Menuju konten utama

Potensi Indonesia Digugat Investor Jika Bebaskan TKDN AS

Pemerintah dinilai perlu menyusun kebijakan khusus bagi investor yang sudah mematuhi aturan TKDN, untuk hindari protes dari negara lain.

Potensi Indonesia Digugat Investor Jika Bebaskan TKDN AS
Presiden Donald Trump berbicara pada rapat umum kampanye di Battle Creek, Mich., Rabu, 18 Desember 2019. Paul Sancya/AP

tirto.id - Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat baru saja merampungkan sebuah kesepakatan dagang yang disebut Gedung Putih sebagai “bersejarah”. Lewat perjanjian ini, Amerika akan menurunkan tarif bea masuk terhadap sejumlah produk Indonesia menjadi 19 persen.

Namun, di balik capaian diplomatik ini, muncul klausul yang berpotensi merugikan industri nasional: Indonesia akan membebaskan perusahaan-perusahaan dan produk-produk asal Amerika dari kewajiban memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Kebijakan itu tertuang dalam lembar fakta resmi yang dirilis Gedung Putih pada 22 Juli 2025. Dalam dokumen itu, Indonesia disebut akan “mengatasi berbagai hambatan non-tarif, termasuk dengan membebaskan perusahaan AS dan barang yang berasal dari persyaratan konten lokal.”

Selain itu, Indonesia juga akan menerima kendaraan yang diproduksi Amerika dengan standar keselamatan dan emisi federal mereka, serta mengakui sertifikat FDA untuk produk farmasi dan perangkat medis.

Langkah ini memperkuat posisi produk-produk asal Amerika dalam rantai distribusi domestik Indonesia, terutama untuk masuk ke skema pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pasalnya, tanpa kewajiban memenuhi kandungan lokal, barang asal Amerika bisa langsung bersaing dengan produk dalam negeri yang selama ini harus menyesuaikan diri dengan regulasi TKDN yang ketat.

Kondisi ini membuat sejumlah pelaku industri dan asosiasi dunia usaha menyuarakan kekhawatiran. Salah satunya datang dari Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian, Saleh Husin. Ia menyebut bahwa langkah membebaskan TKDN bagi produk dan perusahaan asal Amerika dapat menciptakan ketimpangan dalam peta persaingan industri nasional.

Tanpa aturan tersebut, pelaku usaha lokal akan semakin sulit bersaing dengan produk impor yang tak terikat kewajiban serupa. "Tanpa kewajiban TKDN, produk AS bisa masuk dan berpartisipasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dengan lebih mudah, tanpa harus memenuhi standar kandungan lokal, sehingga menciptakan ketimpangan dalam persaingan," ujarnya dalam keterangan kepada Tirto, Rabu (23/7/2025).

Menurutnya, selama ini TKDN justru menjadi instrumen penting untuk menciptakan permintaan terhadap barang dan jasa produksi lokal. Kehadiran regulasi tersebut bukan semata proteksionis, melainkan strategi industrialisasi bertahap agar pelaku usaha dalam negeri punya ruang bertumbuh, berekspansi, dan berkompetisi dalam rantai pasok global.

Jika satu negara, dalam hal ini Amerika, diberi pengecualian, maka industri lokal yang telah patuh pada regulasi berpotensi kehilangan pangsa pasar mereka sendiri. Ia mencontohkan bagaimana proyek-proyek strategis nasional selama ini disyaratkan untuk menggunakan komponen dalam negeri.

Namun dengan pengecualian untuk AS, perusahaan mereka bisa ikut tender tanpa harus menyusun peta pemenuhan TKDN atau menggandeng vendor lokal. Hal ini dapat menyebabkan penurunan serapan produk dalam negeri dan mengganggu kesinambungan rantai pasok industri nasional.

"Dalam jangka pendek, hal ini bisa menekan margin keuntungan, memperlambat pertumbuhan kapasitas produksi, bahkan mengancam kelangsungan usaha sektor-sektor padat karya. Meskipun demikian, industri dalam negeri yang selama ini bergantung dari bahan baku dan barang modal dari AS akan diuntungkan karena mendapatkan harga yang lebih murah sehingga dapat menekan biaya produksi," tuturnya.

Saleh tidak menutup mata bahwa penurunan tarif bea masuk menjadi 19 persen untuk produk Indonesia adalah sebuah capaian. Namun ia mengingatkan agar pemerintah tidak gegabah menukar akses pasar dengan kelonggaran regulasi yang bersifat fundamental.

Apalagi jika kelonggaran itu diberikan hanya kepada satu negara mitra dagang. Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini secara komprehensif, dengan melibatkan sektor swasta, asosiasi industri, dan akademisi dalam proses evaluasi dampak.

Lebih jauh, ia menyoroti risiko jangka panjang dari pembebasan TKDN terhadap posisi Indonesia dalam peta perdagangan global. Menurutnya, kebijakan itu bisa membuka pintu bagi negara lain untuk menuntut perlakuan serupa.

Dalam kerangka hukum internasional, terutama perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau dalam skema bilateral dan regional lainnya, prinsip most-favoured nation (MFN) menuntut agar satu negara tidak memberikan perlakuan istimewa pada negara tertentu tanpa memperlakukannya juga kepada negara mitra lainnya.

Jika ada negara yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini, maka potensi sengketa dagang terbuka lebar. Mereka bisa mengajukan protes diplomatik, membawa perkara ke WTO, atau bahkan menggugat Indonesia melalui skema Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Apalagi, saat ini Indonesia terlibat dalam banyak perjanjian dagang yang memuat klausul nondiskriminatif.

"Untuk menghadapi kondisi ini, strategi yang bisa ditempuh adalah advokasi kebijakan kepada pemerintah agar tetap ada insentif atau afirmasi untuk produk lokal, termasuk mempertahankan kewajiban TKDN minimum bagi semua negara mitra dagang dalam proyek strategis nasional," terangnya.

Saleh juga mengusulkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada liberalisasi pasar, tetapi juga menyiapkan kebijakan korektif untuk menjaga iklim industri domestik tetap sehat. Salah satu caranya ialah dengan memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha lokal yang tetap berkomitmen pada kandungan lokal.

Selain itu, konsolidasi antara pelaku usaha kecil dan menengah perlu diperkuat agar mereka memiliki skala ekonomi yang cukup untuk bersaing dengan perusahaan asing. Ia juga menegaskan pentingnya penguatan kapasitas inovasi, peningkatan efisiensi, serta pengembangan produk berbasis teknologi agar keunggulan lokal tidak hanya bergantung pada proteksi kebijakan, tetapi juga pada kekuatan daya saing riil.

"Oleh karena itu, meskipun secara diplomatik kesepakatan ini membuka peluang kerja sama yang lebih luas, secara strategis perlu dipastikan bahwa kebijakan semacam ini tidak mengurangi insentif bagi tumbuhnya industri nasional dan penguatan rantai pasok dalam negeri," jelasnya.

Meski begitu, dari sudut pandang perdagangan, kesepakatan dagang dengan AS bisa menjadi peluang bila dikelola dengan cermat. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa secara umum kesepakatan ini cukup berimbang, namun persoalan terbesar memang terletak pada klausul pembebasan TKDN. Ia menilai bahwa aspek ini bisa mengganggu rantai pasok serta industri dalam negeri yang selama ini justru lahir dan tumbuh karena adanya kebijakan kandungan lokal.

Jika tidak dikelola dengan cermat, kebijakan ini dapat memukul balik pelaku industri yang selama ini sudah comply terhadap ketentuan TKDN. Mereka bisa merasa tidak diperlakukan secara adil.

Ia juga memperingatkan tentang potensi retaliasi dari negara mitra dagang lainnya. Jika perlakuan khusus hanya diberikan kepada AS, maka negara lain bisa menuntut perlakuan serupa atau bahkan memberlakukan hambatan dagang baru terhadap produk Indonesia. Dalam jangka menengah, ini bisa melemahkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi dagang regional dan multilateral.

“Pemerintah perlu menyusun kebijakan terkait TKDN bagi mereka yang selama ini sudah comply, sehingga mereka merasa diperlakukan secara fair; misalnya dengan memberikan berbagai insentif,” ujarnya kepada Tirto.

Di luar tarif 19 persen, Wijayanto menambahkan bahwa Indonesia masih memiliki peluang untuk mendapatkan pengecualian tarif untuk produk-produk tertentu yang tidak diproduksi oleh AS. “Jika kita bisa mengoptimalkan negosiasi, kita akan mendapatkan deal yang baik, yang memungkinkan produk kita semakin terserap di pasar AS,” jelasnya.

Namun ia juga tidak menampik bahwa dari sisi kekuatan tawar, Indonesia berada dalam posisi yang lebih lemah dibanding Amerika. Karena itu, menurutnya, penting bagi pemerintah untuk mulai menata ulang strategi perdagangan internasional.

“Apa pun itu, kita harus akui, sama dengan negara-negara lain, posisi tawar kita lebih rendah dari AS. Kini saatnya untuk lebih fokus pada kerja sama dengan negara-negara non-AS, karena AS terbukti tidak reliable. IEU-CEPA dan BRICS menjanjikan banyak peluang,” katanya.

Baca juga artikel terkait TKDN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra & Nanda Aria
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra