tirto.id - SOE HOK DJIN masih mengingat kedatangannya ke kantor surat kabar harian Keng Po pada suatu hari ketika masih duduk di bangku SMA. Hok Djin, yang di kemudian hari mengganti nama menjadi Arief Budiman dan kakak dari aktivis '66 Soe Hok Gie, dipanggil untuk membicarakan naskah novel Albert Camus, The Stranger,yang ia dan beberapa kawannya terjemahkan dengan judul Orang Asing. Naskah itu ia kirim beberapa pekan sebelumnya.
Setelah menunggu beberapa saat di kantor yang beralamat di Jalan Pintu Besar Selatan no. 86-88, Jakarta Kota, Hok Djin segera berhadapan dengan seorang tinggi besar dan berpakaian rapi, Mr. Auwjong Peng Koen, pemimpin redaksi majalah mingguan Star Weekly. Star Weekly dan Keng Po merupakan produk dari perusahaan yang sama, PT. Pers Dagang dan Percetakan Keng Po.
Sambil tersenyum, Auwjong berterus terang bahwa Star Weekly belum bisa menerbitkan Orang Asing dengan alasan isinya terlalu berat bagi pembaca Indonesia. “Tapi, dia berkata, dia ingin tahu mengapa saya, yang cuma anak SMA, menjadi tertarik kepada Albert Camus. Dan kami mulai berbicara,” kata Arief dalam In Memoriam: P.K. Ojong yang ditulis pada 1980.
Meski naskah ditolak, Hok Djin tetap bangga karena itu telah mengantarnya bertemu pemimpin redaksi mingguan yang ia gemari.
Bukan hanya Hok Djin yang antusias mengikuti laporan Perang Dunia II yang diterbitkan Star Weekly, melainkan juga sejumlah pemuda semasanya seperti Sartono Mukadis, Harry Tjan Silalahi, Parsudi Suparlan, dan lain-lain. Lebih dari sekadar produk jurnalistik, Star Weekly adalah anak zaman yang ikut mewarnai literasi Indonesia sepanjang dekade 1950-an.
Dari Bacaan Tionghoa Peranakan
Star Weekly lahir dari majalah bulanan Star Magazine yang terbit sejak 15 Januari 1939. Majalah setebal 72 halaman ini dipimpin oleh Go Gak Cho dan Tan Hian Lay sebagai redaktur.
Star Magazine hanya berumur kurang dari tiga tahun. Penerbit mereka, NV. Handels Maatschappij en Drukkerij Keng Po, ditutup Jepang saat mulai berkuasa di Hindia Belanda. Jepang juga menutup banyak perusahaan penerbitan lain.
Direktur dan pemimpin redaksi surat kabar Keng Po, Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat,bahkan dijebloskan ke kamp interniran di Cimahi karena pernah mengecam bala tentara Jepang sebagai fasis dalam korannya. Seperti Star Magazine,Keng Po juga diterbitkan oleh NV. Handels Maatschappij en Drukkerij Keng Po.
Segera setelah dibebaskan, Khoe Woen Sioe, Injo Beng Goat, serta rekan-rekan mereka bahu-membahu membangun kembali perusahaan. Khoe mengawali langkahnya dengan menerbitkan Star Weekly pada 6 Januari 1946. Berbeda dengan Star Magazine yang terbit tiap tanggal 15, Star Weekly hadir saban Minggu.
“Masa itu Star Weekly yang dicetak di percetakan milik Keng Po terbit hanya 8 halaman. Harganya f2 dan abonnementtida trima, ‘tidak menerima permintaan berlangganan’,” catat Helen Ishwara dalam buku PK Ojong: Hidup Sederhana Berpikir Mulia (2014: 52). Dari bahasa dan dialek yang dipakai, Star Weekly jelas ditujukan sebagai bacaan Tionghoa peranakan.
Isi majalah mula-mula hanya tinjauan dalam dan luar negeri, cerita bersambung, cerita pendek, serta kritik yang dimuat dalam rubrik khas bertajuk “Gambang-Kromong”. Di halaman satu terdapat rubrik tanpa judul dengan logo timbangan yang berisi tajuk rencana. Kecuali edisi khusus yang disebut “nomor istimewa”, Star Weekly terbit tanpa sampul dan hitam putih.
Kendati “buruk rupa”, Star Weekly memiliki pembaca setia yang berpartisipasi mengusulkan konten. Halaman yang semula hanya 8 berkembang menjadi 16, 24, 36, 40, hingga 48. Isinya pun menjadi semakin variatif.
Pada 2 Januari 1947, giliran harian Keng Po yang diterbitkan kembali. Khoe Woen Sioe menjabat pemimpin umum sementara Injo Beng Goat pemimpin redaksi.
Karena berada di atap yang sama, anggota redaksi Star Weekly dan Keng Po kerap saling tolong-menolong. Selain dwitunggal Khoe Woen Sioe dan Injo Beng Goat, tercatat pula nama-nama pertama seperti Tan Hian Lay, Khoe Hak Liep, Ie Tek Oen, dan Auwjong Peng Koen.
Nama yang disebut terakhir direkrut langsung oleh Khoe Woen Sioe sebagai wartawan Star Weekly dan Keng Po pada 1946. Ia dengan cepat menjadi redaktur pelaksana Star Weekly dan pada 6 Mei 1951 diangkat sebagai pemimpin redaksi sesudah meraih gelar meester in de rechten dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini kita lebih mengenal Auwjong dengan nama P.K. Ojong.
Bukan Sekadar Gado-Gado Mingguan
Star Weekly di bawah Khoe Woen Sioe yang menitikberatkan isi pada analisis peristiwa-peristiwa aktual yang dimuat di rubrik “Pemandangan Dalam Negeri” dan “Tindjauan Luar Negeri”. Saat dipimpin Auwjong, dua rubrik itu dipertahankan tapi ruangan untuk artikel-artikel humaniora ditambah. Ia juga menyertakan halaman khusus untuk foto berbagai peristiwa sepekan. Auwjong juga memindahkan hari penerbitan dari Minggu ke Sabtu mulai edisi 22 Oktober 1951.
Penambahan rubrik ini kemudian memperluas pangsa pembaca Star Weekly. Apabila Star Weekly sebelumnya hanya menjadi bacaan kalangan Tionghoa peranakan, kini ia juga bisa jadi bacaan keluarga karena isinya bisa dinikmati semua kalangan. “Auwjong bisa menangkap yang dibutuhkan dan yang ingin diketahui pembacanya dan itulah yang ia suguhkan dengan menarik,” catat Ishwara (2014: 83).
Setiap Sabtu, Star Weekly menyuguhkan peristiwa-peristiwa aktual yang dikemas dalam soft news maupun feature, berselang-seling dengan iklan dan foto-foto. Rubrik-rubrik unggulanantara lain “Rahasia Dapur” yang diasuh oleh Nyonya Rumah—samaran Julie Sutardjana, adik kelas Auwjong di Sekolah Guru Atas Djatinegara; “Olahraga” yang diisi oleh Tan Liang Tie; “Ruangan Nj. Seng” berupa konsultasi masalah keluarga; “Taman Anak-Anak” yang memuat lagu-lagu dan permainan anak-anak; “Masalah Pengadjaran” yang berisi tanya-jawab tentang pendidikan oleh Drs. Oey Kwie Tek; serta “Ruangan Gizi” yang memuat tips mengolah makanan yang diasuh Poorwo Soedarmo. Rubrik-rubrik itu tidak memiliki halaman tetap karena berbalapan dengan iklan.
Dalam setiap edisi, Star Weekly juga memuat cerita bersambung, cerita pendek, cerita kriminal, teka-teki silang, resensi film baru, rubrik catur, tanya jawab perpajakan, hingga cerita silat Sie Djin Koei dan komik strip “Si A Piao” karya Goei Kwat Siong.
Walau menghadirkan isi yang beragam dan memikat, menurut Harjoko Trisnadi dalam buku Dari Jurnalis Mengelola Bisnis (2021), jumlah wartawan Star Weekly bisa dihitung jari. Dewan redaksi terdiri dari Harjoko (ketika itu masih bernama Kho Tiang Hoen), Tan Hian Lay, Tan Tjoei Hock, Tan Hong Gie, dan Auwjong sendiri, ditambah sekretaris redaksi Vera Ong. Awak redaksi yang sedikit itu, selain memudahkan koordinasi, juga membuat Auwjong menuntut anak buahnya mempunyai akurasi tinggi dan kepiawaian menerjemahkan atau menyunting artikel. “Star Weekly mengundang penulis/kontributor ahli. Pak Ojonglah yang memilih mereka. Ia lalu meracik topik-topik serius dan santai di majalah itu dalam setiap edisi penerbitan,” kata Harjoko (2021, hlm. 9).
Beberapa kontributor ahli yang direkrut Star Weekly, misalnya, Mantan Menteri Luar Negeri Ida Anak Agung Gde Agung yang menggantikan dr. Soedarsono menulis “Tindjauan Luar Negeri” sejak 1956. Rubrik perpajakan diserahkan Auwjong pada Direktur Jenderal Pajak, Sindian Djajadiningrat; artikel sejarah ditulis Mohammad Ali, Kepala Arsip Nasional dan Kepala Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran; “Sudut Bahasa” diasuh oleh Lie Tie Gwan, pengajar Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung; analisis strategi perang ditulis oleh Mayor Jenderal T. B. Simatupang dengan samaran “Yudhasiswa”.
Menjelang edisi terakhir, Star Weekly mencatat nama-nama “pembantu tetap” di halaman muka, antara lain Prof. Poorwo Soedarmo, Binsar Sitompoel, W. S. Rendra, Wiratmo Soekito, Oei Sian Yok, dan Harijadi S. Hartowardojo.
Rubrik-rubrik tetap Star Weekly mempunyai kekhasan masing-masing yang sulit dilupakan. “Ruangan Gizi” mengenalkan istilah “Empat Sehat Lima Sempurna” sebagai kombinasi pangan seimbang. Resep-resep masakan yang pernah dimuat di rubrik “Rahasia Dapur” kemudian dibukukan dengan judul Pandai Masak dan menjadi buku resep best seller. Cerita bersambung Perang Dunia II yang ditulis Auwjong dibukukan dalam dua jilid berisi artikel-artikel kunci berjudul Perang Eropah yang dibukukan pada 1963. Beberapa seri cerita kriminal yang dimuat Star Weekly pun dibukukan dalam bunga rampai Perkara2 Kriminil jang Termashur pada 1964.
Penganjur Asimilasi Garis Depan
Sebagai berkala ilmiah-populer dengan tiras mencapai 52 ribu eksemplar per pekan pada pertengahan 1958, Star Weekly senantiasa menjadi sorotan serta menjadi tempat beriklan yang paling menjanjikan. Tak hanya mengiklankan produk, Star Weekly juga memuat pemberitahuan kelahiran, pernikahan, hingga pengumuman hasil seleksi. Karenanya, tidak mengherankan Star Weekly berhasil menyelenggarakan penggalangan dana untuk tarif perjalanan pulang-pergi atlet Ferry Sonneville untuk memperkuat regu bulu tangkis Indonesia dalam Thomas Cup 1958.
Jangkauan Star Weekly tak hanya menguntungkan advertensi, tapi juga menjadi ajang polemik yang seru. Polemik diawali oleh artikel satu setengah halaman Ong Hok Ham, mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia berjudul “Asimilasi Golongan Peranakan” yang dimuat di edisi no. 739 tahun ke-XV, 27 Februari 1960.
Dalam artikel itu, Ong mengemukakan stereotip yang kerap ditujukan pada orang-orang peranakan Tionghoa seperti “pedagang”, “tidak loyal”, “kebarat-baratan”, dan sebagainya. Tak jarang, kata Ong, dalam suasana krisis, diskriminasi dan konflik timbul dan korbannya adalah kaum peranakan Tionghoa.
“Satu2nja djalan menurut pendapat penulis ialah asimilasi atau peleburan seratus prosen, mendjadi orang Indonesia ‘asli’ [....] Asimilasi berarti menghilangkan identifikasi golongan minoritet [....] Pendeknja segala eksklusi[fi]tet dari minoritet harus dihapuskan,” tukas Ong.
Artikel ini dibalas Siauw Giok Tjhan, Ketua Umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ia mengatakan asimilasi butuh waktu lama untuk kelompok peranakan sebagai golongan minoritas terpisah. Sebagai alternatif, Tionghoa harus berperan aktif mewujudkan masyarakat adil dan makmur sehingga masalah kedudukan golongan peranakan bisa lebih cepat terselesaikan.
Gagasan Siauw yang berhaluan kiri ini kemudian dibantah oleh advokat Mr. Yap Thiam Hien. Yap setuju untuk mempertahankan golongan peranakan sebagai suatu golongan terpisah, tetapi alternatif asimilasi bisa diterima, asal diskriminasi rasial dihilangkan. Bagi Yap, selama diskriminasi rasial masih ada, asimilasi mesti ditolak atau sekurang-kurangnya menjadi mustahil.
Di manakah posisi Star Weekly menyikapi polemik ini? Secara tegas, Star Weekly mendukung gagasan asimilasi. Auwjong bahkan memuat pernyataan 10 orang yang mendukung gagasan pembauran dalam Star Weekly no. 743, 26 Maret 1960, halaman 2, dengan judul “Menudju ke Asimilasi jang Wadjar”. Auwjong dan Injo Beng Goat ikut menandatangani pernyataan itu, selain Ong Hok Ham dan tujuh orang lain.
Polemik ini dinyatakan berakhir pada 20 Mei 1960 dengan tajuk rencana “Intisari” di halaman 1 yang meringkas polemik dari tiga sudut pandang dan menambahkan anjuran dibukanya dialog golongan mayoritas dan minoritas. “Dialog itu dapat direnungkan lebih lanjut. Bukan demi kepentingan Sdr. Lie atau opponentnja, tapi demi tudjuan kita bersama [untuk] tjoba mentjari dalam memetjahkan masalah minoritet jang begitu sulit,” demikian Auwjong menutup editorial tersebut.
Dalam Bayang-Bayang Beredel
Sejak awal, Star Weekly berdiri sebagai media yang melawan arus. Ketika semua surat kabar dan majalah menjadi corong partai tertentu, Star Weekly teguh tanpa afiliasi. Menjelang Pemilihan Umum 1955, misalnya, Auwjong menulis dalam “Timbangan” sebagai berikut, “Star Weekly jang bebas dan tidak dimiliki atau dipengaruhi oleh partai-organisasi manapun djuga tidak bisa mengemukakan satu partai tertentu jang pembatja baik pilih.”
Akan tetapi, menurut St. Sularto dalam biografi Jakob Oetama, Syukur Tiada Akhir (2011), Star Weekly maupun Keng Po sama-sama berprinsip tidak kenal kompromi terhadap penyelewengan. “Mingguan Star Weekly dan harian Keng Po dikagumi Jakob sebagai media-media yang serius sekaligus populer, yang berprinsip menempatkan manusia sebagai fokus dan memperjuangkan nilai-nilai keluhuran manusia,” catat Sularto (2011, hlm. 49).
Berkat independensinya, Star Weekly dapat leluasa memuat tulisan yang mengecam kebijakan pemerintah. Salah satunya tulisan dari Ida Anak Agung Gde Agung yang dikenal sebagai diplomat kawakan dan punya perspektif yang berseberangan dengan Soebandrio. Pada suatu kali, dalam rubrik “Tindjauan Luar Negeri”, Anak Agung, yang menulis dengan samaran “M”—dari Manggis, nama keluarganya—membandingkan rencana pembangunan lima tahun yang diwacanakan pemerintah dengan kegagalan rencana serupa di India.
Dalam kesempatan lain, Anak Agung juga menulis tentang karakter pemerintahan Nehru yang demokratis dan secara tersirat memberikan perbandingan dengan Sukarno yang ketika itu ia anggap sebagai “diktator”.
Auwjong juga pernah menerima keluhan dari seorang anggota Komando Militer Kota Besar (KMKB) Jakarta Raya. Orang itu menyatakan isi tinjauan ekonomi yang ditulis wartawan Keng Po, Khoe Hak Liep, memang benar tetapi nadanya barangkali bisa dikurangi agar tidak menyinggung penguasa. Alih-alih menghiraukan, Auwjong memilih memberi tahu Hak Liep perihal keluhan itu daripada mengubah isi artikel—yang sebetulnya bisa ia lakukan.
Pukulan hebat baru terasa setelah Keng Po diberedel pada 1 Agustus 1957 dan Injo Beng Goat dijebloskan ke penjara, sebelum dua bulan kemudian dilepaskan. Pelarangan Keng Po terbit lebih dari dua bulan tanpa sebab yang jelas ini menarik perhatian banyak orang, termasuk Bung Hatta yang menyatakan simpati dan protes.
Auwjong segera mengambil manuver untuk menghindarkan Star Weekly dari nasib serupa. “Pemandangan Dalam Negeri” yang ditulis Injo Beng Goat di halaman satu diganti “Tindjauan Luar Negeri” tulisan Ida Anak Agung Gde Agung. Rubrik “Timbangan” diganti “Intisari” dan “Gambang Kromong” yang berisi kritik tajam dihilangkan. Tulisan-tulisan berbau politik dijadikan sampingan sedangkan artikel-artikel ilmiah dan cerita bersambung menjadi andalan. Strategi ini berjalan sekurang-kurangnya selama empat tahun.
Sampai nomor 823 tahun ke-XVI, 7 Oktober 1961, Star Weekly tetap terbit 48 halaman.
Dalam persiapan penerbitan nomor 824 yang dicetak Kamis, Auwjong diminta menghadap Penguasa Perang Daerah pada Rabu siang, 11 Oktober 1961, tepat hari ini 60 tahun yang lalu. Panggilan tersebut disampaikan oleh Vera Ong, sekretaris Keng Po.
“Saya lupa berapa jam tepatnya, tetapi lama. Mungkin dua jam, mungkin empat jam. Ternyata ia di-verhoor (interogasi). Ketika ia kembali, di kepala tangga, ia sudah berkata dalam bahasa Belanda, wij zijn dood, ‘kita mati’. Semua terdiam,” ungkap Vera Ong. Maka berakhirlah kisah Star Weekly.
Meski dua usahanya diberedel, Khoe Woen Sioe tidak patah arang. Ia mengganti nama NV. Keng Po menjadi PT. KINTA pada 1961 yang tak lagi menerbitkan surat kabar tetapi menyediakan fasilitas untuk penerbitan dan layanan pracetak bagi media lain yang membutuhkan. Tangan dingin Khoe kemudian ikut membidani media-media pengganti Keng Po dan Star Weekly seperti surat kabar Sinar Harapan pada 1961, bulanan INTISARI pada 1963, dan harian KOMPAS pada 1965.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Rio Apinino