Menuju konten utama

Napak Tilas dan Masa Depan Penyelenggaraan Haji

Pelayananan haji melalui lembaga khusus, BP Haji, menjadi langkah strategis penyelenggaraan ibadah haji secara lebih profesional.

Napak Tilas dan Masa Depan Penyelenggaraan Haji
Header Perspektif Masa Depan Penyelenggaraan Haji Indonesia. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya meliputi ibadah khusus kepada Allah dan muamalah dengan sesama manusia. Iman, Islam, dan Ihsan merupakan tiga pilar utama kesempurnaan Islam sebagai agama samawi ini.

Dalam konteks yang kita bicarakan kali ini, kita akan fokus pada rukun Islam terakhir, yakni ibadah haji. Haji memiliki peran signifikan dalam upaya menggapai cita-cita luhur setiap manusia beriman untuk menggapai insan kamil atau manusia sempurna di hadapan Sang Khaliq.

Haji adalah panggilan suci dari Tuhan kepada orang-orang beriman yang memiliki kemampuan baik jiwa, raga, maupun finansial. Spirit luhur ini tercermin dalam berbagai dalil-dalil agama di antaranya QS. Al-Imran:97.

"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa ibadah haji adalah panggilan suci yang diwajibkan bagi orang-orang beriman yang memiliki bekal kemampuan baik fisik, mental, finansial, dan didukung keamanan dalam perjalanan.

Ayat selanjutnya adalah QS. Al-Hajj:27.

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurusyang datang dari segenap penjuru yang jauh."

Ayat ini menggambarkan kesucian dan kesakralan ibadah haji sehingga menjadi magnet spiritual yang menggugah hati orang-orang beriman dari berbagai penjuru dunia untuk menunaikan ibadah haji. Dan ketiga adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW ia bersabda, umrah ke umrah merupakan kafarah dosa di antara keduanya, sedangkan haji mabrur tiada balasan baginya kecuali syurga (HR. Malik, Bukhari, Muslim, An-Nasa`i, Ibnu Majah).

Tawaf Wada di Masjidil Haram

Umat Islam melakukan tawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Minggu (22/6/2025). ANTARA FOTO/Andika Wahyu/YU


Spirit mengunjungi Baitullah, baik untuk haji maupun umrah ke tanah suci seolah menjadi bentuk penyucian jiwa orang-orang beriman. Motivasi religius yang diwahyukan oleh Allah baik dalam Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW ini menjadi spirit tersendiri bagi umat Islam. Motivasi ini dapat mendorong pembentukan karakter kepribadian yang paripurna, yang seharusnya tercermin dalam kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Indonesia dengan populasi muslim sebesar 87,2 persen atau sekitar 229,62 juta adalah modal signifikan untuk mewujudkan cita ideal, muslim yang saleh secara individual maupun sosial. Apalagi jumlah jemaah haji kita terbesar di dunia, pada 2024 sebesar 241.000 jemaah haji.

Setiap tahun, angka jumlah jemaah haji dari Indonesia terbilang fantastis. Jumlah ini tentu saja diharapkan dapat membawa dampak terhadap perubahan akhlak manusia Indonesia secara umum.

Tapi, cita-cita membangun manusia yang paripurna itu memerlukan kesadaran kolektif dari setiap individu maupun kehadiran negara. Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) ke depan akan menjadi lembaga plat merah yang memiliki otoritas penuh dalam manajerial penyelenggaran ibadah haji dan menjaga nilai-nilai kemabruran ibadah haji.

Nilai kemabruran itu seharusnya bukan saja dalam dimensi spiritual, tapi juga menyentuh ranah sosial kemasyarakatan. Menurut hadis Nabi Muhammad SAW, ketika beliau ditanya oleh sahabat apa itu haji mabrur, maka beliau menegaskan bahwa haji mabrur adalah “memberikan makan kepada orang lain dan melontarkan ucapan yang baik” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi).

Haji mabrur yang menurut KBBI bermakna diterima oleh Allah SWT atau baik, hal ini mestinya dibuktikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.Sejumlah referensi menyebut kemabruran seseorang yang menunaikan ibadah haji di antaranya semakin taat beribadah, semakin baik akhlaknya, suka menyambung silaturahmi, bertambah amanah, dan meningkat amalan kebaikan dalam kesehariannya.

Pengelolaan Ibadah Haji dalam Lintasan Sejarah

Kapasitas Masjidil Haram meningkat

Jamaah haji dari berbagai negara melakukan Tawaf di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Minggu (15/6/2025). ANTARA FOTO/Andika Wahyu/foc.

Sejarah kaum muslim Nusantara menunaikan ibadah haji ke tanah suci telah berlangsung berabad-abad yang lalu. Jalur Maritim Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah telah dikenal sejak sekian lama oleh Bangsa Indonesia.

Bahkan ketika Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, jarak tempuh dari Indonesia ke Jeddah semakin dekat. Secara teknologi pelayaran haji saat itu masih menggunakan kapal layar dan selanjutnya menggunakan kapal uap (M. Fuad Nazar: 2023).

Menurut Deliar Noor dalam bukunya Administrasi Islam di Indonesia sebagaimana dikutip oleh M. Fuad, Indonesia adalah negeri terbesar pengirim jemaah haji. Misalnya pada tahun 1926/1927 sebesar 52.000 jemaah.

Sumber lain menyebutkan bahwa di masa-masa awal perjalanan ibadah haji oleh orang-orang Islam di Kepulauan Nusantara bukan tujuan haji an Rich, melainkan dibarengi dengan tujuan-tujuan lain semisal delegasi sultan, berdagang , melancong, dan juga sedang menuntut ilmu di Negeri Arab. Para ulama penuntut ilmu saat itu yang sekaligus melakukan ibadah haji di antaranya Syeikh Yusuf Al-Makassari, Syeikh Abdurrauf Singkeli. Syeikh Nawawi Al-Bantani, KH.Ahmad Dahlan, dan KH Hasyim Asy`ari (Muhammad Irfai Muslim:2020).

Di era kekuasaan Hindia Belanda dikendalikan oleh VOC, rakyat dalam keadaan menderita karena sistem ekonomi secara penuh dimonopoli oleh penjajah. Penindasan demi penindasan dilakukan oleh VOC sehingga menimbulkan pergolakan dan perlawanan kaum pribumi.

Kondisi yang demikian menguatkan semangat nasionalisme anti penjajahan termasuk para jemaah haji sepulang dari tanah suci. Atas dasar realitas inilah di kemudian VOC mengeluarkan kebijakan yang kontroversial, yakni melakukan pembatasan jumlah jemaah dengan berbagai dalih dan alasan.

Pada era kolonial Belanda ini juga pengelolaan perjalanan ibadah haji tidak optimal dengan tujuan agar orang-orang pribumi enggan menunaikan ibadah haji. Di samping itu juga, pengelolaan ibadah haji sepenuhnya dikuasai oleh agen-agen yang berafiliasi dengan penjajah sehingga nilai finansial sepenuhnya masuk ke kantong penjajah (Muhammad Irfai Muslim: 2020).

FOTO HL HAJI - Kliping Koran Belanda 1923

Kliping koran berbahasa Belanda tentang Ibadah Haji, 1923. FOTO/Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 10-03-1923

Sekalipun demikian di era kolonial ini muncul organisasi Islam Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan yang berani melawan kondisi yang kurang berpihak kepada pengelolaan ibadah haji. Tepatnya pada 1921, Muhammadiyah resmi mendirikan lembaga yang diberi nama Bagian Penolong Haji. Pada tahap selanjutnya lembaga ini membentuk Komite Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia beranggotakan para ulama dan cendekia. Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau 1930 merekomendasikan agar Muhammadiyah menyelenggarakan pelayaran mandiri perjalanan haji (Kemenag.go.id, 17 Juni 2023).

Era penjajahan Jepang juga memiliki warna yang kurang lebih sama dengan era sebelumnya, kekuasaan Hindia Belanda. Kyoto Hamzah dalam karyanya Haji: Ibadah Yang Mengubah Nusantara, sebagaimana dikutip oleh Randi Wirayudha, menegaskan bahwa Jepang membenci para haji karena mereka tidak bisa merekrut tentara dan dana yang dibutuhkan.

Para haji yang tergabung dalam Masyumi mendapat tekanan yang luar biasa dari Jepang. Masyarakat yang menabung untuk perjalanan haji ikut terdampak karena mereka yang hendak berangkat dirampas oleh Jepang. Selain itu, faktor keamanan juga menjadi alasan kenapa perjalanan ibadah haji ditiadakan.

Selepas penjajahan Jepang, Belanda ingin menguasai kembali Republik Indonesia menjadi negeri jajahan. Demi mengambil simpati orang-orang Islam, Belanda mencoba membantu proses pengelolaan perjalanan ibadah haji dengan agen-agen dan kapal-kapal Belanda. Namun para haji pada era ini mendapat resistensi dari para ulama yang mendukung perjuangan kemerdekaan dengan julukan: haji Belanda.

Perlu diketahui pada era ini KH. Hasyim Asy`ari mengeluarkan fatwa yang terkenal dengan Resolusi Jihad, di antaranya melarang jemaah haji Indonesia ikut naik haji kalau difasilitasi oleh Belanda (HistoriA, 31 Oktober 2024).

Sumber lain menyebutkan bahwa tidak ada data resmi jemaah haji asal Indonesia di tahun 1941-1949. Tidak diketahui dengan pasti ada tidaknya orang Islam yang menunaikan ibadah haji saat itu, di samping adanya fatwa KH. Hasyim Asy`ari tersebut di atas juga karena meletusnya Perang Dunia II sehingga dari sisi faktor keamanan kecil kemungkinan dapat melakukan ibadah haji (NU Online 14 Juni 2022).

ibadah haji

Umat islam melaksanakan ibadah haji. [Foto/Shutterstock]

Babak baru pada Era kepemimpinan Orde Lama di bawah komando Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno. Pada era ini sektor swasta lebih dominan dalam mengelola perjalanan ibadah haji. Salah satunya adalah Yayasan Perjalanan Haji Indonesia bekerja sama dengan Bank Haji Indonesia dan perusahaan pelayaran Muslimin Indonesia (MUSI).

Pada tahun 1950 pemerintah memberikan kuasa untuk mengelola perjalanan ibadah haji. Dalam perjalanan pengelolaan perjalanan haji, MUSI dibekukan oleh pemerintah dengan alasan masih bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari perusahaan asing.

Presiden Soekarno meniti agar pemerintah ikut hadir langsung dalam pengelolaan dengan membentuk Kementerian Urusan Haji pada Kabinet Dwikora I (1964-1965) yang dijabat oleh Mayjen (Purn.) Farid Ma`ruf. Sekalipun demikian pemerintah tetap saja memberikan laluan pihak swasta seperti PT Arafat yang terafiliasi dengan para tokoh Masyumi.

Pada akhirnya pada tahun 1970-an, awal Orde Baru, dengan alasan profesionalitas PT Arafat dibekukan (HistoriA 31 Oktober 2024).. Perkembangan pengelolaan ibadah haji pada fase ini memasuki babak baru dalam arti pengelolaan ibadah haji menjadi hak sepenuhnya kebijakan pemerintah.

Secara garis dapat dibagi dua fase, pertama 1966-1978, urusan haji di bawah Direktorat Jenderal Haji Mekah. Kedua, 1979-1997 pengelolaan haji secara administratif dipimpin jemaah Islam dan Direktorat Jenderal Masalah Haji di bawah Departemen Agama (JHCH Vol. 4 issue 1, Januari 2022).

Pemerintah selalu berupaya menyelenggarakan perjalanan ibadah haji dengan sebaik-baiknya demi kenyamanan dan kepercayaan jemaah haji. Bertepatan dengan gaung Era Reformasi 1998 saat itu, Pemerintah pun melalukan terobosan perbaikan demi perbaikan.

Komitmen perbaikan ditandai dengan lahirnya Undang-Undang nomor 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji. produk hukum berbentuk undang-undang ini memberikan mandat penuh kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama memiliki tugas pelayanan, pembinaan, dan perlindungan bagi jemaah haji. pasca diundangkannya UU Haji ini kuota terbagi menjadi dua: reguler dan khusus.

Selanjutnya lahir kembali Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. pendaftaran dilakukan sepanjang tahun melalui SISKOHAT dengan prinsip first come fitst serverd Perkembangan berikutnya lahir Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang salah satunya poin pentingnya adalah membentuk Badan pengelola Keuangan Haji (https://khazanah.republika.co.id diakses 15 Juli 2025).

Perkembangan pengelolaan ibadah haji berikutnya adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 yang pada prinsipnya lebih menekankan transparansi keuangan dan profesionalitas pengelolaan perjalanan ibadah haji.

BP Haji sebagai Harapan

Pembukaan rakernas evaluasi penyelenggaraan ibadah haji

Menteri Agama Nasaruddin Umar (tengah), Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Mochamad Irfan Yusuf (kedua kanan), Wakil Menteri Agama Romo Muhammad Syafi'i (kedua kiri), Anggota V BPK Bobby Adhityo Rizaldi (kanan), dan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief (kiri) secara simbolis membuka Rapat Kerja Nasional Evaluasi Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1446 Hijriah/2025 Masehi di Gading Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (28/7/2025). Rakernas tersebut bertema Warisan, Perubahan dan Keberlanjutan yang menandai 75 tahun perjalanan Kemenag melayani jamaah haji Indonesia karena mulai tahun 2026 pelaksanaan ibadah haji Indonesia akan beralih ke Badan Penyelenggara Haji. ANTARA FOTO/Andika Wahyu/tom.

Presiden Prabowo Subianto mengambil kebijakan strategis dalam berbagai bidang terrmasuk kebijakan pengelolaan perjalanan ibadah haji. Melalui Peraturan Presiden tentang Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) dalam Peraturan Presiden Nomor 154 tahun 2024 menetapkan Badan Penyelenggara Haji sebagai lembaga pemerintah yang bertugas memberikan dukungan penyelenggaraan haji. BP Haji mulai bertugas pada musim haji 2024 bersama-sama dengan Kementerian Agama untuk mewujudkan pelayanan haji yang profesional.

Kini bergulir wacana dari berbagai pihak yang erat kaitannya dengan pengelolaan ibadah haji agar BP Haji bertransformasi menjadi Kementerian Haji dan Umrah. Langkah ini sangat strategis demi mewujudkan penyelenggaan ibadah haji yang profesional.

BP haji atau pun nanti jika sudah transformasi menjadi Kementerian Haji dan Umrah mesti melakukan terobosan dalam pengelolaan ibadah haji seiring dengan berbagai kebijakan yang diambil oleh otoritas Kerajaan Saudi Arabia (KSA) dalam ibadah Haji.

Pengalaman penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 yang baru saja selesai ini menjadi perhatian serius oleh BP Haji. Kebijakan KSA terkait Syarikah dan kebijakan lainnya wajib hukumnya disikapi dengan psikomotorik manajerial yang cepat.

KSA juga sudah melakukan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan ibadah haji hingga tahun 2030 mendatang.

Secara umum kebijakan digitalisasi pengelolaan ibadah haji juga harus dibarengi dengan sumber daya manusia yang memiliki psikomotorik handal dalam teknologi informasi dan juga peralatan teknologi pendukung yang memadai. Secara prinsip kita tunggu revisi Undang-Undang penyelenggaraan ibadah haji yang kabarnya sedang dipersiapkan untuk segera dibahas di Senayan.

Pada intinya BP Haji harus siap mewujudkan haji mabrur baik mabrur spiritual, mabrur administrasi, mabrur transparansi mabrur pelayanan dan mabrur dalam perilaku.

Baca juga artikel terkait HAJI atau tulisan lainnya dari Dr. H. Suyono, M.Ag

tirto.id - Perspektif
Penulis: Dr. H. Suyono, M.Ag
Editor: Rina Nurjanah