tirto.id - Kelaparan di Gaza makin menunjukkan krisis kemanusiaan yang sangat serius dan membutuhkan bantuan internasional segera. Krisis pangan ini merupakan hasil dari kebijakan sistematis yang mempersempit akses terhadap kebutuhan dasar.
Blokade berkepanjangan yang dilakukan oleh Israel telah menghambat bantuan kemanusiaan dan mengisolasi 2 juta warga dari dunia luar. WHO melaporkan, setidaknya ada 63 kasus malnutrisi pada Juli 2025, termasuk 24 di antaranya dialami oleh balita. Tingkat malnutrisi akut global di Gaza meningkat tiga kali lipat sejak Juni, dengan hampir satu dari lima anak di bawah lima tahun mengalami malnutrisi akut.
Pada Maret 2024, UNICEF mencatat malnutrisi akut pada anak di bawah dua tahun naik dari 15,6 persen menjadi 31 persen dalam kurun sebulan di Gaza Utara. Setidaknya 23 anak meninggal akibat krisis itu.
Studi dari PLOS One pada Mei 2025, berdasarkan survei Mei-Juli 2024, menemukan bahwa 98 persen rumah tangga di Gaza mengalami ketidakamanan pangan berat, dengan 95 persen melaporkan kelaparan, dan 84 persen anak menunjukkan gejala kelaparan.
Rata-rata berat badan warga di Gaza turun 10,5 kg. Begitu juga dengan angka BMI, dari 26,4 menjadi 22,8 kg/m². Laporan IPC pada Mei 2025 mengindikasikan 495.000 orang berada pada fase kelaparan ekstrem (IPC Phase 5), dengan risiko berlanjut hingga 2025.
Senin, 7 Juli 2025 lalu, organisasi dokter untuk kemanusiaan Israel, Physicians for Human Rights Israel (PHRI), memuat laporan tentang praktik genosida di Gaza. Laporan bertajuk “Destruction of Conditions of Life: a Health Analysis of The Gaza Genocide” tersebut menyebut kebrutalan Israel sebagai tindakan yang disengaja, kumulatif, dan berkelanjutan.
Laporan itu juga membeberkan temuan lain: 92 persen balita (khususnya usia 6 bulan hingga 2 tahun) mengalami kekurangan makanan, minimal 85 anak telah meninggal karena kelaparan, 9 dari 10 warga Gaza telah dipindahkan paksa, 92 persen rumah hancur atau rusak, termasuk layanan kesehatan penting.
PHRI menyatakan bahwa tindakan tersebut setara dengan genosida, merujuk pada definisi yang tercantum dalam Konvensi Genosida 1948. Terlebih, pada 19 Juli 2024 lalu, Mahkamah Internasional juga menyatakan bahwa kehadiran Israel di wilayah Palestina, termasuk Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, adalah ilegal.
Realitas Lapangan
Zainab Abu Haleeb, bayi lima bulan yang meninggal karena malnutrisi, menjadi potret nyata dampak dari blokade Zionis Israel. Ia membutuhkan susu formula khusus karena alergi terhadap susu sapi. Namun, pasokan itu tak pernah tiba.
Berat tubuhnya ketika wafat bahkan lebih ringan daripada saat ia lahir. Ibunya, yang juga kekurangan gizi, hanya mampu menyusui selama enam minggu sebelum terpaksa beralih ke formula yang tak tersedia.
“Kita hanya angka. Anak-anak kami, yang kami bawa selama sembilan bulan dan kemudian kami lahirkan, hanya menjadi angka,” tukas ibu Zainab, Esraa Abu Halib, dilansir oleh The Associated Press.
Kisah tragis Zainab adalah bukti penghancuran sistematis terhadap seluruh infrastruktur kehidupan dari makanan pokok hingga pasokan medis paling dasar. Kelaparan di Gaza bukanlah bencana alam, melainkan kebijakan yang disengaja.

Penggunaan kelaparan sebagai senjata perang dilarang tegas oleh hukum internasional. Artikel 54 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa melarangnya secara eksplisit, sementara Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional menetapkannya sebagai kejahatan perang dalam Pasal 8(2)(b)(xxv). Sejumlah studi akademis menyimpulkan, tindakan Israel yang membuat warga Gaza kelaparan telah memenuhi definisi hukum tersebut.
Anas Baba, jurnalis NPRyang berbasis di Gaza, memberikan kesaksian langsung tentang kondisi kelaparan ekstrem, termasuk fakta bahwa berat badannya turun sepertiga selama 21 bulan terakhir. Ia juga menggambarkan perjalanan berbahaya untuk mendapatkan makanan dari situs distribusi Gaza Humanitarian Foundation (GHF).
Dalam laporannya, Baba mendeskripsikan berbagai kondisi mengerikan: harga 2 pon kentang mencapai 100 dolar, warga pingsan di jalanan karena terlalu lemah, serta situasi berbahaya ketika orang membawa pisau untuk melindungi diri dari perampok makanan.
“Seorang wanita berusia 40-an bersama putranya. Wanita itu berkeringat, dengan wajah marah, memegang dua pisau di tangannya sendiri, dan berteriak pada semua orang agar tidak menyentuh anaknya atau makanannya,” ujarnya.
Berbagai lembaga internasional menyebut, akar masalah kelaparan di Gaza adalah blokade total bantuan kemanusiaan oleh Israel sejak awal Maret 2025. PBB, WHO, Program Pangan Dunia (WFP), dan otoritas kesehatan lokal, telah menunjukkan lonjakan kematian akibat malnutrisi.
Namun, Israel dan lembaganya, seperti The Coordination of Government Activities in the Territories(COGAT), terus menyangkal adanya kelaparan. Padahal, jelas-jelas klaim tersebut bertentangan dengan data lapangan yang diverifikasi secara independen.
Penyangkalan tersebut bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan bagian dari perang informasi yang disengaja. Strategi itu bertujuan mengaburkan kenyataan, menunda tekanan internasional, dan membenarkan kebijakan distribusi bantuan melalui GHF yang kontroversial.
Premis, Politik, dan Propaganda GHF
GHF merupakan lembaga yang dibentuk Amerika Serikat dan didukung Israel. Mulai beroperasi pada Mei 2025 sebagai alternatif bantuan dari PBB, Israel menyebut pendirian GHF sebagai respons atas dugaan pengalihan bantuan oleh Hamas.
Namun, analisis intelijen AS tidak menemukan bukti adanya pengalihan yang sistematis. Itu menunjukkan bahwa dasar pembentukan GHF cenderung politis alih-alih faktual.
“Israel tidak pernah secara pribadi menuduh atau menawarkan bukti Hamas mencuri sebagian besar bantuan Gaza,” tutur David M. Satterfield, mantan diplomat senior era Joe Biden, dikutip dari PBS.
Sejak awal, struktur GHF memicu kekhawatiran. Organisasi tersebut dipimpin bukan oleh profesional kemanusiaan, melainkan oleh tokoh politik dan kontraktor militer, di bawah pengawasan ketat Israel. Model ini melanggar prinsip netralitas, kemandirian, dan ketidakberpihakan, sehingga hampir semua lembaga bantuan internasional, termasuk PBB, menolak bekerja sama.
Kritik paling tajam datang dari dalam. Jake Wood, direktur eksekutif pertama GHF, mundur sebelum operasi dimulai. Ia menyatakan mustahil menjalankan rencana itu tanpa melanggar prinsip kemanusiaan dan ia menolak mengabaikannya.
Pengunduran diri Jake Wood menjadi peringatan dini bahwa GHF cacat sejak desain. Sistemnya tampak lebih bertujuan membongkar infrastruktur bantuan PBB yang dikelola Badan Pengungsi Palestina, memperkuat kontrol Israel atas distribusi pangan, dan membentuk koridor bantuan yang dimiliterisasi di bawah label filantropi.
Model operasional GHF secara desain menciptakan risiko besar. Dengan hanya ada empat titik distribusi untuk jutaan warga yang tersebar, sistem itu memicu kepadatan, kepanikan, dan kekerasan. Warga sipil yang kelaparan dipaksa menempuh perjalanan berbahaya melintasi zona militer aktif demi mendapatkan bantuan. Terlebih, setiap lokasi distribusi tidak memiliki jadwal tetap dan waktu bukanya pun teramat singkat, hanya beberapa menit.
Kerumunan padat dan tak terkendali itu menjadi sasaran empuk. Jalur bantuan yang seharusnya menyelamatkan nyawa berubah menjadi “perangkap maut”. Demikian istilah yang digunakan oleh Sekjen PBB, lebih dari 170 organisasi HAM, dan warga Gaza.
Dampaknya terdokumentasi dengan jelas. GHF sudah diproyeksikan jauh-jauh hari setelah serangan Oktober pada 2023. Menurut The New York Times, sepanjang tahun 2024, para pejabat Israel mengembangkan proyek tersebut dengan kontraktor keamanan swasta Amerika, terutama Philip F. Reilly, mantan perwira senior CIA.

Sejak GHF beroperasi pada akhir Mei 2025, lebih dari 1.000 warga Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka di lokasi distribusi, akibat dari tembakan pasukan Israel dan kontraktor swasta yang dikendalikan AS.
Investigasi oleh BBC dan Associated Press mengonfirmasi pola kekerasan itu. Peluru tajam, mortir, peluru tank, bahkan drone, digunakan terhadap warga sipil tak bersenjata yang sedang mencari makanan.
Anthony Aguilar, mantan kontraktor GHF dan veteran pasukan khusus AS, menyaksikan sendiri kejahatan perang yang dilakukan oleh IDF dan kontraktor AS. Ia menggambarkan budaya impunitas: penjaga tidak memiliki aturan atau kontrol dan didorong untuk menembak terlebih dahulu.
GHF dan pejabat Israel menyangkal tuduhan tersebut, menyebutnya sebagai tembakan peringatan atau menyalahkan Hamas. Namun bukti video, forensik, dan kesaksian lapangan, menunjukkan pola pengaburan yang disengaja.
Amnesty International dan Human Rights Watch mengumpulkan bukti yang menunjukkan bahwa tujuan GHF ialah menenangkan kekhawatiran internasional sambil menjadi alat lain dari genosida Israel.
Mesin Korporat Genosida
Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk HAM di Wilayah Palestina yang Diduduki, menyebut sistem ekonomi kolonial Israel telah bertransformasi menjadi ekonomi genosida. Dalam laporan From Economy of Occupation to Economy of Genocide, ia mengidentifikasi lebih dari 1.000 entitas korporat yang mendukung proyek kolonial Israel.
Selama 21 bulan terakhir, bursa saham Tel Aviv melonjak 213 persen, menghasilkan keuntungan pasar sebesar 225,7 miliar dolar, termasuk 67,8 miliar dolar yang diperoleh hanya dalam sebulan terakhir. Albanese menegaskan: “Bagi sebagian pihak, genosida menguntungkan.”
Ada lebih dari seribu entitas korporat yang terlibat, mulai dari sektor senjata, teknologi, pariwisata, keuangan, konstruksi, hingga energi. Lockheed Martin dan Elbit Systems, misalnya, menyediakan senjata dan sistem targeting yang memungkinkan 85.000 ton bom dijatuhkan di Gaza—enam kali lipat dari bom Hiroshima. Google, Microsoft, Amazon, dan IBM, turut menyediakan teknologi pelacakan dan targeting berbasis AI, dengan data Palestina sebagai bahan bakarnya.
Pada November 2018, Airbnb, salah satu korporat pendukung Israel, sempat berjanji menghapus sekitar 200 daftar properti di pemukiman ilegal di Tepi Barat. Akan tetapi, mereka membatalkan keputusan itu beberapa bulan kemudian usai pengacara Israel mengajukan gugatan atas nama tuan rumah dan pihak lain yang menentang penghapusan daftar tersebut.
Sebagai kompromi, mereka mengklaim akan menyumbangkan keuntungan dari daftar tersebut untuk tujuan kemanusiaan. Praktik tersebut, oleh Albanese, disebut sebagai humanitarian-washing, menggunakan filantropi untuk menutupi keterlibatan dalam pelanggaran hukum internasional.
SOMO, dalam penelitiannya pada Juni 2024, menegaskan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dalam genosida di Gaza. Berdasarkan Konvensi Genosida, individu maupun badan hukum, termasuk pengusaha dan perusahaan, dapat dikenai sanksi pidana atas keterlibatan mereka dalam tindakan genosida.
Pendudukan dan genosida di Gaza menunjukkan kegagalan moral dan politik dunia. Mengakhirinya memerlukan tidak hanya kemarahan, tetapi juga keberanian untuk membongkar sistem licik Zionis yang memungkinkannya terus berlanjut.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































