tirto.id - Mary Brunkow mencatat sejarah sebagai ilmuwan perempuan pertama dari Montana yang meraih Nobel Fisiologi-Kedokteran. Ia dianugerahi penghargaan bergengsi itu atas penemuan kunci dalam terapi genetik untuk gangguan autoimun langka. Penelitiannya membuka jalan bagi pendekatan pengobatan baru yang kini memasuki fase uji klinis di lima negara.
Brunkow merupakan ahli biokimia yang selama dua dekade bekerja di Institut Riset Kesehatan Molekuler di Seattle. Ia memimpin tim multidisipliner yang mengidentifikasi peran protein mutan dalam disregulasi sistem imun. Temuan ini menjadi dasar pengembangan molekul sintetis yang mampu menghambat proses autoimun sejak tahap awal.
Penghargaan Nobel diumumkan pada 7 Oktober 2025 di Stockholm, dengan Brunkow menerima ucapan selamat dari komunitas medis global. Ia disebut-sebut sebagai pelopor pendekatan molekuler presisi dalam pengobatan penyakit autoimun. Komite Nobel menekankan bahwa risetnya membawa harapan baru bagi jutaan pasien di seluruh dunia.
Profil Mary Brunkow Peraih Nobel Fisiologi-Kedokteran 2025
Mary Elizabeth Brunkow lahir di Portland, Oregon, pada tahun 1961. Ia menamatkan pendidikan menengah di St. Mary’s Academy pada 1979. Gelar sarjana biologi molekuler dan seluler ia raih dari University of Washington pada 1983.
Setelah itu, Brunkow melanjutkan studi doktoral di Princeton University dan lulus pada 1991. Ia menulis disertasi tentang ekspresi gen H19 pada tikus transgenik. Pembimbing akademiknya adalah ahli genetika terkemuka, Shirley M. Tilghman.
Karier riset Brunkow dimulai di sektor bioteknologi di wilayah Seattle. Ia bergabung dengan Darwin Molecular Corporation yang kemudian menjadi bagian dari Celltech Group. Di sinilah ia dan Fred Ramsdell menemukan mutasi gen FOXP3.
Penemuan FOXP3 menjelaskan penyebab fenotipe autoimun pada tikus scurfy. Gen ini kemudian diketahui memainkan peran sentral dalam pengendalian sistem kekebalan tubuh. Temuan ini menjadi tonggak penting dalam studi tentang sel T regulatorik.
Pada tahun 2001, Brunkow mencuri perhatian dunia ilmiah lewat makalahnya yang terbit di Nature Genetics. Dalam karya tersebut, ia berhasil menghubungkan mutasi gen FOXP3 dengan gangguan imun yang mematikan, sebuah penemuan penting yang awalnya dikenal dengan nama “scurfin” sebelum akhirnya diadopsi istilah FOXP3.
Merujuk pada ISB Science, rentang antara tahun 2003 dan 2005, Brunkow menjalani fase karier yang fleksibel dengan menjadi konsultan sekaligus peneliti kontrak. Di saat yang sama, ia juga mengasah keahlian menulis teknis dan ilmiah serta menjaga keseimbangan hidup keluarga.
Pada 2006, ia melangkah ke Institute for Systems Biology (ISB) sebagai Penulis Ilmiah di bawah bimbingan Dr. Alan Aderem, bertugas menerjemahkan temuan kompleks biologi sistem ke dalam bahasa yang mudah dipahami publik.
Penelitiannya membantu menjelaskan cara sistem imun membedakan antara sel tubuh sendiri dan ancaman eksternal. FOXP3 terbukti berperan dalam menjaga keseimbangan imun melalui sel T regulator. Temuan ini mendasari pengembangan terapi untuk penyakit autoimun.
Pada 2025, Brunkow dianugerahi Hadiah Nobel Fisiologi-Kedokteran. Ia berbagi penghargaan itu bersama Fred Ramsdell dan Shimon Sakaguchi. Komite Nobel menyoroti kontribusi mereka dalam memahami toleransi imun perifer.
Mary E. Brunkow dan Fred Ramsdell merupakan dua ilmuwan asal Amerika Serikat yang menerima penghargaan tersebut, sementara Shimon Sakaguchi berasal dari Jepang. Ketiganya diakui atas penemuan penting mengenai peran sel T regulator dalam menjaga keseimbangan sistem kekebalan tubuh.
Temuan ini membuka peluang pengembangan terapi baru untuk penyakit autoimun dan kanker, yang kini tengah dipelajari lebih lanjut di berbagai laboratorium di seluruh dunia.
Saat ini, Brunkow menjabat sebagai Manajer Program Senior di Institute for Systems Biology di Seattle. Ia mengelola riset-riset kompleks tentang genetika dan biologi sistem.
Selama lebih dari dua dekade, Brunkow berperan dalam berbagai kolaborasi internasional di bidang imunologi molekuler. Ia terlibat dalam proyek-proyek yang mengintegrasikan data genom, analisis sistem, dan teknik biologi komputasional. Kontribusinya membantu memperluas pemahaman ilmiah tentang regulasi imun pada manusia.
Pembaca yang ingin mengikuti informasi seputar Nobel dapat simak melalui tautan di bawah ini.
Penulis: Satrio Dwi Haryono
Editor: Indyra Yasmin
Masuk tirto.id


































