tirto.id - Kementerian Agama (Kemenag) resmi mencabut izin Pesantren Al-Minhaj di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, imbas kasus pemerkosaan terhadap belasan santriwati.
Pelaku adalah Pimpinan Pesantren Al-Minhaj, Wildan Mashuri yang diduga mencabuli lebih dari 15 santriwati dalam rentang 2019-2023. Polres Batang sudah menahan dan menetapkan Wildan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
"Izin pesantren akan dicabut atas tindakan pencabulan yang dilakukan pimpinan Ponpes. Jelas ini tindakan pidana, perbuatan tidak terpuji, mencoreng marwah Ponpes secara keseluruhan, dan menyebabkan dampak luar biasa bagi korban," kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono Abdul Ghofur di Jakarta, Rabu (12/4/2023).
Kementerian Agama juga akan memberikan pendampingan terhadap para santri agar dapat melanjutkan pendidikannya. Meski izin pesantren dicabut, tetapi hak pendidikan para santri harus dilindungi.
"Kami juga memberi perhatian pada kelanjutan pendidikan para santri. Mereka harus terus belajar. Kita berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Tengah dan sejumlah pesantren lainnya," ucapnya.
Saat ini, Kemenag juga bekerjasama dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya dalam penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Lembaga terkait itu misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan kepolisian.
Menurutnya, proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak pihak terkait.
Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan. Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa?
Menurut Waryono, pemerintah tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu memikirkan nasib korbannya.
“Jadi kita juga harus melindungi korbannya, terutama anak-anak dan perempuan. Dan penanganannya juga harus komprehensif,” tandasnya.
Kemenag juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak.
Kemenag juga terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustaz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.
Proses sosialisasi ini terus berjalan secara bertahap. Sebab, jumlah pesantren memang sangat banyak, lebih 37 ribu yang terdaftar di Kemenag. Sosialisasi disampaikan kepada para Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kanwil Kemenag Provinsi yang bertugas dalam pembinaan pesantren.
Sosialisasi juga diberikan kepada perwakilan pesantren, baik melalui forum dari maupun luring.
“Kami sampaikan bahwa pengasuh pesantren harus membaca regulasi terkait perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, saya menyebutnya regulasi itu sebagai 'kitab kuning baru'. UU perlindungan anak dan perempuan agar menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Saat ini, Kemenag sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Regulasi ini antara lain mengatur masalah pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).
Sebagai tindak lanjut dari PMA 73 tahun 2022, Kemenag saat ini tengah melakukan finalisasi Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang Panduan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. KMA ini diperlukan sebagai regulasi teknis yang akan mengatur langkah dan upaya pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan binaan Kemenag.
“Kekerasan seksual adalah perbuatan yang bertentangan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Karenanya, praktik kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh terjadi lagi,” pungkas Waryono.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan