Menuju konten utama

Pemerkosaan 15 Santriwati di Ponpes Batang: Minimnya Ruang Aman?

Komnas Perempuan mengaku prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan, khususnya pondok pesantren.

Pemerkosaan 15 Santriwati di Ponpes Batang: Minimnya Ruang Aman?
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kekerasan Seksual melakukan aksi di Jawa Timur, Senin (6/2/2023). ANTARA FOTO/Seno.

tirto.id - Dengan tangan diborgol, Wildan Mashuri Amin menundukkan wajahnya saat Kapolda Jawa Tengah Ahmad Luthfi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan konferensi pers pada Selasa (11/4/2023) lalu. Nama pengasuh Pondok Pesantren Al-Minhaj itu disebut sebagai tersangka kasus pemerkosaan terhadap 15 orang santriwati.

Pria berumur 58 tahun itu memang merupakan salah satu pengasuh pondok pesantren di Kabupaten Batang, Jawa Tengah itu. Namun, kelakuan bejatnya selama kurang-lebih empat tahun terakhir—sejak 2019—bikin dirinya terancam maksimal 15 tahun penjara.

Luthfi menyebut bahwa 15 santriwati yang diduga menjadi korban pemerkosaan dan pencabulan yang dilakukan Wildan rentang umurnya dari 14 sampai 24 tahun.

Kata polisi, modus yang dilakukan Wildan adalah dengan membangunkan korban dari tidur lalu diajak ke kantin pondok pesantren atau TKP lainnya. Lewat iming-iming mendapat “karomah” karena Wildan adalah seorang pengasuh pondok pesantren, para korban diajak melakukan sebuah proses semacam ijab kabul sehingga seolah telah sah menjadi suami istri. Dari situlah aksinya dilancarkan.

"Setelah itu diberikan duit, sangu, diminta jangan bilang ke orangtua kalau sudah sah sebagai suami istri. Ini modus operandi pelaku,” kata Luthfi.

Polisi menyebut bahwa dari 15 korban tersebut, delapan santriwati di antaranya alat vitalnya robek karena ulah pelaku. Polisi juga menyebut ada kemungkinan korban bertambah dari kasus ini.

Per Rabu (12/4/2023) lalu, Pondok Pesantren Al-Minhaj resmi dicabut izinnya oleh Kementerian Agama, imbas dari terungkapnya kasus 15 santriwati yang menjadi korban. Lembaga pimpinan Yaqut Cholil Qoumas tersebut segera memberi pendampingan kepada para korban, terutama agar mereka kembali melanjutkan pendidikan.

“Jelas ini tindakan pidana, perbuatan tidak terpuji, mencoreng marwah ponpes secara keseluruhan, dan menyebabkan dampak luar biasa bagi korban," kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono Abdul Ghofur.

AKSI KEKERASAN SEKSUAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Aktivis yang tergabung dalam Gerak Perempuan menggelar aksi damai di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/2/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

Kata Ghofur, kendati izin pondok pesantrennya dicabut, namun hak belajar para santri dan korban tetap harus diutamakan. Ia juga menyebut lembaganya akan bekerja sama dengan Kementerian PPPA agar penanganan kasus ini tetap fokus ke korban, bukan pelaku.

Hal serupa juga dilakukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Lembaga pimpinan Risma Triharini tersebut akan memberikan pendampingan dan pemulihan psikologis, pengecekan kesehatan, pemberian nutrisi dan gizi, pemberian bantuan alat sekolah, serta santunan uang tunai. Para korban juga akan diproses pindah sekolah dari Al-Minhaj. Bahkan keluarga korban juga diberi modal usaha sembako.

Saat ini, Wildan dijerat dengan Pasal 82 ayat (1), ayat (2), ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 81 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5) regulasi yang sama.

Wildan terancam hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara, dan ditambah sepertiga dari ancaman pidana jika tersangka dan korban lebih dari satu atau terdapat pengulangan.

Minim Ruang Aman Pondok Pesantren di Indonesia

Apa yang terjadi di Al-Minhaj secara jelas merupakan bentuk dari relasi kuasa pemimpin pondok pesantren terhadap santrinya—terutama santriwati—di lembaga pendidikan keagamaan. Dalam banyak kasus, santri dan santriwati di dunia pondok pesantren memang rentan berada di dalam keadaan “powerlessness” ketika dihadapkan dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukan pimpinannya sendiri.

Tentu publik sulit lupa dengan kasus serupa yang menimpa banyak santriwati dari Pesantren Majmaal Bahrain Shiddiqiyya di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pelakunya adalah anak dari kyainya sendiri, Subchi Azal Tsani—atau yang akrab disebut Bechi. Bahkan, para korban santriwatinya disiksa, diperkosa, disekap hingga dituduh terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI) Jombang—sebuah tuduhan penuh halusinasi.

Bahkan, saat masih proses pemeriksaan oleh pihak kepolisian, Bechi dilindungi habis-habisan oleh para santri dan pendukung pesantrennya. Pada November lalu, Bechi divonis 7 tahun penjara atas kasus yang menimpa santriwati-santriwatinya.

Hal serupa juga terjadi pada 21 santriwati dari Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, ulasan artikelnya bisa dibaca di sini. Mereka menjadi korban nafsu dengan diperkosa oleh pimpinan pondok pesantrennya, Herry Wirawan—yang berakhir dengan vonis hukuman mati.

Hal-hal yang berbau klenik dan mistis kerap menjadi alasan di balik buruknya kasus perkosaan di pondok pesantren. Tak hanya di Batang, hal senada juga pernah terjadi di Kabupaten Bandung saat pimpinan sebuah pondok pesantren memperkosa tiga santriwatinya dengan modus isi tenaga dalam.

Di lain kasus, terkadang pelakunya tak hanya pimpinan atau pemilik otoritas di pesantren itu sendiri, namun ada juga santri yang ikut serta seperti di Kota Depok, Jawa Barat pada Juli 2022 lalu.

Dengan banyaknya kasus yang terjadi di lembaga pendidikan keagamaan seperti pondok pesantren, Komnas Perempuan sampai meragukan apa saja yang telah dilakukan oleh lembaga Menteri Yaqut tersebut dalam upaya pencegahan.

Pondok Pesantren Abal-Abal?

Kepada wartawan Tirto, komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i menyebut ada beberapa kasus pondok pesantren yang memang sejak awal didirikan sebagai modus mendapatkan kekuasaan, keuntungan, hingga modus melakukan kekerasan seksual.

“Tentu bukan semua pesantren, melainkan sebagian pesantren, terutama pesantren abal-abal ya, yang sangat mungkin ia didirikan hanya sebagai modus,” kata Nahe’i saat dihubungi, Jumat (14/4/2023) lalu.

Komnas Perempuan mengaku prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan, khususnya pondok pesantren. Nahe’i, mewakili lembaganya, mendesak Kementerian Agama untuk bisa memberikan pengawasan khusus kepada lembaga pendidikan keagamaan, khususnya yang berorientasi asrama.

Nahe’i melanjutkan bahwa Kementerian Agama seharusnya segera memasifkan sosialisasi Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

“Di sisi lain Komnas perempuan juga berharap, lembaga pendidikan berasrama memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di internal. Sehingga mampu melakukan pencegahan dan penanganan yang baik,” katanya.

“Kami mengutuk segala bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh siapapun kepada siapapun dan dimanapun. Terlebih jika ia dilakukan oleh orang orang yang dianggap terhormat oleh masyarakat, dilakukan oleh orang orang yang seharusnya melindungi.”

Baca juga artikel terkait PEMERKOSAAN SANTRIWATI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri