tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilu nasional (pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden) dan daerah (anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota) tidak lagi dilakukan serentak mulai 2029 mendatang.
Amar tersebut tertuang pada Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK menilai pemilu serentak berpotensi menghilangkan kualitas pemilu yang memiliki asas kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” kata Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam putusan, Kamis (26/6/2025).

Sebagai konteks, Pemilu dan Pilkada digelar serentak di tahun yang sama pada 2024 lalu. Pemilu diselenggarakan pada 14 Februari 2024 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan Pilkada diselenggarakan pada 27 November 2024 untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Secara regulasi, frasa 'serentak' memang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 14 Tahun 2013. Dalam putusan MK tersebut, amarnya mengabulkan lima permohonan Pemohon untuk sebagian dan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Pertimbangan hukum putusan MK tersebut pada intinya untuk memperkuat sistem presidensial.
Sementara itu, ketentuan mengenai pilkada digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Alasan MK Kabulkan Gugatan
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, melihat bahwa warga yang memiliki hak pilih juga jenuh jika pemilu nasional dan daerah digelar serentak. Jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, Saldi mengungkapkan, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model 5 (lima) kotak.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” kata Saldi.
Di antara alasan pertimbangan MK untuk membatalkan pemilu serentak adalah pelemahan lembaga partai politik. MK menilai bahwa agenda pemilu yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan partai politik yang pada titik tertentu, partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.
“Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” kata Hakim MK, Arief Hidayat.

Selain itu, kualitas penyelenggaraan Pemilu dinilai MK mengalami penurunan selama diadakan secara serentak. Hal itu terlihat dari menumpuknya beban kerja penyelenggara yang terpusat pada rentang waktu tertentu karena impitan waktu penyelenggaraan pemilihan umum dalam tahun yang sama. Hal itu menimbulkan kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu.
“Masa jabatan penyelenggara pemilihan umum menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena hanya melaksanakan ‘tugas inti’ penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekitar 2 (dua) tahun,” katanya.
Meringankan Beban Penyelenggara dan Pemilih
Peneliti senior Perludem, Heroik Mutaqin Pratama, menyatakan bahwa pemisahan pemilu nasional dan daerah secara serentak dapat memberikan dampak yang positif bagi pihak terkait seperti penyelenggara pemilu, partai politik dan bagi masyarakat bagi pemilih.
Heroik menjelaskan, bagi penyelenggara pemilu, putusan ini jelas akan meringankan beban kerja mereka. Hal ini disebabkan, karena untuk pemilu nasional nantinya hanya akan ada tiga level pemilu yang diselenggarakan, yaitu pemilu presiden, DPD, dan juga DPR.
“Artinya nanti beban kerja dari petugas di level KPPS dimungkinkan tidak ada lagi yang kemudian sampai dengan larut malam atau sampai dengan keesokan harinya baru menyelesaikan proses penghitungan suara di level TPS. Karena hanya 3 surat suara saja di pemilu nasional yang akan dihitung,” ujar Heroik saat dihubungi Tirto, Senin (30/6/2025).
Sementara, bagi partai politik, putusan MK yang mengamanatkan ada jeda selama dua tahun antara pemilu nasional dan lokal ini juga dapat memberikan angin segar. Menurut Heroik, putusan ini bisa memberikan fokus yang lebih serius bagi partai politik peserta pemilu untuk melakukan rekrutmen dan kandidasi yang lebih demokratis.

Adanya pemisahan antara pemilu nasional dan lokal ini juga diharapkan akan membuat partai politik dan kandidat untuk bisa fokus lebih mengangkat isu dan permasalahan lokal. Heroik menjelaskan, selama ini misalnya dalam proses pemilu serentak di level nasional atau pemilu serentak lima surat suara seperti Pemilu 2024 dan 2019, isu lokal itu cenderung tenggelam.
“Dengan pemisahan pemilu nasional dan lokal, artinya isu-isu mengenai pembangunan di daerah itu akan jauh lebih fokus. Para kandidat calon gubernur, bupati, walikota, DPRD provinsi dan DPRD kab/kota bisa membangun koalisi yang koheren dalam mengangkat isu-isu dan juga pembangunan-pembangunan di level lokal secara bersamaan,” ujarnya.
Terakhir, pemisahan pemilu ini juga diharapkan akan memudahkan pemilih dan mendorong lahirnya perilaku pemilihan rasional.
“Karena jumlah kandidat yang ditawarkan itu tidak sebanyak seperti pemilu serentak lima surat suara sehingga fokus perhatian pemilih bisa lebih terfokus untuk melihat rekam jejak, visi misi ataupun platform yang ditawarkan oleh peserta pemilu kita,” sambungnya.
Plus Minus Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal
Terpisah, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), menilai bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 merupakan koreksi konstitusional yang sangat penting terhadap desain pemilu serentak yang selama ini dinilai terlalu padat, kompleks dan membebani berbagai pihak, baik penyelenggara maupun pemilih.
KISP menyebut sebagai negara dengan predikat The Biggest One Day Election in the World, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola pemilu serentak lima kotak yang dilaksanakan dalam satu hari. Beban administratif, teknis, hingga tekanan psikologis bagi petugas di lapangan serta kebingungan di kalangan pemilih menjadi isu serius yang mengemuka sejak Pemilu 2019 hingga 2024.
“Dalam dua pemilu terakhir, Indonesia menerapkan model “borongan”, di mana pemilihan legislatif dan eksekutif di semua tingkatan dilaksanakan dalam tahun yang sama. Putusan MK ini diharapkan dapat membuka jalan bagi penyelenggaraan pemilu yang lebih efisien, sederhana, dan tetap menjamin kualitas demokrasi serta kedaulatan rakyat,” ujar KISP melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (30/6/2025).

KISP menilai putusan MK ini dapat dimaknai sebagai penguatan atas komitmen terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Meski demikian, KISP juga mencermati bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal berpotensi menimbulkan implikasi baru, khususnya terkait dinamika politik.
“Dengan terpisahnya pemilu nasional dan lokal, periode politik yang intens bisa menjadi lebih lama, berpotensi menciptakan ketidakpastian dan fragmentasi antara pusat dan daerah,” demikian dikutip dari rilis KISP.
Lebih jauh, meski secara umum KISP menilai meski Putusan MK ini memberikan angin segar dari sisi teknis, terutama dalam meringankan beban kerja penyelenggara dan memberi ruang pemilih untuk lebih fokus, sikap terhadap putusan ini tetap perlu kritis. Secara konstitusional, pemisahan waktu pemilu belum menjawab secara utuh persoalan mendasar dalam demokrasi elektoral kita.
“Kita tidak boleh larut dalam euforia efisiensi teknis semata. Agenda yang jauh lebih penting adalah mengawal revisi UU Pemilu dan Pilkada agar menjawab isu-isu substansial,” tulis keterangan tersebut.
Lalu, secara teknis dan regulasi apa yang harus dilakukan untuk melaksanakan amanat Putusan MK tersebut?
Momentum Segera Revisi UU Pemilu & Pilkada
Heroik mewakili Perludem menilai, Putusan MK ini harus menjadi momentum untuk menyegerakan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Revisi ini menjadi penting, mengingat Putusan MK menghasilkan sejumlah konsekuensi turunan dari perubahan desain keserentakan pemilu menjadi dua klaster yaitu pemilu nasional dan pemilu lokal.
“Revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Namun, hingga saat ini belum juga dimulai pembahasannya. Oleh sebab itu, adanya Putusan MK ini harus menjadi momentum untuk menyegerakan pembahasan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada,” ujarnya.
Heroik menjelaskan, beberapa implikasi Putusan MK yang perlu segera diatur dalam revisi UU antara lain menyangkut jadwal rekrutmen penyelenggara pemilu dan penyesuaian tahapan pemilu yang baru. Jika tidak segera diatur, kekosongan hukum atau ketidaksinkronan aturan dapat menghambat persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2029 mendatang.

Perludem menilai, kedua undang-undang tersebut perlu disusun dalam satu paket pembahasan menggunakan metode kodifikasi, untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan menciptakan sistem pemilu dan pilkada yang lebih sistematis serta mudah dipahami.
“Hal ini diharapkan dapat menciptakan keseragaman dan efisiensi dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada, serta menjaga integritas dan kualitas demokrasi Indonesia ke depannya,” pungkasnya.
Senada, KISP juga menekankan pentingnya untuk membahas revisi UU Pemilu dan Pilkada dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi dalam satu paket pembahasan, dengan pendekatan kodifikasi. Hal ini bertujuan untuk memastikan keseragaman norma, efisiensi pelaksanaan, dan menghindari perbedaan tafsir antara dua regulasi yang sangat berkaitan.
KISP menilai pemerintah bersama pembentuk undang-undang perlu segera melakukan revisi dan sinkronisasi sejumlah peraturan perundangan terkait Pemilu untuk mengakomodasi implikasi dari Putusan MK ini.
“Hal ini termasuk penyesuaian atau rekayasa konstitusional terkait masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah, serta pengaturan transisi bagi jabatan hasil Pilkada serentak 2024 dan DPRD hasil Pemilu 2024,” tutup KISP.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id


































