tirto.id - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir sementara rekening dormant atau pasif. Menurut PPATK, hal ini dilakukan guna mencegah terjadinya kejahatan keuangan.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyatakan bahwa pemblokiran sementara pada rekening yang pasif selama 3-12 bulan ini diterapkan untuk kepentingan umum, serta menjaga integritas sistem keuangan Indonesia.
"Penghentian sementara transaksi rekening dormant bertujuan memberikan perlindungan kepada pemilik rekening, serta mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab," tutur Ivan pada Minggu (18/7/2025), dikutip dari ANTARA.
Meskipun diblokir, PPATK menjamin bahwa jumlah saldo di rekening dormant tidak akan berkurang. Hal ini disampaikan melalui pengumuman di akun Instagram resmi @ppatk_indonesia pada Senin (28/7).
"Dana nasabah tetap aman dan tidak hilang," tulis PPATK dalam unggahan Instagram-nya.
Jika diblokir, nasabah terkait perlu melakukan reaktivasi dengan mengajukan keberatan ke PPATK secara online dan menjalankan prosedur pengaktifan sesuai bank terkait.
Kenapa Rekening Dormant Diblokir PPATK
Menurut Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK, M Natsir Kongah, kebijakan pemblokiran rekening dormant dilakukan karena hasil analisis PPATK terkait rekening mencurigakan.
Menurut Natsir, analisis PPATK dalam lima tahun terakhir menemukan maraknya rekening dormant yang disalahgunakan tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Rekening-rekening ini sering digunakan sebagai tempat menampung dana hasil tindak pidana, seperti jual beli rekening, peretasan, penggunaan nominee sebagai rekening penampungan, transaksi narkotika, korupsi, dan kejahatan lainnya.
Dalam analisisnya, PPATK menemukan adanya lebih dari 140 ribu rekening dormant selama 10 tahun tanpa pembaruan data nasabah dengan dana tersimpan mencapai Rp428,6 miliar.
"Ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan lainnya," tutur Natsir Kongah pada Rabu (30/7), dikutip dari ANTARA.
Selain itu, PPATK juga menduga bahwa kini ada lebih dari 1 juta rekening di Indonesia terindikasi terkait dengan tindak pidana. Jumlah tersebut disimpulkan dalam hasil analisis dan pemeriksaan PPATK sejak 2020.
Dari total 1 juta rekening tersebut, jelas Natsir, 150 ribu di antaranya merupakan rekening nominee hasil jual beli rekening, peretasan, atau cara ilegal lainnya.
Sejumlah rekening tersebut kemudian digunakan sebagai penampungan dana hasil tindak pidana dan menjadi tidak aktif (dormant).
Hasil pemeriksaan lebih lanjut juga menunjukkan bahwa 50 ribu rekening di antaranya hanya berisi transaksi aliran dana ilegal. Sebelum menjadi penampungan dana ilegal, rekening-rekening ini tidak memiliki aktivitas transaksi.
Analisis PPATK juga menemukan indikasi korupsi setelah mengetahui adanya 2.000 rekening instansi pemerintah dan bendaharanya berisi dana mencapai Rp500 miliar yang bersifat dormant atau pasif. Padahal, rekening tersebut seharusnya aktif dan terpantau.
PPATK juga menemukan adanya 10 juta rekening penerima bantuan sosial (bansos) yang tidak pernah digunakan selama lebih 3 tahun. Hal ini menyebabkan proses penyaluran bansos selama ini dipertanyakan.
"Hal ini jika didiamkan akan memberikan dampak buruk bagi ekonomi Indonesia, serta merugikan kepentingan pemilik sah dari rekening tersebut," tutur Natsir.
Sejalan dengan langkah PPATK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah meminta pihak perbankan untuk memantau rekening dormant yang mencurigakan.
Hingga Juni 2025, OJK telah meminta bank di Indonesia untuk memblokir 17.026 rekening terkait tindak pidana sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Dicky Setyawan
Masuk tirto.id


































