tirto.id - Instansi kepolisian harus keluar dari pola pikir lama yang usang dan membudaya, terutama terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Rendahnya pemahaman kepolisian terhadap penanganan tindak pidana kekerasan seksual yang berpihak kepada korban terus mencuat. Sering kali, polisi memilih atau menerima langkah restorative justice atau keadilan restoratif yang justru membuat korban lebih menderita.
Dengan dalih win-win solution keadilan restoratif dipilih untuk menyelesaikan perkara. Misal pada kasus perkosaan, polisi masih menerima keadilan restoratif dalam bentuk menikahkan pelaku dengan korban. Keadilan siapa yang sebetulnya sedang diperjuangkan pada langkah demikian? Jelas pelaku paling diuntungkan dalam skenario pernikahan ini.
Masalah ini pula yang kembali menjangkit di tubuh Kepolisian RI alias Polri. Anggota polisi di Polda Sulawesi Selatan, Bripda Fauzan atau FA (23), yang terkena sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) karena memperkosa mantan pacarnya, justru bertugas kembali. Bripda FA ternyata lolos dari PTDH usai mengajukan banding dan memutuskan menikahi korban, perempuan sebayanya yang berinisial M. Kasus ini mulai bergulir pada pertengahan 2023.
Pada Desember 2023, sanksi Bripda FA diubah menjadi demosi 15 tahun dan dimutasi ke Polres Toraja Utara. Namun, belakangan ini, Bripda FA kembali menjadi sorotan. Pasalnya, setelah pernikahan tersebut, Bripda FA diduga menelantarkan istrinya alias korban M, dan menolak tinggal serumah. Kuasa Hukum M, Muhammad Irvan, menyebut Bripda FA tidak memenuhi kewajiban sebagai suami.
Dalam pemberitaan media, Polda Sulsel menjelaskan bahwa keputusan banding memang mengubah sanksi PTDH yang diterima Bripda FA, menjadi demosi dan mutasi. Namun, saat ini, Bripda FA dilaporkan kembali ke Polda Sulsel sebab dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terkait penelantaran rumah tangga.
“Iya kami laporkan (Bripda FA) terkait penelantaran rumah tangga,” ujar Irvan.
Akar persoalan ini tentu berasal dari keputusan Polda Sulsel yang justru menerima banding karena terjadi pernikahan antara pelaku perkosaan dengan korban. Padahal, Propam Polda Sulsel sebelumnya sudah menjatuhkan sanksi PTDH terhadap Bripda FA merujuk Pasal 13 PP Nomor 1 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri. Bripda F dinilai melanggar Pasal 5 Perpol Nomor 7 tahun 2022 tentang Etika Kelembagaan. FA juga diduga melanggar Pasal 8 dan Pasal 13 Perpol Nomor 7 Tahun 2022.
Kekeliruan lainnya adalah terjadinya pernikahan antara pelaku perkosaan dengan korban. Seharusnya tindakan keadilan restoratif tidak menghentikan pidana dalam kasus kekerasan seksual. Padahal, langkah tersebut senada dengan mandat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang memprioritaskan keadilan kepada korban.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, menyatakan kasus ini mencerminkan keputusan Polri yang masih sangat bermasalah dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual. Pembatalan PTDH dinilai sebagai bentuk impunitas terhadap anggota polisi yang melakukan dugaan tindak pidana.
Keputusan Polda Sulsel, kata Isnur, amat mempermalukan institusi kepolisian. Seharusnya Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, mampu menjamin lembaga polisi di bawa kewenangannya tidak melakukan kesalahan seperti ini. Kasus ini membuktikan bahwa Polri perlu membenahi sumber daya manusianya agar lebih berpihak terhadap korban.
Isnur menilai mekanisme banding yang dijalani Bripda FA bermasalah. Bisa-bisanya upaya banding pelaku perkosaan dikabulkan hanya karena menikahi korban. Terbukti, setelah menikah, Bripda FA tidak serius menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga dan diduga malah menelantarkan korban yang telah jadi istrinya.
“Masa banding diputus dimaafkan gara-gara menikahi? Yang pertama adalah tidak boleh itu yang namanya korban kekerasan seksual dinikahi pelaku. Nggak bisa, bagaimana trauma, pengalaman luka, pengalaman sakit, pengalaman sedih diperkosa kemudian dinikahi oleh yang pelakunya,” jelas Isnur.
Menikahkan korban perkosaan memang menjadi kultur yang bermasalah dan terus terjadi. Bahkan, tidak jarang aparat penegak hukum malah memfasilitasinya dengan judul keadilan restoratif. Namun, bila mengacu UU TPKS, korban perkosaan tidak boleh dipaksa menikah dengan pelaku. Bahkan, terdapat sanksi pidana bagi pihak-pihak yang menikahkan korban dengan pelaku.
UU TPKS menegaskan bahwa memaksa korban perkosaan menikahi pelaku adalah tindak pidana kekerasan seksual. Pada Pasal 10, tindakan demikian termasuk sebagai pemaksaan perkawinan. Pelaku tindakan kekerasan seksual ini diancam 9 tahun bui.
Dalam kesempatan terpisah, Kabid Propam Polda Sulsel, Kombes Zulhan, menyebut bahwa Bripda FA sudah menikahi korban dan dianggap bertanggung jawab. Hal ini menjadi alasan sanksi PTDH diturunkan menjadi demosi selama 15 tahun. Namun, dengan adanya laporan anyar soal KDRT dan penelantaran terhadap istri, Propam Polda Sulsel mengklaim akan kembali memanggil Bripda FA yang kini bertugas di Polres Toraja Utara.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai Polri secara khusus harus mengevaluasi secara internal kasus anggotanya yang melakukan dugaan tindak pidana kekerasan seksual namun tetap diperbolehkan bertugas. Mabes Polri, kata Ardi, juga perlu memeriksa putusan banding yang mengabulkan permohonan Bripda FA. Sebab menurutnya, ada indikasi kuat pelaku tidak memiliki itikad baik dalam menikahi korban.
“Sangat disayangkan kenapa banding yang dilakukan pelaku Bripda FA diterima atau dikabulkan, padahal kasus ini sudah mencoreng nama baik institusi Polri,” ucap Ardi kepada reporter Tirto.
Ardi memandang, pada tingkat pusat, Mabes Polri sebetulnya sudah melakukan berbagai langkah progresif terkait isu kekerasan seksual. Misalnya pembentukan Direktorat PPA yang berada langsung di bawah Bareskrim Polri. Namun, implementasi di lapangan terlihat masih setengah hati.
Untuk itu, perlu ada upaya pengarusutamaan pemahaman tindak pidana kekerasan seksual yang berpihak terhadap korban bagi seluruh anggota kepolisian. Polri dapat memperkuat pemahaman anggotanya terkait isu perlindungan hak-hak perempuan. Ardi menilai langkah ini dapat diperkuat lewat pelatihan dan kurikulum pendidikan di kepolisian.
“Secara struktur, Direktorat PPA Bareskrim Polri perlu segera bekerja memperkuat unit-unit PPA yang ada di setiap kantor kepolisian agar isu kekerasan seksual menjadi perhatian serius Polri dan kepercayaan publik juga dapat terjaga,” ucap Ardi.
Pertaruhan Kepercayaan Publik
Langkah mundur yang diambil Polri saat menangani tindak pidana kekerasan seksual akan membuat upaya mengembalikan kepercayaan publik semakin berat. Akhir-akhir ini beragam peristiwa yang mencoreng marwah kepolisian dilakukan oleh personel polisi sendiri. Tak ayal kinerja kepolisian dipandang perlu terus diperbaiki, sementara reformasi tubuh Polri semakin mendesak.
Pada laporan Rilis Akhir Tahun Polri pada Desember tahun lalu, kinerja Korps Bhayangkara sepanjang 2024 didominasi sentimen negatif di media sosial. Dari 7.128.944 interaksi yang tercatat, sebanyak 46 persen atau 3.311.485 interaksi bernada negatif. Sentimen positif cuma tercatat 37 persen atau 2.569.975 interaksi. Interaksi netral ada di angka 18 persen.
Media sosial X menjadi platform dengan interaksi tertinggi sebanyak 4.864.511 unggahan. Disusul oleh YouTube (1.118.709), Instagram (440.256), TikTok (378.833), dan Facebook (326.635). Tingginya sentimen negatif, menurut Jenderal Listyo, disebabkan oleh tindakan kontraproduktif yang melibatkan personel Polri sendiri.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai diterimanya banding Bripda FA oleh Propam Polda Sulsel merupakan wujud celah hukum di Indonesia. Ia menilai bila perkosaan menimpa anak di bawah umur, pelaku tidak mungkin batal dipecat karena tindakannya masuk dalam ranah tindak pidana. Namun, ketika pelaku menikahi korban yang sudah dewasa, Sugeng menilai sering kali menjadi jalan kabur dari celah hukum sebagai delik aduan.
Sugeng menilai, menikahi korban perkosaan jadi bentuk upaya yang dilakukan pelaku agar korban mencabut laporannya. Sebab, kalau Bripda FA menelantarkan korban usai dinikahi, artinya upaya menikah adalah akal bulus yang licik.
Ada dua hal yang bisa dilakukan korban dalam keadaan ini, pertama, melaporkan kembali Bripda FA dengan delik menelantarkan keluarga, dan hal ini sudah dilakukan. Kedua, propam perlu memeriksa kembali Bripda FA atas aduan terbaru yang dilayangkan korban atau istrinya.
“Ini adalah jalannya. IPW menyarankan dua langkah ini diambil istrinya yang ditelantarkan. Ini untuk membersihkan polisi dari oknum-oknum yang licik seperti ini,” kata Sugeng kepada reporter Tirto.
Sementara itu, peneliti bidang sosial di The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menegaskan sikap Polri dalam kasus ini tidak hanya kendor – namun sebagai aparat penegak hukum dan penjaga keamanan dan ketertiban – justru tidak memiliki kepekaan dan komitmen serius yang tegas terhadap kasus kekerasan seksual. Isu kekerasan seksual baik terhadap perempuan atau anak, menjadi komitmen nasional yang dimandatkan di berbagai bentuk kebijakan. Salah satunya UU TPKS yang diimplementasikan lewat aturan turunan.
“Polri sebagai lembaga penegak hukum di Indonesia seharusnya menjadi institusi pertama yang memberikan perlindungan dan keamanan, termasuk dalam penegakan keadilan bagi perempuan sebagai korban kekerasan seksual,” ucap Dewi.
Kultur patriarkisme yang mendarah daging dalam sistem penanganan Polri, terjadi sebab tak adanya perspektif korban yang dilakukan institusi dalam menangani perkara. Jika dibiarkan, hal ini menjadi hambatan bagi kepolisian dalam menangani perkara kasus-kasus kekerasan yang melibatkan perempuan sebagai korban.
Tidak heran jika Polri akhirnya menjadi salah satu profesi dan lembaga yang mendapatkan kepercayaan rendah dari publik. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan kinerja dan kualitas penegakan hukum, pemerintah harus mengimplementasikan salah satu peraturan turunan UU TPKS. Yakni Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang pendidikan dan pelatihan TPKS, salah satunya ditujukan bagi aparat penegak hukum.
“Diharapkan, dengan landasan aturan turunan dan teknis yang jelas dapat memperkuat kesadaran dan kemampuan APH, termasuk kepolisian,” ujar Dewi.
Dihubungi reporter Tirto, Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Didik Supranoto, membenarkan bahwa Bripda FA memang sudah bertugas kembali di Polres Toraja Utara. Polda Sulsel masih mendalami laporan KDRT dari korban dan berencana kembali menerjunkan tim Propam untuk memeriksa Bripda FA.
Namun, Didik tak menjawab saat ditanya kapan pemeriksaan FA akan dilakukan tim Propam.
"Diperiksa Propam Polda Sulsel. [Adapun] untuk mempermudah pemeriksaan, kasusnya [KDRT] dilimpahkan ke Propam Polres Toraja Utara,” kata Didik kepada reporter Tirto, Senin malam.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang