tirto.id - Bea Cukai dan Imigrasi Amerika Serikat atau Immigration and Customs Enforcement (ICE) mengeluarkan kebijakan baru yang membuat mahasiswa internasional ketar-ketir. Dalam rilis resmi ICE, dilansir 6 Juli lalu, disebutkan bahwa jika kampus menyelenggarakan kuliah online secara penuh--akibat pandemi COVID-19--semester depan, mahasiswa yang memegang visa berjenis F-1 "harus meninggalkan Amerika Serikat" dan pulang ke negara masing-masing.
Jika menolak, "mereka mungkin menghadapi konsekuensi imigrasi termasuk, tetapi tidak terbatas pada, inisiasi proses penghapusan" alias deportasi.
CNN menyebut kebijakan baru ini bisa berdampak ke lebih dari 1 juta mahasiswa, dan sebagian besar berasal dari Asia. Pada tahun akademik 2018-2019, ada 370 ribu mahasiswa dari Cina, 202 ribu dari India, dan 52 ribu dari Korea Selatan.
Sementara mahasiswa Indonesia, per Februari lalu, kira-kira berjumlah 9.000. Data yang wartawan Tirto terima dari KJRI di Los Angeles menyebut kota itu dihuni 894 mahasiswa Indonesia per Mei, sudah termasuk pemegang F-1, J-1, dan permanent resident.
Mahasiswa Indonesia di Amerika memegang visa F-1 atau J-1. Ada beberapa perbedaan di antaranya kedua jenis visa, di antara dalam aspek dari mana biaya kuliah berasal (apakah dari sponsor termasuk pemerintah atau lembaga donor atau uang pribadi) dan apa jenis pekerjaan yang bisa diambil--kalau mau.
Seorang mahasiswa Internasional, D.V., melawan dengan membuat petisi pada hari yang sama dengan keluarnya kebijakan baru. Salah satu alasan penolakan adalah para mahasiswa internasional setidaknya menyumbang pendapatan negara hingga 41 miliar dolar AS tiap tahun.
Jika berhasil mendapat 100 ribu tanda tangan dalam waktu 30 hari, isu akan dibahas di Kongres. Hal tersebut dijamin dalam konstitusi, beda dengan petisi sejenis di Indonesia. Jadi, ada peluang peraturan ini dibatalkan.
Hingga naskah ini diedit, 9 Juli siang waktu Jakarta, petisi telah ditandatangani sebanyak hampir 250 ribu kali.
Dikritik Mahasiswa Indonesia
Meski mungkin akan dibatalkan, tetap saja kebijakan ini membuat ketar-ketir.
Surya Sahetapy, mahasiswa Indonesia jurusan kajian internasional global di Rochester Institute of Technology, mengatakan pasti akan banyak sekali kendala jika ia harus mengikuti perkuliahan online dari Indonesia. Salah satunya adalah perbedaan waktu hingga 12 jam. Jika balik, ia kudu begadang semalam suntuk untuk berkuliah dan berkomunikasi dengan dosen 'di luar kelas'. Dan itu bakal terus dilakukan hingga empat bulan--waktu efektif satu semester.
Selain itu, ia memperkirakan akan muncul pula masalah seperti akses internet yang tak secepat di Amerika hingga keterbatasan mengakses referensi.
"Akan sangat berat. Saya dibiayai beasiswa. Kalau nilai jelek, sangat berpengaruh. Saya jadi enggak bisa selesaikan pendidikan lebih awal," katanya kepada wartawan Tirto, Rabu (8/7/2020) malam waktu Jakarta.
Ada satu hal lagi yang akan sulit ia dapatkan jika menjalankan kuliah daring jarak jauh lintas benua: fasilitas untuk difabel. "Di sini saya dipenuhi akses [untuk] tuli," katanya.
Nasib Rikianarsyi Arrassyidinta, mahasiswa School of Advanced International Studies (SAIS) Johns Hopkins University (JHU), mungkin lebih baik. Kampus Riki menerapkan sistem perkuliahan campuran--online dan offline--untuk semester depan, yang memungkinkan dia tidak terkena dampak dari kebijakan terbaru pemerintahan Donald Trump.
Kebijakan Trump ini memang menyasar mahasiswa di kampus-kampus yang menyelenggarakan perkuliahan daring penuh. Mahasiswa pemegang visa F-1 dapat tetap berada di Amerika jika mereka berkuliah di kampus yang menerapkan sistem perkuliahan campur--Riki salah satunya--atau pindah ke kampus yang menerapkan kuliah dengan metode tersebut.
"Karena JHU sudah memiliki kebijakan tersebut, JHU tidak terlalu terdampak dengan kebijakan SEVP-ICE. Visa F-1 international students JHU secara umum masih berlaku," kata Riki kepada wartawan Tirto.
Namun, hal itu tak membuat dirinya tenang sepenuhnya. Pandemi COVID-19 di Amerika yang tak menunjukkan tanda-tanda penurunan, bahkan sedikit lagi mencapai tiga juta korban, membikin kebijakan kampusnya dapat berubah di tengah semester. "Kalau ada yang kena COVID-19 dan sekolah jadi ditutup, otomatis mahasiswa internasional akan terdeportasi," katanya.
Jika ini terjadi, maka sama seperti Surya, Riki juga mungkin harus berkuliah malam hari. "Meskipun online, rata-rata perkuliahan dilakukan secara virtual, bukan pre-recorded. Jadi harus hadir di jam dan waktu yang ditentukan."
"Kesulitan lain mungkin berkaitan komunikasi dengan dosen yang sama seperti di Indonesia, dosen super senior sering mengalami kesulitan dengan penggunaan teknologi perkuliahan online," katanya menambahkan.
Kebijakan Rasis
Asma Zahratun Nabila, mahasiswa jurusan keadilan sosial dan hak asasi manusia di Arizona State University, menilai kebijakan Trump sangat tidak sensitif terhadap situasi mahasiswa internasional yang serba kesusahan saat pandemi.
Selain itu, menurutnya kebijakan ini cenderung rasis dan anti-imigran, sebagaimana kebijakan-kebijakan Trump yang lain. "Menegasikan bahwa AS sendiri pihak yang sangat diuntungkan dari keberadaan imigran, terutama dalam hal ini jutaan pelajar internasional," kata Asma kepada wartawan Tirto.
Asma adalah mahasiswa pemegang visa J-1. Meski tak terdampak--setidaknya saat ini--ia mengaku khawatir dengan nasib kawan-kawannya yang memegang visa F-1. "Teman-teman LPDP juga termasuk F-1 holder," katanya. LPDP alias Lembaga Pengelola Dana Pendidikan adalah beasiswa yang disediakan Kementerian Keuangan. Direktur Utama LPDP Rionald Silaban menyebut saat ini ada 800 mahasiswa peraih beasiswa LPDP di Amerika.
"Sejauh ini yang bisa kita lakukan cuma ikut tanda tangan di petisi," katanya, menjelaskan apa yang mahasiswa lakukan untuk tidak dideportasi.
Vonis serupa diungkapkan mahasiswi ilmu politik di Northwestern University Aulia Dwi Nastiti. "Sebenarnya saya enggak heran ada kebijakan seperti ini," katanya saat dihubungi wartawan Tirto. "Sebelum ini, sudah ada beberapa kebijakan serupa. Kebijakan yang memiliki semangat yang sama untuk mengeksklusi mereka yang berbeda. Intinya paranoid."
Ia menilai kebijakan ini hanya agar Trump terlihat berani mengusir imigran, di luar itu tak ada alias tak memiliki tujuan yang jelas.
Kebijakan ini juga bakal ditentang habis-habisan termasuk dari kampus. "Higher education institutions cukup terbuka dengan perbedaan dan kerap bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah," katanya. Kampus yang sudah terang-terangan melawan adalah Harvard dan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Mereka mengajukan gugatan di pengadilan federal di Boston.
Terakhir, ia menilai kalaupun benar-benar terlaksana, penerapannya akan sulit. "Apa iya pihak imigrasi akan cek satu-satu ke kampus dan asrama?"
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino