tirto.id - Bukan Donald Trump namanya jika tak mencetuskan kebijakan yang bikin geger. Pemerintahan Trump baru-baru ini mengeluarkan keputusan yang membuat anak-anak imigran terpisah dari orangtua mereka. Jumlahnya tak cuma satu dua, melainkan ribuan anak.
Kebijakan tersebut adalah bagian dari upaya pemerintahan Trump dalam mengendalikan laju imigrasi ke AS. Wacana seputar kebijakan ini sudah digaungkan sejak April silam. Kala itu, Jaksa Agung AS, Jeff Sessions, mengatakan bahwa pemerintah bakal menindak tegas setiap imigran yang nekat masuk wilayahnya lewat perbatasan, secara ilegal. Hukuman penjara siap menanti jika mereka masih saja bersikukuh untuk menginjakkan kaki di tanah Abang Sam.
Ironisnya, anak-anak imigran pun kena imbas dari kebijakan tersebut. Mengingat anak-anak tidak diizinkan undang-undang untuk ditahan di penjara federal, maka mereka diambil dari orangtuanya—sebelum nantinya ditempatkan di Kantor Penampungan Pengungsi (ORR). Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS menyebutkan bahwa sekitar 2.342 anak di bawah umur telah dipisahkan dari orangtuanya selama 5 Mei hingga 9 Juni 2018.
“Jika Anda membawa seorang anak untuk juga diselundupkan, maka kami akan menuntut Anda dan yang pasti anak itu bakal dipisahkan dari Anda, sesuatu aturan hukum,” kata Sessions. “Jika Anda tidak suka hal itu, maka jangan sekali-kali menyelundupkan anak-anak di perbatasan kami.”
Sontak, kecaman pun bermunculan. Masyarakat AS dan global ramai-ramai mengutuk Trump dan anteknya. Mereka menilai, kebijakan memisahkan anak dari orangtuanya merupakan langkah yang “tak manusiawi,” “tidak bermoral,” dan “tidak bisa ditolerir.” Bahkan, demonstrasi berskala nasional diorganisir agar Trump menganulir kebijakan yang acapkali disebut “Nol Toleransi” itu.
“Faktanya, memisahkan anak dari keluarganya dapat menyebabkan anak mengalami gangguan psikologis yang tak dapat diperbaiki. Otak mereka terganggu yang bisa saja memengaruhi kondisi kesehatannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang,” ungkap Presiden American Academy of Pediatrics, Colleen Kraft, yang sempat mengunjungi anak-anak imigran korban kebijakan Trump di Texas.
Sadar tekanan yang ditujukan kepadanya sangat kuat (termasuk dari keluarganya sendiri), pada 20 Juni, Trump menandatangani executive order untuk menghentikan pemisahan anak dari orangtua. Lewat aturan tersebut, anak-anak imigran sedianya bakal dikembalikan ke orangtua mereka, sebelum nantinya dideportasi.
Aturan boleh saja disepakati. Namun, sejauh ini, pemerintah AS menolak meminta maaf atas apa yang mereka lakukan. Bagi pemerintah Trump, kebijakan ini punya landasan hukum yang kuat dan bertujuan untuk melindungi keamanan negara.
“Kami tidak akan meminta maaf atas kerja-kerja yang kami lakukan atau setidaknya untuk penegakan hukum yang kami tempuh,” jelas Sekretaris Departemen Keamanan Dalam Negeri, Kirstjen Nielsen, kepada CNN. “Tindakan ilegal punya konsekuensi. Untuk mereka yang melanggar, tidak ada lagi tiket gratis dan tidak ada lagi yang lolos dari kartu bebas penjara.”
Obama Juga, Tapi Trump Lebih Parah
“Ini kesalahan [Partai] Demokrat karena lemah dan tidak bertindak efektif dalam menangani kejahatan dan keamanan di perbatasan. Katakan kepada mereka untuk mulai berpikir mengenai orang-orang yang akan hancur oleh aksi kejahatan dari imigran ilegal. Ubah hukum!”
Itulah yang diucapkan Trump lewat akun Twitter pribadinya. Ia menolak bertanggung jawab (dan disalahkan) atas kebijakan imigrannya, serta lebih memilih mengkambinghitamkan Partai Demokrat, yang menurutnya juga punya andil dalam kekacauan yang terjadi.
Kebijakan menangkapi imigran gelap yang berusaha masuk ke AS memang bukan kebijakan yang baru. Pemerintahan sebelum Trump, yang dipimpin Barack Obama dan gerbong Demokrat-nya juga menempuh langkah serupa, seperti yang dilakukan Trump sekarang.
Selama dua periode pemerintahan Obama, sudah lebih dari dua juta imigran gelap dideportasi dari AS. Jumlah itu merupakan yang terbesar sepanjang sejarah serta menjadikannya sebagai presiden dengan rekor mendepak imigran terbanyak dibanding presiden mana pun.
Empat tahun silam, Obama mengalami apa yang dialami Trump. Kala itu, gelombang imigran dari Amerika Tengah (Guatemala, Honduras, El Salvador) meningkat tajam. Washington kelimpungan. Mereka pun mengambil langkah hukum dengan memproses para imigran ilegal tersebut.
Namun, yang membedakan antara Obama dan Trump, sebagaimana ditulis Dara Lind dalam “What Obama Did with Migrant Families vs. What Trump Is Doing” yang terbit di Vox, adalah bahwa kebijakan penahanan di era pemerintahan Obama tidak membuat anak-anak terpisah dari keluarganya. Hal inilah yang tidak dijumpai di era Trump. Anak-anak imigran yang ditahan di pemerintahan Obama tetap dipersilahkan berkumpul bersama orangtuanya. Tujuan Obama melakukan hal ini adalah agar proses hukum terhadap mereka lebih cepat dan efektif dilakukan.
“Bush dan Obama tidak memiliki kebijakan yang menghasilkan pemisahan massal orang tua dan anak-anak seperti yang kita lihat di bawah pemerintahan saat ini,” ungkap Sarah Pierce, analis kebijakan dari Migration Policy Institute, kepada USA Today.
Persoalannya, hanya itu sisi positif yang dicapai pemerintahan Obama dalam menangani krisis imigran 2014. Lind dalam tulisannya yang lain berjudul “Why Is the Obama Administration Still Fighting to Keep Immigrant Families Behind Bars?” yang dipublikasikan Vox mengungkapkan kendati anak-anak tidak dipisah dari keluarganya, pemerintahan Obama dinilai melanggar kesepakatan Flores 1996 (Flores settlement).
Pasalnya, menurut kesepakatan Flores 1996, anak-anak imigran ilegal harus ditempatkan dalam fasilitas yang proporsional. Artinya, anak-anak tidak boleh dimasukkan sel tahanan. Mereka wajib mendapatkan perlakuan yang mampu melindungi kondisi kesehatan dan psikologisnya. Tapi, realitas berkata lain. Anak-anak ini justru ditahan di Hutto Residential Center, Texas—tempat penahanan yang sempat ditiadakan pemerintahan Bush pada 2006 namun kembali dihidupkan Obama delapan tahun kemudian sebagai imbas dari krisis perbatasan wilayah.
Di Hutto, mengutip The New York Times, anak-anak tidak mendapatkan perlakuan yang layak. Mereka seperti hidup dalam penjara; tak cukup makan, jam pendidikan kurang, dan rentan ditempatkan di ruangan yang berbeda dari orangtuanya. Total, ada lebih dari 3.000 ibu dan anak imigran yang berada dalam tahanan Hutto.
Selain perlakuan yang jauh dari layak, para imigran juga ditahan dengan cara tidak sesuai dengan undang-undang federal. Regulasi menyebut imigran tidak boleh ditahan lebih dari 20 hari. Namun, yang terjadi nyatanya berkebalikan. Para tahanan justru ditahan sampai berbulan-bulan. Alasan pemerintah Obama saat itu: “proses hukum masih berjalan.”
Dari sini kita bisa paham bahwa kebijakan menangani imigran baik di era Trump maupun Obama sama-sama punya sisi negatif. Trump memisahkan anak dari keluarganya. Sementara Obama menempatkan anak-anak di dalam tahanan yang mirip penjara walaupun bersama orangtua. Kedua pemerintahan tersebut seperti menegaskan anggapan bahwa mungkin saja, sampai kapanpun, AS memang tak betul-betul ramah dalam membuka diri kepada kedatangan imigran.
Mengingatkan Jepang
Laura Bush, mantan first lady AS, dalam tulisannya di Washington Post, mengatakan bahwa apa yang terjadi pada anak-anak imigran yang dipisahkan dari orangtuanya mengingatkan kejadian penahanan massal warga Jepang-Amerika selama Perang Dunia II.
Usai Pearl Harbor luluh lantak oleh serangan sekutu pada 7 Desember 1941, Presiden AS waktu itu, F.D. Roosevelt, mengeluarkan perintah kepada militer untuk memindahkan penduduk AS keturunan Jepang—terutama yang tinggal Pantai Barat—ke kamp pengasingan di Arkansas.
Atas nama “ancaman keamanan nasional,” sekitar 120 ribu warga AS keturunan Jepang dipaksa meninggalkan rumah, pekerjaan, dan masa depan mereka untuk kemudian menempati kamp yang dikelilingi kawat berduri dan penjagaan pasukan bersenjata, selama bertahun-tahun. Bahkan, sebagian anak-anak harus terpisah dari orangtuanya karena aparat menahannya dengan alasan “melanggar aturan,” “melawan perintah” maupun “memberontak.”
Titik balik datang tatkala, mengutip TIME, ilmuwan politik dari University of California, Peter Irons, memperoleh dokumen kunci yang didapatkannya lewat UU Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act). Dalam dokumen tersebut disebutkan pemerintah federal mengetahui bahwa orang Jepang-Amerika “sama sekali bukan ancaman keamanan nasional.”
Momen itu membuka kesadaran publik akan kebusukan pemerintah AS yang kemudian menuntun pada keluarnya permintaan maaf resmi dari pemerintah—diwakili Presiden Reagan—di tahun 1988. Reagan mengatakan bahwa pengasingan orang-orang Jepang merupakan bentuk “prasangka rasial, histeria perang, serta kegagalan kepemimpinan politik.”
Satsuki Ina, profesor emeritus dari California State University menjelaskan, pemisahan yang dialami anak-anak Jepang-Amerika dan imigran dari orangtuanya dapat memengaruhi kesehatan dalam jangka panjang. “Pemisahan dari orangtua adalah pengalaman paling traumatis yang dapat dirasakan oleh anak,” tuturnya. “Pengalaman itu mampu mengubah kondisi syaraf anak setiap hari.”
Sebagai anak yang pernah merasakan bagaimana terpisah dari orangtua kala diasingkan pemerintah AS, Ina menambahkan, trauma tersebut seiring waktu juga dapat menyebabkan depresi, rasa bersalah, dan ketakutan yang tak ada habisnya seumur hidup.
Semoga Trump paham akan hal ini.