Menuju konten utama

Perbedaan Shalat Isyraq dan Dhuha serta Penjelasannya

Ada perbedaan Shalat Isyraq dan Dhuha menurut Imam Al-Ghazali berdasarkan sejumlah hadis. Terlepas itu, ada lafal niat Shalat Isyraq dan Dhuha yang berbeda.

Perbedaan Shalat Isyraq dan Dhuha serta Penjelasannya
Ilustrasi shalat Duha. Beberapa ulama menyatakan Salat Dhuha dan Salat Isyraq adalah sama. Namun, sejumlah ulama lain melihat adanya perbedaan Shalat Isyraq dan Dhuha. foto/IStockphoto. foto/IStockphoto

tirto.id - Beberapa ulama menyatakan Salat Duha dan Salat Isyraq adalah ibadah yang sama. Namun, sejumlah ulama lain melihat adanya perbedaan Shalat Isyraq dan Dhuha.

Shalat Isyraq adalah sholat di pagi hari selain Duha yang bisa dikerjakan umat Islam beberapa saat setelah matahari terbit.

Dalam bahasa Arab, Isyraq artinya terbit atau terbuka. Jika disandingkan dengan kata salat, maknanya adalah salat sunah ketika matahari terbit.

Tidak ada hadis yang menyatakan pelaksanaan waktu Shalat Isyraq secara detail. Namun, beberapa ulama berpendapat, Salat Isyraq dapat dilaksanakan setelah matahari setinggi tombak dari tempat terbitnya.

Maksudnya setinggi tombak adalah naik sekitar 7 hasta atau tiga hingga empat derajat di atas horizon. Semisal dikalkulasikan dalam waktu, setinggi tombak setara dengan 15-20 menit setelah matahari terbit.

Tuntunan ibadah Salat Isyraq terlukis dari firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an Surah Sad: "....Untuk bertasbih bersamanya [Daud] di waktu petang dan pagi," (QS. Sad [38]: 18).

Ketika Nabi Muhammad ditanya mengenai makna Isyraq di ayat tersebut, beliau menjawab, "Itulah salat Isyraq," (HR. Hakim dan At-Thabari).

Perbedaan Shalat Isyraq dan Dhuha

Beberapa ulama menyatakan bahwa Salat Isyraq adalah nama lain dari Salat Duha. Hal ini dikarenakan Salat Isyraq dikerjakan di waktu satu tombak selepas matahari terbit, yang waktunya tak berbeda dengan waktu Duha.

Sedangkan jika menganggap waktu Salat Isyraq adalah tepat selepas matahari terbit, dikarenakan tidak ada ketentuan jadwal detailnya, ini telah melanggar waktu-waktu yang diimbau Nabi Muhammad sebagai waktu terlarang untuk melaksanakan salat: salah satunya adalah ketika matahari terbit.

Akan tetapi, Al-Ghazali, ulama terkemuka Islam berpendapat bahwa Salat Isyraq berbeda dari Salat Duha berdasarkan banyak sumber hadis-hadis nabi yang menyinggung terkait Salat Isyraq ini. Salah satunya berdasarkan hadis di atas.

Melalui penetapan bahwa Salat Isyraq berbeda dari Salat Duha kendati pengerjaannya di waktu yang sama, maka niat Salat Isyraq harus diucapkan dengan lafal berbeda, yaitu:

أصلي سنة الإشراق ركعتين مستقبل القبلة لله تعالى

Artinya: "Saya berniat salat sunah Isyraq dua rakaat dengan menghadap kiblat karena Allah SWT."

Waktu Salat Isyraq dimulai ketika matahari terbit dengan ketinggian satu tombak dan berakhir di seperempat siang ketika matahari sudah meninggi. Berdasarkan hal ini, ulama Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa waktu ini sama dengan waktu Salat Dhuha.

Muhammad Sholikhin dalam buku Panduan Shalat Sunnah Lengkap (2013), menuliskan, surat-surat yang disunahkan dibaca ketika Salat Isyraq adalah Surah Ad-Dhuha atau Al-Kafirun di rakaat pertama dan Surah Al-Insyirah atau Al-Ikhlas di rakaat kedua.

Doa Setelah Shalat Isyraq

Selepas mendirikan salat sunah, umat Islam seyogianya dapat berdoa kepada Allah Swt. Berikut ini contoh doa yang dapat dibaca setelah Salat Isyraq:

للّهُمّ يا نُوْرَ النُّوْرِ بِالطُّوْرِ وَكِتَابٍ مَسْطُوْرٍ فِي رَقٍّ مَنْشُوْرٍ وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ، أَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَنِيْ نُوْرًاً أَسْتَهْدِيْ بِهِ إِلَيْكَ وَأَدُلُّ بِهِ عَلَيْكَ، وَيَصْحَبُنِيْ فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ الْاِنْتِقَالِ مِنْ ظُلّامِ مِشْكَاتِي، وَأسْأَلُكَ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا، أَنْ تَجْعَلَ شَمْسَ مَعْرِفَتِكَ مُشْرِقَةً بِيْ لَا يَحْجُبُهَا غَيْمُ الْأَوْهَامِ، وَلَا يَعْتَرِيْهَا كُسُوْفُ قَمَرِ الْوَاحِدِيَّةِ عِنْدَ التّمَامِ، بَلْ أَدِمْ لَهَا الِإشْرَاقَ وَالظُّهُوْرَ عَلَى مَمَرِّ الْأَيَّامِ وَالدُّهُوْرِ، وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتَمِ الْأَنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِّلهِ رَبّ الْعَالَمِيْنَ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَلِإِخْوَانِنَا فِي اللهِ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتاً أَجْمَعِيْنَ

Artinya: "Ya Allah, yang cahayaNya bersinar dengan wasilah bukit Thur dan kitab yang ditulis pada lembaran yang terbuka dan dengan wasilah Baitul Makmur, saya meminta kepadaMu agar Engkau memberi saya cahaya yang dengannya saya dapat mencari petunjukMu. Dan dengannya saya menunjukkan tentangMu yang terus-menerus mengiringi dalam kehidupan saya dan setelah berpindah ke alam lain dari kegelapan liang kubur saya. Dan saya meminta kepadaMu dengan wasilah matahari beserta cahayanya di pagi hari dan kemuliaan yang wujud selain matahari agar Engkau menjadikan matahari makrifat padaMu [yang ada pada saya] bersinar menerangi saya; tidak tertutup dengan mendung-mendung keraguan, tidak juga dilintasi gerhana pada rembulan kala purnama. Jadikanlah selalu bersinar dan selalu terlihat, seiring berjalannya hari dan tahun. Berilah rahmat ta'dzim, Ya Allah, kepada junjungan kami, Muhammad, penutup pada nabi dan rasul. Segala puji hanya milik Allah, tuhan penguasa alam. Ya Allah, ampunilah kami, kedua orang tua kami serta saudara-saudara seagama seluruhnya, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia."

Baca juga artikel terkait SHALAT DHUHA atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Edusains
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari
Penyelaras: Ibnu Azis & Syamsul Dwi Maarif