tirto.id - Jumat, 20 Juni 2025, Israel meluncurkan Operasi Rising Lion, melibatkan lebih dari 60 jet tempur dan 120 amunisi yang menghantam situs militer dan nuklir di berbagai wilayah Iran. Target utamanya meliputi peluncur rudal balistik, fasilitas penyimpanan senjata di Tabriz dan Kermanshah, baterai pertahanan udara di Isfahan dan Teheran, serta markas intelijen dalam negeri Iran. Serangan ini juga merusak reaktor air berat Khondab dan menewaskan seorang ilmuwan nuklir.
Operasi tersebut memanfaatkan teknologi tinggi, seperti kecerdasan buatan (AI) untuk memilih target, senjata presisi yang diselundupkan, serta drone bersenjata. Selain menargetkan fasilitas senjata, dua jenderal penting Iran, Hossein Salami, kepala Garda Revolusi Iran, dan kepala staf angkatan bersenjata Iran, Mohammed Bagheri, ikut menjadi korban.
Dalam hubungan internasional, simbol-simbol dan narasi historis sering kali dimanfaatkan untuk membentuk opini publik, melegitimasi tindakan, dan mendelegitimasi lawan. Pemilihan nama Rising Lion bukan sekadar simbol militer, tapi sebuah pesan politik. Pemerintah Israel secara terbuka mengaitkan nama tersebut dengan lambang singa dan matahari, ikon monarki Iran sebelum Revolusi 1979.
Strategi tersebut disinyalir sebagai upaya perang psikologis: menggoyang legitimasi rezim Iran dengan membandingkannya pada masa pra-revolusi sekaligus memberi isyarat dukungan pada kelompok oposisi untuk bergerak.
Tiga hari sebelumnya, sebagaimana laporan Accociated Press, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berdiskusi lewat telepon dengan Presiden AS, Donald Trump, tentang perkembangan terbaru.
Iran selama ini dikenal mendukung Palestina lewat berbagai kelompok militan di berbagai wilayah. Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, Houthi di Yaman, sementara Israel terus berusaha untuk mengganggu jaringan ini.
Mesra Sebelum Revolusi Iran
Hubungan Iran-Israel tidak selalu buruk. Selama Perang Dingin dan sebelum 1979, Iran di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi sebenarnya memiliki hubungan dekat dengan Israel. Mereka mempertahankan hubungan diplomatik, melakukan kerja sama militer, dan Iran bahkan memasok minyak ke Israel hingga 10 persen sumber impornya.
"Negara Persia tersebut, yang bukan negara Arab, telah secara diam-diam memasok emas hitam kepada Israel sejak pertengahan tahun 1950-an," tutur Daniel Ammann dalam buku The King of Oil : The Secret Lives of Marc Rich (2009:64).
Rezim Shah melihat Israel sebagai sekutu yang berharga melawan nasionalisme Arab yang tengah menggema di wilayah tersebut.
Dinasti Pahlavi berkuasa dari tahun 1925 di bawah pendirinya Reza Shah Pahlavi hingga tahun 1941. Putranya, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian naik takhta dan mendorong modernisasi besar-besaran di Iran lewat Revolusi Putih. Ia membangun infrastruktur, mendorong industrialisasi, sekularisasi, dan pemberdayaan perempuan.
Namun, rezim ini juga dikenal otokratis, korup, dan represif, terutama lewat SAVAK, polisi rahasia yang menindak keras perbedaan pendapat. Ketimpangan distribusi kekayaan minyak dan intervensi asing, seperti kudeta CIA-MI6 tahun 1953, turut memicu Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi.
Revolusi Islam 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini kemudian membawa berbagai perubahan dramatis. Pemerintah teokratis yang baru mengadopsi sikap yang sangat anti-Israel, memandang Israel sebagai negara yang tidak sah dan mendukung gerakan perlawanan Palestina. Oposisi ideologis ini menjadi landasan kebijakan luar negeri Iran hingga kini.
Perubahan lainnya ialah nama Kerajaan Iran berganti menjadi Republik Islam Iran, termasuk penggantian simbol pada bendera Iran yang mencerminkan identitas baru yang berbasis pada nilai-nilai Islam dan revolusi.
Meski aktif di luar negeri dan mendapat sorotan media Barat, dukungan terhadapnya di dalam negeri Iran masih terbatas. Banyak warga, terutama generasi muda, perempuan, dan kelompok minoritas, memandang monarki sebagai simbol represi budaya dan nasionalisme eksklusif.
Organisasi diaspora yang ia pimpin pun dikritik karena kurang inklusif dan terlalu mencerminkan narasi liberal Barat, bukan aspirasi rakyat Iran. Diamnya terhadap isu Palestina semakin menjauhkan simpati publik dalam negeri.
Lambang Identitas Iran yang Berusia Ribuan Tahun
Simbol singa dan matahari pada bendera Iran bukan sekadar peninggalan Dinasti Pahlavi. Lambang ini telah hadir sejak abad ke-12 dan berkembang menjadi simbol resmi negara selama era Safawi pada abad ke-16, melambangkan dua fondasi utama masyarakat: negara dan agama.
Di bawah Dinasti Qajar, simbol ini mengalami evolusi dengan penambahan pedang dan mahkota, yang merepresentasikan kehebatan militer dan keluarga raja, serta pembentukan Orde Kekaisaran Singa dan Matahari pada tahun 1808.
Lambang singa dan matahari juga kerap digunakan pada berbagai panji yang dimiliki oleh militer Iran. Sedangkan penggunaan tiga warnanya baru diadopsi secara resmi pada tahun 1906 usai Revolusi Konstitusi Iran.
Pada masa Dinasti Pahlavi, bendera dimodifikasi dua kali. Tiga warnanya: hijau, putih, dan merah dibuat menjadi gelap pada 1933. Pada 1964, lambang singa dan matahari diperkecil dengan tambahan pijakan singa, dengan tetap sepenuhnya dalam garis warna putih di tengah.
Asal-usulnya yang kompleks, memadukan warisan Iran kuno, pengaruh Zoroaster, Islam, budaya Turki dan Mongol, bahkan astrologi: matahari dalam rasi Leo. Singa mencerminkan kekuasaan dan kepahlawanan, seperti tokoh legendaris Rostam atau Imam Ali yang dikenal sebagai "singa Allah". Matahari terhubung pada dewa Mithra, simbol keadilan dan perjanjian dalam tradisi Iran kuno.
Kini, simbol tersebut, terutama versi dengan singa membawa pedang dan ekor berbentuk huruf S, telah menjadi ikon oposisi anti-rezim di Iran. Maka, ketika Israel menamai serangannya "Rising Lion", ini bukan sekadar provokasi militer. Israel tampaknya berusaha menantang legitimasi rezim saat ini dengan membandingkannya pada masa lalu yang dianggap lebih agung.
Kebijakan AS dan Wacana Perubahan Rezim
Pada 23 Juni 2025, Presiden Donald Trump memicu kontroversi lewat unggahan di X yang menyatakan: "Tidak benar secara politis untuk menggunakan istilah 'Perubahan Rezim', tetapi jika Rezim Iran saat ini tidak dapat MEMBUAT IRAN HEBAT LAGI, mengapa tidak ada perubahan rezim??? MIGA!!!"
Frasa "MEMBUAT IRAN HEBAT LAGI" juga secara halus menggemakan tema-tema nasionalistik, secara implisit selaras dengan narasi kebangkitan masa lalu. Ia juga mengklaim militer AS telah menyebabkan kerusakan monumental pada situs nuklir Iran dan sebelumnya menuntut penyerahan tanpa syarat dari Pemimpin Tertinggi Iran.
Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan pesan resmi pemerintahannya, yang sebelumnya menegaskan bahwa serangan terhadap Iran bukan bertujuan menggulingkan rezim, melainkan menghentikan program nuklirnya.
Ketidakkonsistenan ini menciptakan ambiguitas dalam kebijakan luar negeri AS, antara retorika provokatif dan strategi diplomatik yang lebih hati-hati. Beberapa analis menilai tindakan Trump kerap dilakukan sebagai antagonistik tetapi kurang memiliki tindak lanjut yang koheren.
"[...]mengasumsikan Iran akan mengakui kekalahan setelah dipukul, tetapi sejarah menunjukkan bahwa Iran tumbuh subur di bawah tekanan dan jarang tunduk pada kekuatan arogan," lanjutnya, dikutip Tehran Times.
Namun, pendekatan AS juga dinilai berisiko. Ketidakterpaduan pesan antara Trump dan pejabat seniornya membuka celah bagi Iran untuk mengeksploitasi perpecahan, dan memperumit upaya diplomasi jangka panjang.
Sebelumnya, menjelang dimulainya Operasi Rising Lion, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengunjungi Tembok Barat pada 12 Juni 2025 dan meninggalkan catatan berisi kutipan dari Bilangan 23:24: "Lihat, suatu bangsa akan bangkit seperti singa...".
Sepuluh hari kemudian, ia kembali dan menulis, "Bangsa itu telah bangkit, bangsa Israel hidup."
Ayat tersebut berasal dari nubuat Bileam, seorang nabi non-Israel yang justru memberkati Israel, menggambarkan bangsa itu sebagai kuat dan tak terkalahkan, seperti singa yang bangkit untuk berburu. Dalam tradisi Yahudi, citra singa juga merujuk pada Singa Yehuda, simbol kekuatan dan keteguhan bangsa Israel.
Penggunaan ayat ini bukan sekadar ekspresi religius, melainkan bagian dari strategi komunikasi yang terencana. Di dalam negeri, Netanyahu membingkai operasi militer besar-besaran dengan mencari berbagai pembenaran, meski harus melanggar kedaulatan wilayah lain.
Di luar negeri, terutama bagi audiens Iran, frasa "Rising Lion" sengaja dikaitkan dengan lambang singa dan matahari dari era pra-revolusi Iran, menyiratkan pesan ideologis yang tajam untuk menarik simpati oposisi. Retorika ini, meskipun ambigu, menunjukkan keinginan perubahan mendasar di Iran, baik melalui tekanan internal maupun destabilisasi simbolik.
Meskipun simbol-simbol pra-revolusi memiliki resonansi historis, dukungan terhadap oposisi Pahlavi di dalam Iran tetap terbatas. Banyak warga Iran, terutama generasi muda, melihat monarki sebagai masa lalu yang tidak relevan atau bahkan menindas.
"Rakyat Iran layak mendapatkan yang lebih baik daripada dinasti daur ulang lainnya atau boneka kepentingan asing. Setiap transformasi demokratis yang nyata harus dimulai dari dalam oleh rakyat, untuk rakyat, dan bebas dari hantu kekaisaran,” tulis Wahid Azal dalam kolomnya di CounterPunch.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi