Tapi kalau kampus sewenang-wenang dan melanggar hak mahasiswa,” katanya, “diadukan saja ke yang berwenang.” “Kalau yang dilanggar norma akademik adukan ke Kemdikbud. Kalau yang dilanggar norma tata kelola ya adukan ke PTUN. Kalau kriminal, laporkan ke polisi,” kata dia.
==========
Catatan redaksi Tirto: Kami mengubah naskah ini dengan memasukkan hak jawab dari rektorat Unas pada, Selasa (14/7/2020). Sebab Humas Unas Marsudi mengatakan, pesan singkat dan panggilan telepon yang dilakukan reporter kami, tak diterima Rektor Unas El Amry Berwami Putera. (Redaktur Pelaksana/Dieqy Hasbi Widhana)
Penulis: Haris Prabowo & Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan