tirto.id - Hati rasanya miris tiap kali menyimak berita di televisi maupun media online belakangan ini. Berita-berita kekerasan seksual terhadap anak terus bermunculan, bahkan terasa makin kerap.
Eskalasi kekerasan seksual terhadap anak menjadi keprihatinan berbagai pihak, tak terkecuali Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Dalam temu media pada Februari 2023, Satgas Perlindungan Anak (Satgas PA) IDAI mengingatkan, di tahun 2014, Komnas Perempuan pernah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual, termasuk pada anak-anak.
Kenyataannya, 9 tahun berlalu, bukannya menurun, laporan kekerasan seksual pada anak semakin meningkat. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kasus kekerasan seksual pada anak di tahun 2022 mencapai angka 9.588, meningkat lebih dari 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 4.162, dan 1848 di medio 2021.
Dari data real time Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), di tahun 2023 (hingga tulisan ini dibuat), menurut waktu input, tercatat 3752 kasus kekerasan, dengan 635 korban laki-laki dan 3406 korban perempuan. Sekira 50,5 persen dari korban perempuan dan 82,7 persen korban laki-laki adalah anak-anak, dengan usia paling banyak mengalami kekerasan adalah 13-17 tahun.
Berapa jumlah kekerasan seksual dari data di atas? Dibandingkan jenis kekerasan yang lain, kekerasan seksual masih tertinggi, sebanyak 1624 kasus.
Fakta memilukan disampaikan dr. Eva Devita Harmoniati, Sp.A(K), dari Satgas PA IDAI, “Usia pelaku dan korban semakin muda.”
Berdasarkan temuan Satgas, dr. Eva mengungkap bahwa meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh beberapa faktor. “Pendewasaan seksual yang lebih cepat karena pengaruh media atau paparan terhadap pornografi dan pornoaksi, kurangnya edukasi tentang pendidikan seksual, dan minimnya pengawasan,” ungkap dr. Eva.
Bila kita kilas balik ke masa pandemi COVID-19, di rumah saja tak membuat anak aman dan lepas dari kerentanan sebagai objek kekerasan seksual. Mengutip data dari ECPAT, LSM internasional yang melawan eksploitasi seksual terhadap anak, yang melakukan survei di masa pandemi terhadap 1203 anak di 13 provinsi, “Hasilnya, 3 dari 10 anak mendapat pesan tak senonoh, gambar/video porno langsung atau tautan, gambar/video tak nyaman,” kata dr. Eva.
Sementara itu, data SIMFONI PPA di masa pandemi, pada periode 1-19 Juni 2020, terdapat 3087 kasus kekerasan pada anak, dengan rincian 852 kekerasan fisik, 768 kekerasan psikis, dan 1848 kekerasan seksual. Artinya, kekerasan seksual pada anak mengambil porsi 53 persen.
Data di atas selaras dengan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2021, yang pada Januari 2023 dilansir KemenPPPA. Disebutkan bahwa 2 dari 100 laki-laki dan 6 dari 100 perempuan pernah menjadi korban kekerasan seksual, dengan penjelasan bahwa usia 13-17 tahun, di perkotaan maupun pedesaan mengalami kekerasan seksual kontak sepanjang hidupnya.
Sementara, 3 dari 100 laki-laki dan 6 dari 100 perempuan usia 18-24 tahun, di perkotaan maupun pedesaan, mengalami kekerasan seksual kontak sebelum usia 18 tahun, yang artinya kejadian pertama di usia kanak-kanak.
Pelakunya kebanyakan orang-orang dekat korban, seperti pacar, teman, orang tua, dan tetangga. Ini semakin memperkuat fakta bahwa anak-anak terancam di ruang privat, seperti rumahnya sendiri dan lingkungan yang akrab dengan dirinya.
Bentuk kekerasan seksual pada anak tidak hanya kontak langsung tapi juga nonkontak atau secara virtual. Karena itu, antena kewaspadaan orang tua terhadap penggunaan gadget dan internet anak perlu lebih tinggi lagi. Para predator seksual anak mencari mangsanya secara online maupun offline, bisa sangat halus sebagai teman yang menyenangkan dan perangkap mereka tidak disadari oleh anak.
Ini yang dinamakan child grooming, modus awal predator seksual dengan membangun hubungan yang membuat anak merasa nyaman, aman, dan diperhatikan. Mereka sering memanipulasi anak dengan memberikan hadiah atau bantuan, sebagai persiapan untuk pelecehan seksual.
Child grooming sangat sulit dikenali pada awalnya, karena tampak seperti hubungan orang dewasa dan anak yang normal, suatu hubungan cinta atau persahabatan yang tulus. Jika anak masuk ke dalam perangkap, maka pelecehan maupun kekerasan seksual akan terjadi, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan fisik dan mental anak dalam jangka pendek dan panjang.
Hukum yang Tumpul di Tengah Degradasi Moral
Maraknya kekerasan seksual di negara kita semestinya menjadi alarm bagi semua pihak. Jika ditilik dari sisi sosiologi, sebenarnya, apa, sih, yang tengah terjadi dengan masyarakat kita?
Menurut Ida Ruwaida, Sosiolog Universitas Indonesia, isu kekerasan seksual pada anak ini sangat kompleks. Dosen yang banyak melakukan penelitian pada perkawinan anak itu melihat kasus-kasus kekerasan seksual pada anak saat ini ibarat gunung es, karena yang tidak dilaporkan atau belum terungkap sesungguhnya jauh lebih banyak.
Hal pertama yang menurut Ida sebagai persoalan besar adalah penegakan hukum yang masih tidak tegas. Ia menyoroti resistensi terhadap UU TPKS dari sebagian pihak pembuat kebijakan dan legislator, karena dianggap ada muatan-muatan ideologis tertentu.
“Kami sudah mencanangkan darurat dan perang melawan kekerasan seksual pada anak. Sebagai sosiolog, saya melihat isu ini dalam konteks yang lebih luas. UU berbicara tentang perlindungan terhadap anak, dan negara wajib melakukannya. UU sudah ada, namun implementasinya masih tanda tanya,” cetus Ida.
Ia membandingkan dengan Filipina yang mampu memberikan ketegasan terhadap pelaku kekerasan seksual. “Ada unsur keadilan bagi korban, karena hukumannya berat sekali, untuk efek jera. Namun, debat sanksi terhadap pelaku di negeri ini selalu terjadi konflik nilai atau cara pandang yang berbeda. Jangankan mencegah dan menangani, itu saja (sanksi) menjadi persoalan, apalagi kaitannya dengan (upaya) preventif, kuratif, dan rehabilitatif,” kata Ida.
Hukum terasa tumpul, tidak mampu benar-benar melindungi anak. Padahal, anak adalah kelompok yang memiliki kerentanan luar biasa. Selain mudah terpapar materi pornografi, anak-anak gampang percaya, diperdaya, dan diiming-imingi dengan uang atau benda.
Kerentanan itu menjadi stimulan bagi para pelaku kekerasan seksual menyasar korban-korbannya. Mirisnya, ini pula yang kerap menjadi dalih sebagian pihak, bahwa dalam beberapa kasus ada consent atau persetujuan dari anak. Pandangan ini tentu saja tidak boleh dibenarkan.
“Ada motif baru, katanya anak-anaknya mau. Tidak ada kategori ‘mau’ pada anak-anak (dalam hal tipu daya ini)!” tegas Ida.
“Anak-anak senang, karena merasa dekat (dengan pelaku), dikasih uang, diajak main, jalan-jalan. Ketidaktahuan itu yang dimanfaatkan orang dewasa. Posisinya, anak belum bisa mengambil keputusan. Namun itu dianggap ada consent. Untuk anak, nggak bisa dianggap begitu. Anak itu rentan, wajib dilindungi,” lanjut Ida.
Di samping persoalan hukum, Ida menyoroti soal nilai sosial dan norma dalam masyarakat di tataran tertentu yang menurutnya terdapat masalah, sehingga turut ‘menyumbang’ meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak. Apalagi, pelakunya kini banyak yang masih di usia anak-anak, bahkan sangat muda.
Nilai dan norma ini tidak terlepas dari pembangunan. Ida menjelaskan bahwa pembangunan di masyarakat kita semestinya berpusat pada manusia, mengusung cara pandang yang memanusiakan manusia, ditandai dengan relasi-relasi yang terjadi antaranggota masyarakat dan keluarga.
“Kenyataannya, pembangunan (di negara kita) masih banyak yang bersifat material based dan economic based. Apakah pembangunan kita yang dari dulu jargonnya berpusat pada manusia itu sebetulnya terjadi, atau tidak?” tutur Ida.
Jika dimensi manusia sebagai pusat, subjek, atau fokus pembangunan itu sudah mendapatkan perhatian kita, seharusnya terjadi penanaman nilai-nilai yang diharapkan mampu mencetak karakter baik, yang antara lain dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak.
Nilai-nilai baik seperti menghargai, melindungi, dan menyayangi orang-orang di sekitar kita sejatinya bukanlah sesuatu yang asing kita dengar. Pun demikian, pada dasarnya, kita sudah memiliki blueprint ketahanan keluarga yang antara lain memuat nilai-nilai tersebut. Namun, bagaimana nilai-nilai ini diimplementasikan dan ditanamkan di dalam masyarakat, tampaknya masih menjadi 'pekerjaan rumah' besar. Ada persoalan-persoalan dalam keluarga sebagai agen sosialisasi pertama dan utama dalam menegakkan nilai-nilai itu melalui pengasuhan dan pendidikan. Salah satu tantangannya adalah masalah ekonomi.
“Banyak orang tua yang menjadi ‘pejuang subuh’, anak-anaknya diasuh orang lain dan mudah mengakses media sosial. Anak-anak di usia 2-3 tahun dimasukkan lembaga-lembaga PAUD. Dari hasil penelitian mahasiswa saya, banyak PAUD juga sangat materialistic based. Dalam kondisi demikian, sekolah tidak lagi membangun karakter manusia,” papar Ida.
Selain itu, dalam konteks luas, situasi masyarakat sosial kita terus berorientasi pada diri sendiri dan capaian pribadi. Tiap orang sibuk dengan diri sendiri dan tidak terlalu peduli keberadaan orang lain. Jika masyarakat saling peduli dan berlandaskan nilai-nilai baik, maka tindakan preventif terhadap perusakan kehidupan dan masa depan seorang anak bisa dilakukan.
Kondisi seperti saat ini, menurut Ida, disebut sebagai anomi, ketidakjelasan norma. Definisi anomi yang dicetuskan oleh Emil Durkheim (1897) adalah suatu situasi tanpa adanya norma dan arah sehingga dalam kehidupan yang dijalani tidak tercipta keselarasan antara kenyataan yang diharapkan dan kenyataan sosial yang ada. Penyimpangan sosial terjadi apabila dalam suatu masyarakat terdapat sejumlah etnik, agama, kebangsaan, kedaerahan, dan kelas sosial yang dapat mengurangi kemungkinan timbulnya kesepakatan nilai (value consensus).
Kita patut waspada telah terjadi degradasi moral dan nilai. “Dua-duanya terjadi, karena basis moral adalah nilai. Makanya, sebaiknya pembangunan tidak memakai indikator-indikator ekonomi. Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah wellbeing,” kata Ida.
Indikator wellbeing ini sesungguhnya ada dalam konsep ketangguhan keluarga, yakni family wellbeing, yang ditandai dengan psychological wellbeing dan social wellbeing, bukan semata economic wellbeing.
“Jadi kalau ditanya soal nilai dan konteks moral, maka ini kembali lagi pada fungsi penanaman nilai, sikap, dan perilaku. Ini yang saya sebut karakter. Kalau manusianya tidak takut (melakukan kekerasan seksual), itu artinya ada masalah hukum. Kalau tidak malu, ada masalah pada dimensi sosial. Jika tidak merasa bersalah, artinya tidak memiliki norma,” jelas Ida.
Keluarga, Sekolah, dan Komunitas Harus Bergerak
Kewajiban negara dalam mengupayakan perlindungan anak dari kekerasan seksual perlu dukungan peran serta aktif masyarakat. Namun, upaya mendorong masyarakat untuk terlibat di dalam upaya perlindungan terhadap anak itu juga luar biasa. “Tidak gampang, tapi harus dicoba, karena faktanya banyak pembiaran terjadi di masyarakat. Terutama di desa-desa, banyak kasus kekerasan seksual tidak dilaporkan, karena dianggap aib,” kata Ida.
Sebenarnya, isu kekerasan seksual pada anak terjadi lintas kelas sosial, walaupun sorotan kerap mengarah kepada masyarakat menengah ke bawah. Diakui Ida, di daerah kumuh, miskin, dan padat memang rentan terjadi kekerasan seksual pada anak. Isunya adalah kesulitan ekonomi. Sehingga dengan iming-iming uang beberapa ribu rupiah saja anak bisa terjerat perangkap predator seksual anak. Isu berbeda tentunya terjadi di masyarakat menengah ke atas.
Intinya, di kelas sosial mana pun, kekerasan seksual mengancam anak karena kerentanannya. Perlindungan dalam bentuk perlawanan perlu dilakukan melalui basis keluarga, sekolah, dan komunitas.
Dari komunitas, diharapkan arahnya ke keluarga. “Fakta yang terungkap dari hasil penelitian, sikap radikal di dalam keluarga itu gampang masuknya dari kelompok-kelompok pengajian yang dibawa ke rumah. Harusnya, menolak kekerasan (termasuk kekerasan seksual), juga bisa efektif dimasukkan melalui organisasi-organisasi, kegiatan-kegiatan, atau kelompok-kelompok di tingkat lokal,” kata Ida.
Sementara, sekolah juga perlu menjadi agen perlawanan terhadap kekerasan seksual, melalui insersi pendidikan seksual di dalam mata pelajaran. “Namun, persoalannya, selama ini upaya tersebut sebagian besar gagal. Karena tidak masif, intensif, dan terstruktur. Resitensinya terlalu besar, lebih banyak yang menolak dibanding yang mau menerima. Sehingga, sampai sekarang materi pendidikan seksual tidak terintegrasi dengan baik di mata pelajaran,” kata Ida.
Perlawanan terhadap kekerasan seksual pada anak hanya bisa terjadi jika hukum ditegakkan dan kita terlibat di dalamnya.
Penulis: Gracia Danarti
Editor: Lilin Rosa Santi