tirto.id - Meski sudah menulis ratusan artikel tentang Perang Dunia II, Petrus Kanisius Ojong tidak menganggap dirinya sebagai sejarawan perang. Ojong yang pemerhati sejarah menuliskan kisah-kisah perang tersebut untuk majalah mingguan Star Weekly—yang juga turut dipimpinnya—secara berseri. Setelah artikel terkumpul banyak, belakangan jadilah empat jilid buku soal Perang Dunia II (tiga jilid Perang Eropa dan satu jilid Perang Pasifik) yang banyak dibaca pecinta sejarah di Indonesia itu.
Waktu Ojong tutup usia pada 31 Mei 1980, tepat hari ini 39 tahun lalu, dirinya lebih dikenal sebagai penerbit dan wiraswasta. “Banyak di antara kita lupa, ia [Ojong] seperti umumnya penerbit Indonesia, pertama-tama adalah wartawan,” tulis Jakob Oetama, kawan bisnis sejatinya, dalam pengantar untuk buku Kompasiana: Esai Jurnalistik Tentang Berbagai Masalah (1981: ix). “Dalam tahun-tahun pertama harian Kompas, P.K. Ojong menulis secara teratur dalam rubrik yang kemudian dikenal sebagai rubrik Kompasiana.”
“Almarhum PK Ojong adalah bekas guru, sarjana hukum yang kemudian menjadi wartawan terkemuka,” kata Jakob pula seperti tercatat dalam pengantar buku Bersyukur dan Menggugat Diri (2009: xviii).
Ojong memang pernah sekolah guru di Hollandsch Chineesche Kweekschool (HCK) di Meester Cornelis. Seperti dicatat Helen Ishwara dalam biografi P.K. Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001: 34), Ojong pernah jadi guru di Holland Chinneesche Broederschool St Johannes Berchmans (kini Sekolah Budi Mulia) di Jalan Raya Mangga Besar 135, antara 1940-1944.
Banting Setir Jadi Wartawan
Setelah 1946, Ojong mulai terjun ke media. Orang yang menariknya hingga aktif di media adalah Khoe Woen Sioe, yang juga memengaruhinya untuk menjadi sosial demokrat penganut Fabian Society. Ojong, yang lahir dari keluarga Tionghoa cukup tajir di Minang, memang berbakat kaya dan setelah tajir dia berusaha menjadi bos media yang baik dalam menyejahterakan para karyawannya.
Ojong Mula-mula jadi penulis lepas di majalah Star Weekly. Memang seharusnya tidak sulit bagi seorang guru untuk menulis artikel populer di media. Kadang-kadang itu tidak jauh beda dengan menyusun bahan mengajar di kelas.
Di dunia media, dia akhirnya masuk ke redaksi. Tak hanya di Star Weekly, tapi juga di harian Keng Po. Seperti dicatat Reni Nuryanti dalam Seabad Pers Kebangsaan (2007: 721), Ojong mengasuh rubrik di Star Weekly bernama Gambang Kromong yang berisi sentilan kepada pemerintah.
Kedua media yang dibangunnya itu, pada 1961, diberedel pemerintah Sukarno. Di masa pasca-pemberedelan ini, PT Saka Widya berdiri dan Ojong jadi direkturnya. Saka Widya saat itu bergerak dalam bidang penerbitan buku.
Ketika masih jadi direktur PT Saka Widya, Ojong mulai bekerja sama dengan sesama mantan guru, Jakob Oetama. Dua pengiman Kristus yang sama-sama bisa mengajar sejarah ini, bersama Irawati dan J. Adisubrata, kemudian merintis sebuah majalah pengetahuan bernama Intisari.
Majalah berjargon “tetap berisi, tahan basi” ini terbit sejak 17 Agustus 1963 dengan kantor redaksinya di Pintu Besar Selatan 86-88. Banyak kaum terpelajar era 1960-an mengisi tulisan untuk majalah yang sebetulnya berguna untuk anak-anak dan guru di sekolah ini. Intisari berisi macam-macam tema terkait ilmu pengetahuan. Tentu saja termasuk sejarah.
Dengan menulis dan menjalankan majalah macam Intisari, sejatinya Ojong dan Jakob adalah guru di luar kelas yang sama-sama membagikan ilmu pengetahuan.
Ojong termasuk orang yang suka ikut diskusi. Bahkan dengan orang-orang yang lebih muda darinya, seperti Soe Hok Gie. Mereka ikut serta dalam Studieclub (kelompok diskusi). “Ojong atau Auyong Peng Koen yang sudah sarjana hukum dan lebih tua usianya tampil sebagai pelerai bila diskusi menghangat,” catat Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia - Volume 3 (2004: 170).
Di era Demokrasi Terpimpin itu, situasi politik memanas. Saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah kekuatan besar, dan tentunya punya musuh yang tidak kalah besar, baik di militer maupun sipil.
Bermula dari Gagasan Yani
Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani, seperti ditulis Mamak Sutamat dalam Kompas Menjadi Perkasa karena Kata (2012: 16-17), suatu hari menghubungi Menteri Perkebunan Frans Seda, seorang Katolik. Yani memberi ide untuk membangun koran guna menandingi surat kabar Harian Rakjat (corong PKI) yang oplahnya besar. Yani berharap ada media alternatif di kalangan Katolik.
Frans Seda kemudian membahas ide Yani bersama tokoh Katolik Ignatius Josef Kasimo. Ojong dan Jakob Oetama akhirnya dipercaya Frans Seda untuk mengelola koran tandingan itu. Jajasan Bentara Rakjat kemudian didirikan pada awal 1965. Semula koran itu hendak diberi nama Bentara Rakjat, namun Sukarno mengarahkan agar dinamai Kompas.
Sejak Kamis, 24 Juni 1965, Kompas pun mulai terbit. Sudah barang tentu garis politiknya sejalan dengan Angkatan Darat. Setelah Sukarno tumbang dan Harian Rakjat lenyap, Kompas makin lama makin jadi salah satu koran paling berpengaruh di awal Orde Baru, selain harian Angkatan Bersenjata tentunya. Hingga kini, di bagian atas halaman muka Kompas, nama Jakob Oetama dan P.K. Ojong selalu ada.
Setelah koran dan majalah mereka punya nama, bisnis Ojong dan Jakob merambah ke bidang percetakan dengan berdirinya Gramedia Printing pada 1972. Mulanya percetakan ini ditujukan untuk mencetak terbitan mereka sendiri. Setelah percetakan, akhirnya penerbit Gramedia pun lahir pada 1974.
Media-media, perusahaan cetak, penerbitan, dan toko buku Gramedia nan masyhur milik kelompok usaha Kompas Gramedia kemudian beranak-pinak dan makin besar. Meski sibuk memimpin perusahaan dan menjadi media mogul, Ojong tetap meluangkan waktunya untuk menulis di rubrik "Kompasiana".
Editor: Ivan Aulia Ahsan