Menuju konten utama

Israel Mencekik Gaza, tapi Mengapa Hukum Internasional Melempem?

Hukum internasional sekali pun tetap punya celah dan itulah yang membuat Israel sulit diusik.

Israel Mencekik Gaza, tapi Mengapa Hukum Internasional Melempem?
Warga Palestina berkerumun di titik distribusi sup miju-miju di Kota Gaza, Jalur Gaza utara, pada 27 Juli 2025. AFP/Omar AL-QATTAA

tirto.id - Gara-gara Israel membatasi secara ketat masuknya bantuan kemanusiaan, Gaza jatuh ke jurang krisis kelaparan nan ekstrem. Ratusan warga Palestina di Gaza kehilangan nyawanya dengan cara yang sangat memilukan. Dalam 24 jam terakhir pada Senin (28/7/2025) saja, sedikitnya 14 orang—termasuk dua anak-anak—dilaporkan meninggal dunia karena kelaparan.

Al-Jazeera, berdasarkan keterangan Kementerian Kesehatan Gaza, mewartakan bahwa sejak Israel memulai serangannya ke Gaza pada Oktober 2023 sampai Senin (28/7/2025) minggu ini, total korban jiwa akibat kekurangan gizi telah mencapai 147 orang—88 orang di antaranya adalah anak-anak.

Ironisnya, krisis kelaparan ini nyatanya tak membuat Israel mengendurkan serangan militernya ke berbagai wilayah Gaza. Makin kompleks lagi, lebih dari 80 persen wilayah Gaza kini masuk dalam zona evakuasi atau zona militer. Karenanya, warga tak bersalah pun jadi sulit berpindah dan mengakses kebutuhan dasar, seperti makanan.

“Akses masyarakat terhadap makanan di seluruh Gaza kini sangat tidak menentu dan sangat berbahaya. Sejak 27 Mei [2025], lebih dari 1.000 orang tewas saat mencoba mengakses makanan di Gaza,” tulis Food Security Phase Classification (IPC) dalam laporan terbarunya (Juli 2025).

Meski blokade sempat dilonggarkan pada 19 Mei, hanya sedikit bantuan kemanusiaan, utamanya makanan, yang bisa masuk ke Gaza. Toko-toko roti disebut masih tutup dan jumlah dapur umum yang beroperasi jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga.

“Dalam kurun Mei-Juli 2025, jumlah keluarga yang mengalami kelaparan ekstrem meningkat dua kali lipat. Di banyak wilayah Gaza, situasinya sudah melewati batas kondisi yang biasa disebut kelaparan massal,” begitu deskripsi IPC.

Kelaparan sebagai Instrumen Perang Israel?

Pada pengujung Mei 2025, Israel memberlakukan skema "bantuan" militer yang dijalankan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF). GHF yang didukung Amerika Serikat (AS) dan Israel ini bermaksud untuk menggantikan peran lembaga bantuan seperti Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) atau World Food Programme. Ialah yang diperbolehkan mengelola distribusi bantuan melalui empat titik distribusi yang dikendalikan secara militer di bagian selatan Gaza.

Meski begitu, GHF kemudian menuai kecaman internasional, mulai dari PBB hingga pakar kemanusiaan. Sebagian besar komunitas internasional menganggap GHF melanggar prinsip dasar bantuan kemanusiaan, seperti netralitas, kemanusiaan, independensi, dan keadilan.

Wakil Sekjen PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Tom Fletcher, seperti dikutip Aljazeera, menyebut GHF membatasi bantuan hanya untuk satu bagian Gaza dan membiarkan kebutuhan mendesak lainnya tidak terpenuhi.

Menurut Fletcher, kontrol Israel ini menjadikan distribusi bantuan jadi amat bergantung pada politik dan militer, kelaparan menjadi alat tawar-menawar, dan sebuah kedok untuk kekerasan pada pengungsi. Kritik itu akhirnya terbukti dengan banyaknya warga sipil Palestina yang justru tewas di sekitar lokasi distribusi GHF.

Amnesty International bahkan melaporkan bahwa sejak lebih dari sebulan setelah sistem distribusi bantuan secara militer dijalankan, Israel justru membuat rakyat Palestina kelaparan secara sengaja. Kelaparan ini digunakan sebagai “alat” atau “senjata dalam perang”.

Lebih jauh, Israel juga disebut sengaja menciptakan kondisi hidup yang membuat warga Palestina hancur secara fisik. Menurut Amnesty, semua ini merupakan bagian dari tindakan genosida yang sedang berlangsung—yaitu upaya sistematis untuk memusnahkan suatu kelompok secara keseluruhan atau sebagian.

Hukum Internasional Punya Celah

Suatu negara bisa disebut melanggar hukum internasional jika “terbukti” menjadikan kelaparan sebagai alat perang. Akan tetapi, pembuktian ini menjadi tantangan. Itulah yang membuat Israel sulit diusik.

Dosen Jurusan Hubungan Internasional (HI) Binus University, Cynthia S.R. Sipahutar, menjelaskan bahwa Konvensi Jenewa atau International Humanitarian Law dalam Pasal 54 Ayat 1 melarang menjadikan kelaparan warga sipil sebagai metode peperangan. Namun, pasal yang terdengar mutlak ini tidak bisa diartikan dengan mudah.

“Secara tekstual, sudah jelas bahwa Pasal 54 [Ayat 1] dalam Geneva Convention, dalam International Humanitarian Law, ‘starvation of civilians as a method of warfare is prohibited’. Itu sudah mutlak begitu kan. Tapi, masalahnya ada di ayat-ayat berikutnya,” terang Cynthia lewat sambungan telepon, Selasa (29/7/2025).

Ayat 2 berbunyi, “Dilarang untuk menyerang, menghancurkan, memindahkan, atau membuat tidak bisa digunakan objek-objek yang sangat penting untuk kelangsungan hidup penduduk sipil, seperti bahan makanan, lahan pertanian, hasil panen, ternak, fasilitas air minum, persediaan air, dan sistem irigasi.”

Ayat ini adalah larangan menjadikan objek-objek yang vital bagi warga sipil atau pihak lawan sebagai sasaran serangan, apa pun alasannya—baik itu untuk membuat penduduk sipil kelaparan, memaksa mereka pindah, atau alasan lainnya.

Yang menjadi masalah kemudian adalah Ayat 5 yang menjelaskan bahwa dalam situasi perang, suatu pihak yang sedang membela wilayah negaranya dari serangan bisa saja melakukan pengecualian terhadap larangan yang disebut dalam Ayat 2, asalkan dilakukan di wilayah yang berada di bawah kendalinya sendiri dan karena memang ada kebutuhan “militer yang sangat mendesak” (military necessity).

“Jadi, masalahnya adalah ada kata military necessity itu. Ini bukan berarti diperbolehkan ya sebenarnya. Ini kan bersinggungan dengan Pasal 51 [UN Charter] terkait use of force untuk pertahanan diri. Jadi, diperbolehkan kalau misalnya itu memang untuk kepentingan militer yang proporsional dan mendesak. Nah, masalah necessity ini selalu jadi polemik. Upaya pertahanan diri yang dilakukan oleh Israel sendiri sudah tidak proporsional, padahal itu salah satu syarat dalam use of force di Pasal 51 UN Charter,” terang Cynthia.

Jadi, aspek yang harus difokuskan sebenarnya adalah perlindungan warga sipil. Hal ini harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai alias Israel dan Hamas. Cynthia bilang bahwa mereka mesti sama-sama memberikan perlindungan kepada warga sipil supaya tidak kelaparan. Singkatnya, kedua belah pihak harus paham akan obligasi masing-masing dalam hukum perang.

“Masalahnya adalah ini kan perang era setelah hukum internasional itu dibuat ya, untuk memproteksi. Itu jadinya kesannya hukum gagal gitu ya. Padahal, hukum itu sudah ada tergantung pada praktik negara masing-masing,” kata Cynthia.

Menurutnya, International Humanitarian Law sekali pun memang tak terlepas celah. Dalam konteks Pasal 54, celah itu terletak pada intensi“untuk tujuan warga sipil”.

Kelaparan akan bisa dianggap melanggar hukum bila ia terbukti ditujukan untuk warga sipil. Masalahnya, Israel menggunakan metode pengepungan dalam perang ini. Maka komunitas internasional harus bisa membuktikan apakah kelaparan di Gaza merupakan akibat dari pengepungan atau memang merupakan metode perang terhadap warga sipil.

Sementara itu, International Humanitarian Law tidak menjelaskan secara eksplisit boleh atau tidaknya metode perang dengan pengepungan.

“Karena hukum humaniter kalau dibawa ke International Criminal Court atau pengadilan, harus tahu mens rea-nya. Kalau memang mens rea-nya adalah untuk mematikan warga sipil, jelas-jelas itu sudah pelanggaran begitu kan. Masalahnya, untuk mencari burden of proof-nya, ini yang sulit banget,” terang Cynthia.

Indonesia Bisa Apa?

Menurut Cynthia, Indonesia sebenarnya bisa mengupayakan sesuatu untuk membantu warga Palestina. Salah satunya adalah dengan mendorong pengenaan hukum pidana terhadap tindakan-tindakan brutal Israel di Gaza. Indonesia pun bisa mengampanyekan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Tujuan Indonesia sendiri kan mengakui state of Palestine, itu yang utama. Dan itu yang selalu menjadi semangat perjuangannya untuk Palestina. Tapi, kita juga perlu cara lain, mengingat ini kita berhadapan dengan masalah national interest-nya negara-negara besar dan masalah teritori,” katanya.

Terlepas dari hal itu, masalah yang paling penting sekarang adalah mengentaskan warga Palestina di Gaza dari bencana kelaparan. Indonesia mesti mendorong pendekatan multidimensional untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza.

“Pendekatan multidimensional itu penting sekali karena kita bisa mengadvokasi kepentingan-kepentingan warga Palestina di berbagai sektor, di berbagai instansi. Jadi, tidak hanya masalah genosidanya, tidak hanya masalah peperangannya sendiri. Tapi, kita bisa lewat hal-hal kecil, seperti lewat food association yang ada di PBB,” terang Cynthia.

Cynthia juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk menggerakkan sumber dayanya berfokus pada kepentingan warga sipil yang ada di Gaza.

“Walaupun kita negara kecil, setidaknya kita bisa memberikan dampak yang cukup besar pada sektor-sektor yang berfokus pada kemanusiaan itu sendiri,” kata Cynthia.

Baca juga artikel terkait KELAPARAN DI GAZA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi