Menuju konten utama

Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Dikritik, Ini Respons Jimly

Saat merespons polemik putusan MK terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah, Jimly Asshiddique juga singgung putusan Hasto dan Tom Lembong.

Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Dikritik, Ini Respons Jimly
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshidique kata Jimly di Rumah Duka Sentosa, RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (29/7/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

tirto.id - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, meminta agar DPR RI menghargai putusan MK Nomor 135/PUU terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah yang berlaku pada 2029.

Dia pun mengimbau bahwa putusan tersebut mesti tetap diikut, terlepas suka atau tidaknya. Dia menilai setiap keputusan dalam kebijakan memang tidak selalu memuaskan semua pihak.

“Ya udah, kalau sudah diputus oleh MK, ya kita ikut aja, walaupun kita enggak suka. Kayak misalnya putusan Tom Lembong, putusan Hasto, tidak selalu memuaskan semua orang,” kata Jimly saat ditemui di Rumah Duka Sentosa, RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (29/7/2025).

Mengingat Indonesia merupakan negara hukum, Jimly mengingatkan sudah sepatutnya para pejabat termasuk anggota dewan di DPR RI mengikuti putusan pengadilan. Dengan demikian, meskipun mereka merasa keberatan, sebaiknya disimpan saja di dalam hati sehingga tak perlu terlalu digemborkan.

Pernyataan ini disampaikan Jimly sekaligus merespons sikap DPR RI yang mengklaim putusan MK soal pemisahan pemilu itu bersifat inkonstitusional.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie.ANTARA FOTO/Galih Pradipta/tom.

"Bedakan kalau kita pejabat dengan warga negara biasa. Kalau warga negara biasa boleh menghujat, tidak setuju kepada putusan pengadilan, boleh. Gak ada masalah. Tapi kalau kita pejabat, ya udah diambil sumpah Demi Allah, tunduk kepada Undang-Undang Dasar, ya gak boleh dong (berpolemik atas putusan MK). Jadi anggota DPR, Ketua DPR, saran saya, jangan begitu,” tutur Jimly.

Di sisi lain, Jimly memahami mengapa timbul pernyataan ketidaksepakatan atas putusan MK tersebut.

“Yang dihadapi itu kemarahan eksekutif, pejabat pemerintahan, kemarahan legislatif, semua pimpinan partai gak suka. Satu, mereka itu umumnya merasa, tugas saya, kewenangan saya, kok diambil alih oleh MK, kurang ajar nih MK, gitu,” tuturnya.

Jimly juga menyinggung pernyataan Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang pernah menyebut putusan MK soal pemisahan pemilu terindikasi melanggar konstitusi. Jimly menilai hal itu hanya perlu diperbaiki di segi undang-undangnya saja, tak perlu diperdebatkan.

“Oh ada yang bilang, ini melanggar konstitusi. Ya, biarin aja, gak apa-apa. Tapi kan sudah diputus. Diatur aja di undang-undang, implementasinya bagaimana. Gak usah diperdebatkan. Kan sudah diperdebatkan di persidangan,” katanya.

Sebelumnya, Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah yang berlaku mulai 2029 menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Puan mengklaim putusan MK salahi UUD 1945 karena seluruh partai politik (parpol) di DPR menyepakati bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.

“Terkait dengan MK, semua partai politik mempunyai sikap yang sama, bahwa pemilu sesuai dengan undang-undangnya adalah dilakukan selama 5 tahun. Jadi, apa yang sudah dilakukan oleh MK menurut undang-undang itu menyalahi undang-undang dasar,” kata Puan di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Baca juga artikel terkait PUTUSAN MK atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Flash News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Rina Nurjanah