Menuju konten utama

Putusan MK & Tantangan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah mulai 2029

Putusan MK berpeluang besar dapat memperbaiki kualitas demokrasi elektoral di Indonesia. namun juga diikuti sederet tantangan. Apa saja?

Putusan MK & Tantangan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah mulai 2029
Seorang warga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara pada simulasi pemungutan suara pilkada di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (13/11/2024). ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/tom.

tirto.id - Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai pada 2029. Hal ini tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Dalam putusan ini, Pemilu Nasional akan terdiri dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan anggota DPR RI dan DPD RI. Sementara itu, Pemilu Daerah mencakup pemilihan Gubernur, Bupati/Wali Kota, serta anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Jeirry mengatakan, putusan MK ini akan membuat proses pemilu berjalan lebih tertata dan berkualitas. Pemilih juga diberi ruang untuk fokus pada isu nasional saat memilih Presiden, DPR RI dan DPD RI. Lalu, mereka bisa benar-benar memperhatikan persoalan lokal saat memilih kepala daerah dan anggota DPRD. Hal ini dinilai bisa mendorong rasionalitas pemilih dan memperkuat kualitas demokrasi.

“Dengan pemisahan ini, saya kira, MK seperti ingin membuka jalan baru: agar proses pemilu berjalan lebih tertata dan berkualitas,” kata Jeirry dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (27/6/2025).

Jeirry melihat, sistem pemilu serentak yang dilakukan selama ini membuat semua proses pemilihan digelar di hari yang sama, dengan lima surat suara dan lima kotak suara untuk dipilih sekaligus. Dengan pemisahan sebagaimana putusan MK ini, dia mengatakan maksud tujuannya jelas, yakni ingin menyederhanakan pemilu, menghemat waktu dan anggaran, serta memperkuat sistem presidensial.

“Namun dalam praktiknya, sistem ini justru menimbulkan beban luar biasa bagi penyelenggara, membingungkan pemilih, dan bahkan menyebabkan kelelahan massal yang menelan korban jiwa,” ujarnya.

Lebih jauh, katanya, pemisahan pemilu ini juga memberi peluang lebih besar bagi tokoh-tokoh lokal yang punya kapasitas dan rekam jejak baik. Menurutnya, mereka kini bisa bersaing secara lebih mandiri tanpa bergantung pada popularitas capres atau partai besar di tingkat nasional.

“Efek ekor jas — di mana suara untuk caleg atau calon kepala daerah ikut terdongkrak oleh kandidat presiden — bisa diminimalisir,” ucapnya.

Lebih lanjut, dia menilai pemisahan ini juga akan memudahkan dari segi teknis penyelenggaraan pemilu. Dalam hal ini, maka beban kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan petugas pemilu di lapangan dapat terbagi.

“Tidak lagi harus menangani lima surat suara dan lima kotak suara dalam satu waktu, yang selama ini memicu kekacauan logistik dan kelelahan luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menyelamatkan kualitas pelaksanaan pemilu dan bahkan keselamatan petugas,” tuturnya.

Sederet Tantangan Baru

Namun, dia juga mengimbau bahwa pemisahan pemilu ini menimbulkan tantangan baru. Pertama, dari segi anggaran. Dia melihat 2 kali pemilu besar dalam satu siklus lima tahun berarti biaya yang dikeluarkan akan dua kali lipat.

Dalam hal ini, negara harus menanggung ongkos logistik, distribusi, pengamanan, dan honor petugas, dua kali. Hal ini tentu berpotensi menjadi beban fiskal yang berat, apalagi jika tidak disertai efisiensi.

Kedua, masyarakat akan dihadapkan pada intensitas politik yang makin tinggi. Frekuensi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) bertambah. Jika tidak dikelola dengan baik, maka bisa menimbulkan kejenuhan atau apatisme politik.

“Partisipasi pemilih bisa menurun karena merasa bosan atau tidak melihat perubahan nyata dari satu pemilu ke pemilu berikutnya,” ujarnya.

Ketiga, lanjutnya, potensi munculnya politisi “lompat panggung” makin besar. Pasalnya, waktu pemilu berbeda, mereka yang gagal di pemilu nasional bisa langsung mencalonkan diri di pilkada atau sebaliknya.

Politik jadi ajang coba-coba, bukan lagi soal pengabdian. Demokrasi bisa terjebak pada pola pikir jangka pendek dan kepentingan elektoral belaka.

Lalu, dia pun menyebut putusan MK ini dapat berpeluang besar untuk memperbaiki kualitas demokrasi elektoral di Indonesia. Hanya saja, hal itu akan tercapai apabila putusan ini dikelola dengan baik dan benar.

“Masyarakat bisa lebih jernih menilai calon pemimpin. Proses pemilu lebih tertib dan fokus. Tokoh-tokoh lokal punya ruang lebih luas untuk tampil,” jelasnya.

Sidang MK

Sidang MK

Tambahnya, apabila putusan tersebut dilaksanakan tanpa memiliki kesiapan matang, maka penyelenggaraan pemilu akan menciptakan beban baru. Dari mulanya bertujuan untuk menyederhanakan proses pemilu, dikhawatirkan malah semakin membuat rumit.

“Sebaliknya, tanpa kesiapan yang matang, dari sisi regulasi, penyelenggaraan, edukasi publik, partisipasi rakyat, hingga anggara putusan ini justru bisa menimbulkan beban baru. Yang tadinya ingin menyederhanakan, bisa-bisa malah makin merepotkan,” katanya.

“Karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat sipil bisa segera beradaptasi. Regulasi harus segera direvisi dan momentumnya pas, sebab revisi UU Pemilu sedang bergulir di DPR,” lanjutnya.

Tak kalah penting, katanya, masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dan diberi pemahaman agar tidak cuek dan apatis dalam berpartisipasi.

Jeirry mengatakan, Putusan MK ini memang agak mengagetkan namun menimbulkan tantangan baru. Sebab, katanya, Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dilaksanakan.

“Apakah Putusan MK ini akan membawa perbaikan atau justru jadi masalah baru, sangat bergantung pada bagaimana kita menyiapkan langkah selanjutnya. Demokrasi yang baik bukan hanya soal hari pencoblosan, tapi juga soal bagaimana semua proses dijalankan dengan jujur, adil, efisien, dan berorientasi pada rakyat,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU atau tulisan lainnya dari Nabila Ramadhanty

tirto.id - Flash News
Reporter: Nabila Ramadhanty
Penulis: Nabila Ramadhanty
Editor: Anggun P Situmorang