tirto.id - Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (UTA '45) Jakarta Virgo Simamora memasang wajah serius saat menerima tujuh mahasiswa di ruang kerjanya. Hadir juga salah satu wakil rektor, Rajesh Khana.
Siang itu, 6 Juli lalu, Nanda Rizka Saputri dan kawan-kawan datang untuk memprotes kebijakan kampus yang tidak memberikan potongan biaya wisuda, yang mencapai Rp3,5 juta. Menurut mereka pemotongan dapat dilakukan karena toh wisuda dijalankan secara daring. Kampus tak perlu mempersiapkan banyak hal.
"Bu, ini soal pembiayaan [wisuda] bagaimana? Apa tidak ada pengembalian? Karena situasinya kita wisuda online," kata Nanda memulai percakapan. Mereka menuntut pengembalian uang wisuda 50 persen.
Rektor Virgo menegaskan kampus tak akan mengembalikan dana. Dengan kata lain, menolak tuntutan. "Saya tunggu itikad baik dari kampus untuk memikirkan ulang tentang kebijakan ini. Kami keberatan kalau anggaran wisuda online disamakan dengan wisuda offline," balas Nanda.
Nanda menceritakan ulang semua percakapan saat audiensi hari itu kepada wartawan Tirto, Rabu (29/7/2020) pagi.
Para mahasiswa juga mendesak transparansi kampus untuk menunjukkan rincian anggaran biaya untuk wisuda. Namun, kata Nanda, Rektor Virgo lagi-lagi menolak.
"Saya ini rektor. Saya tidak punya kewajiban melaporkan apa pun, apalagi terkait anggaran kepada kalian. Kalian enggak punya hak," kata Virgo sepenuturan Nanda.
"Enggak bisa begitu, Bu. Itu uang orang tua. Saya harus bagaimana menjelaskan ke orang tua? Karena orang tua tahu kalau wisuda online dan offline itu beda. Kita enggak datang ke lokasi," kata mahasiswa lain yang duduk di sebelah Nanda.
Rektor Virgo kembali mendebat. "Itu, kan, logika bapak ibumu. Bukan logika kita. Ya, kalau memang saya mau untung, memangnya kenapa?"
Pernyataan pejabat nomor satu di UTA '45 sontak bikin kaget para mahasiswa. Kalimat terakhir Rektor Virgo itu belakangan muncul sebagai meme di media sosial. Kita bisa menemukannya ramai dipublikasikan lewat tagar #kampuskuzonamerahkeadilan di Instagram.
Uang Tak Kembali
Semua bermula pada 2018 lalu. Nanda, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) angkatan 2014, baru saja menyelesaikan studinya. Ia bersama seluruh mahasiswa lain yang lulus dari FISIP kudu membayar Rp2.250.000 untuk sidang akhir dan untuk wisuda Rp3.500.000.
Tiba-tiba kampus mengundur wisuda hingga November 2019. Itu artinya, seluruh mahasiswa yang lulus pada 2018, termasuk Nanda, akan mundur satu tahun.
Jadwal wisuda diundur kembali menjadi April 2020 berdasarkan Surat Edaran Pengumuman No.35/SK-REK/UTA/P.WSD/II/2020 Tentang Pelaksanaan Wisuda, tertanggal 19 Februari 2020. Itu artinya, mahasiswa yang lulus pada tahun 2019 pun akan mundur juga. Namun, karena pandemi Corona menyerang Indonesia, 18 Maret 2020 kampus membatalkan surat edaran itu.
Empat bulan setelahnya, UTA '45 akhirnya mengambil kebijakan akan melaksanakan wisuda secara daring pada 27 Juli 2020. Kebijakan itu diambil lewat SK Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta No.32/SK-REK/PWO/VI/2020 tentang Pelaksanaan Wisuda Online, tertanggal 22 Juni 2020.
Dari sinilah beberapa masalah mulai muncul. Nanda dan beberapa kawannya mempertanyakan mengapa di dalam SK tersebut hanya membahas penetapan wisuda daring, tapi tak ada inisiatif kampus mengembalikan atau memotong dana wisuda sebesar Rp3.500.000. Mereka pikir, dengan wisuda jarak jauh, tak ada biaya besar yang terpakai seperti wisuda secara bersama di dalam gedung.
"Kami minta audiensi ke rektor pada 28 Juni, untuk audiensi 1 Juli, diabaikan. Permintaan kedua, kami pakai tembusan ke Dirjen Dikti pada 2 Juli, untuk audiensi 6 Juli. Surat kedua direspons kampus, saya ditelepon. Saya dan beberapa perwakilan mahasiswa datang," kata Nanda.
6 Juli itu Nanda dan enam mahasiswa perwakilan berhasil audiensi ke Rektor Virgo dan menyampai beragam protes. Namun hasilnya nihil.
Kurang lebih ada sekitar 640an mahasiswa yang terdaftar sebagai peserta wisuda UTA '45 tahun ini. Nanda bersama kawan-kawan mengaku telah menggalang dukungan 400an peserta wisuda--lebih dari setengahnya. Para mahasiswa pun meminta bantuan hukum kepada advokat Lembaga Bantuan Hukum Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (LBH SEMMI), Gurun Arisastra, alumnus UTA '45.
Wisuda Berantakan, Mahasiswa Ditekan
Hari pelaksanaan wisuda daring tiba: Senin, 27 Juli 2020.
Para mahasiswa tergabung ke dalam gerakan protes mengatur strategi dan membagi tugas: 10 orang mendatangi Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama kuasa hukum, sisanya tetap mengikuti wisuda daring.
Mereka melaporkan segala kerugian dan modus kampus dalam mencari keuntungan lewat wisuda daring tanpa mengembalikan uang ke Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Kopertis Wilayah III. Birokrat mengaku akan mengonfirmasikan semua hal ke pihak kampus dan akan mediasi jika diperlukan.
Di saat bersamaan, wisuda UTA '45 sedang berlangsung secara daring via Webex. 15 orang peserta wisuda ditunjuk untuk hadir ke kampus secara offline untuk penyematan seremonial mewakili program studi masing-masing--kendati perwakilan Teknik Mesin tak hadir ke lokasi, alias boikot.
Peserta wisuda lain yang hadir secara daring hanya disebutkan namanya saja, tanpa dimunculkan wajah hingga informasi seperti IPK oleh kampus. Keadaan seperti itu membikin mahasiswa semakin kecewa.
"Kami seolah ikut webinar wisuda. Hanya melihat orang wisuda dari jauh. 3,5 juta rupiah ke mana?" kata Nanda, mendapat laporan dari teman-temannya.
Karena kadung kesal, para mahasiswa akhirnya mengganggu prosesi wisuda. Ada salah satu peserta yang berteriak lewat mikrofon saat penyematan toga oleh Rektor Virgo kepada salah satu perwakilan peserta yang hadir langsung.
Dari rekaman prosesi wisuda yang wartawan Tirto terima, bahkan ada beberapa wisudawan yang teriak meminta uang dikembalikan. Para peserta wisuda pun banyak yang ditendang keluar dari Webex.
Belakangan, pihak UTA '45 menghapus video prosesi wisuda dari kanal Youtube dan mengatakan wisuda berjalan lancar dan normal di Instagram. Namun, mahasiswa tak bisa diam dan ikut menghujani komentar.
Karena aksi protes lewat meme dan tersebarnya video prosesi wisuda yang berantakan, banyak peserta wisuda yang mendapat intimidasi dan ancaman dari pihak kampus. Mereka diancam akan dilaporkan ke polisi atas pencemaran nama baik, diancam ijazahnya akan ditahan karena dianggap menghina rektor, hingga ancaman penarikan beasiswa.
"Melebar ke mana-mana. Ada dugaan 33 nama yang mau dilaporkan ke polisi. Mau dipidanakan karena menyuarakan ketidakadilan. Sedih," kata Nanda.
Saat dikonfirmasi, Rektor Virgo mengaku kebingungan. Ia mengklaim sebagian wisudawan merupakan penerima beasiswa yang tidak membayar uang kuliah sejak awal hingga akhir--kendati ia tak menyebut berapa mahasiswa penerima beasiswa dari total 648 wisudawan.
"Saya bingung juga menjawabnya. Sebagian besar mereka penerima beasiswa, bahkan tidak membayar uang kuliah dari sejak awal masuk ke kampus. Nanda juga penerima beasiswa dari yayasan," kata dia saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Rabu sore.
Nanda membenarkan banyak wisudawan yang merupakan penerima beasiswa. Tapi, ia menegaskan biaya wisuda Rp3,5 juta tidak termasuk ke dalam beasiswa. Artinya, mahasiswa harus bayar sendiri.
Virgo juga membenarkan ada pertemuan antara dirinya dengan mahasiswa pada awal Juli lalu membahas transparan dana wisuda. Namun, katanya, "saya tidak punya kewajiban melakukan itu kepada mahasiswa."
Ia tak menjawab pertanyaan lain wartawan Tirto terkait perlunya institusi kampus transparan, memberikan informasi rinci keperluan biaya wisuda, hingga mengenai kabar kampus hendak melaporkan mahasiswa ke polisi. Virgo menolak untuk ditelepon dan meminta kami menghubungi wakilnya saja, Rajes Khana.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino