tirto.id - Ritus perjalanan dan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia terus berevolusi dari waktu ke waktu. Jika kita menilik sejarah, terlihat ia berkembang ke arah yang senantiasa lebih baik.
Sejarah penyelenggaraan haji di Nusantara kemungkinan telah dimulai sejak komunitas-komunitas muslim pertama muncul di Kepulauan Nusantara. Bilamana pertama kali ada muslim Nusantara yang berhaji ke Tanah Suci Makah masih sulit dipastikan. Seturut penelusuran Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII (2013), laporan tertulis pertama tentang muslim Nusantara yang berhaji baru muncul pada abad ke-16.
“Mereka semakin banyak mengunjungi Haramayn sejak abad ke-16 ketika hubungan politik dan perdagangan di antara Nusantara dan Timur Tengah memperoleh momentum,” tulis Azra.
Berhaji di Era Prakolonial sampai Kolonial
Pada masa itu, perjalanan berhaji masihlah urusan masing-masing individu muslim yang mampu. Berhaji pun belum lazimnya dilakukan sembari melakukan perdagangan, menimba ilmu, atau menjalankan misi diplomatik.
Berhaji mulai menjadi tujuan lebih penting ketika islamisasi Nusantara menjadi lebih mapan pada abad ke-17. Di masa itu, gelar haji merupakan salah satu bentuk legitimasi politik bagi penguasa. Naskah Babad Banten, misalnya, mencatat bahwa pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Tanah Suci Mekah. Sultan Abdul Kahar di kemudian hari dikenal sebagai Sultan Haji.
Menilik data-data yang ada, kita bisa menyimpulkan bahwa pada masa Prakolonial, ibadah haji hanya terjangkau oleh kaum elite, yaitu kalangan penguasa, bangsawan, maupun saudagar kaya. Rakyat muslim biasa hampir pasti amat susah menjangkaunya karena memerlukan ongkos yang sangat besar.
Pada abad ke-18—ketika VOC berjaya, ia turut serta mengatur perjalanan haji yang semula jadi domain penguasa lokal. Kebijakan VOC terhadap jamaah haji selalu berubah-ubah sesuai dengan kepentingan politiknya.
Pada masa Kolonial Hindia Belanda, tekad umat Islam Nusantara untuk menunaikan ibadah haji tetap tinggi. Pada akhir abad ke-19, Pemerintah Kolonial mulai terlibat dalam penyelenggaraan haji. Keterlibatan ini terutama didasari oleh motif bisnis semata.
Pemerintah Hindia Belanda berwenang menentukan agen-agen haji yang boleh beroperasi. Namun, banyak agen yang mengabaikan aspek pelayanannya lantaran minimnya pengawasan. Misalnya, ada agen yang membiarkan kapal haji diisi terlalu penuh dan tidak memperhatikan kondisi makanan serta kesehatan kliennya.
Meski begitu, minat muslim Nusantara menunaikan ibadah haji justru semakin meningkat memasuki abad ke-20. Seturut penelusuran redaksi majalah sejarah Historia (No. 6, Tahun I, 2012), jumlah jamaah haji Hindia Belanda mencapai 10-20 persen dari seluruh jamaah haji asing pada akhir abad ke-19.
“Angka melonjak, sebagaimana data Indisch Verslag, hingga 50 persen pada musim haji 1913/1914,” tulis awak redaksi Historia.
Berhaji Pada Masa Kemerdekaan
Pada kurun 1937-1948, Indonesia tidak memberangkatkan jamaah haji karena situasi Perang Dunia II. Situasi perang jelas membuat jalur transportasi haji sangat membahayakan. Pada awal masa Kemerdekaan, Pemerintah Indonesia yang baru terbentuk pun belum mampu membuka kembali penyelenggaraan haji.
Selain perang yang masih berkecamuk antara RI dan Belanda, Pemerintah belum mampu menyediakan alat transportasi khusus bagi jamaah haji RI.
Pada 1948, Menteri Agama K.H. Masykur akhirnya bisa mengirim jamaah haji dalam Misi Haji I yang dipimpin oleh K.H. M. Adenan. Sebagai utusan resmi Pemerintah Indonesia, Adenan juga mendapat tugas khusus untuk menjelaskan alasan penghentian pengiriman jamaah haji ke Makah sebelumnya karena situasi perang.
Sejak saat itu, penyelenggaraan haji Indonesia mulai berkembang menuju ke arah yang lebih profesional. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama terlibat aktif dalam hal ini.
Pada 21 Januari 1950, Kementerian Agama yang saat itu dipimpin K.H. Wahid Hasyim membentuk Panitia Haji Indonesia (PHI). PIH adalah satu-satunya lembaga resmi penyelenggara haji di Indonesia. Kantor-kantornya perwakilannya kemudian segera dibentuk di setiap keresidenan.
Pembentukan PHI ini menandai usaha perbaikan pengelolaan haji oleh Kementerian Agama. Menag K.H. Wahid Hasyim mulai memberlakukan sistem kuota. Sistem ini diberlakukan untuk memberi kesempatan yang sama kepada peminat dan mengatasi keterbatasan devisa negara.
Kebijakan ini juga mengikuti permintaan Arab Saudi yang mengalami kesulitan memenuhi fasilitas pemondokan.
Pada 1 Desember 1964, Pemerintah membentuk PT Arafat untuk mengatasi kesulitan pengangkutan jamaah haji. PT Arafat didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 122/1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji antara lain mendorong pendirian perusahaan pelayaran yang khusus melayani perjalanan haji.
Modal pendirian PT Arafat diperoleh dari jamaah haji berupa tambahan Rp50 ribu dari ongkos naik haji yang diwajibkan kepada setiap jamaah sebagai saham.
Pada 2008, Pemerintah mulai membuka pendaftaran ibadah haji sepanjang tahun.
“Bentuk perusahaan ini memang unik, tidak ada duanya di dunia karena statusnya swasta, tapi campur tangan pemerintah cukup besar,” ujar Kolonel H. Achmad Parwis Nasution yang pernah menjabat direktur utama PT Arafat seperti dicatat Tempo (26 Agustus 1978).
Perjalanan haji pun semakin dipermudah dengan mulai dibukanya pengangkutan dengan pesawat udara sejak 1969. Seiring dengan upaya peningkatan efisiensi perjalanan haji, Pemerintah Indonesia lantas menghentikan penggunaan kapal laut untuk memberangkatkan jamaah haji sejak 1979.
“Pada 1979 terjadi juga perubahan struktur organisasi dan tata kerja di Departemen Agama. Penyelenggaraan haji dilakukan panitia di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji (Dirjen BIUH),” tulis redaksi Historia.
Pada 1986, Kerajaan Arab Saudi mulai menerapkan sistem kuota baru yang telah disepakati dalam Konferensi OKI pada tahun yang sama di Amman, Yordania. Sistem baru ini menerapkan perbandingan 1 jamaah haji untuk setiap 1000 umat Islam di suatu negara. Dalam hal ini, Indonesia menjadi negara yang mendapatkan kuota terbesar.
Untuk membaca lebih lanjut mengenai sejarah perhajian di Indonesia, bisa juga baca Sejarah Ibadah Haji di Indonesia dari Masa Ke Masa (2023).
Era Baru Penyelenggaraan Haji
Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia semakin modern, profesional, dan aksesibel pada era Reformasi. Pada 1999, pendaftaran haji reguler mulai bisa dilakukan secara digital dengan setoran awal sebesar Rp5 juta. Hingga awal tahun 2000-an, jamaah yang akan berangkat haji tidak perlu mengantre.
Setoran awal bagi jamaah haji reguler pun meningkat lagi jadi Rp25 juta pada 2010.
Seiring dengan tingginya minat umat Islam menunaikan ibadah haji, dana haji yang harus dikelola pun turut membesar. Hal ini tentu membutuhkan organisasi tersendiri yang mampu menangani dana tersebut secara profesional. Dengan begitu, Kemenag pun bakal bisa lebih fokus dalam penyelenggaraan haji yang berkualitas.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Berdasarkan UU tersebut, pada 12 Desember 2017, terbentuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). BPKH punya peran utama untuk menerima, mengembangkan, mengeluarkan, dan mempertanggungjawabkan dana haji yang disetor masyarakat. Dalam konteks penyelenggaraan haji, BPKH adalah mitra dari Kementerian Agama yang bertugas sebagai penyelenggara ibadah haji.
BPKH mendapat mandat untuk melakukan investasi terhadap dana haji yang disetor masyarakat dengan berpegang pada prinsip syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel. Karenanya, BPKH hanya melakukan investasi pada instrumen-instrumen yang aman dan sesuai dengan syariah. Pelaksanaannya pun dipantau oleh Dewan Pengawas BPKH.
“Pengelolaan dan pengembangan dana haji yang menjadi sangat penting dan strategis agar mengurangi beban jamaah haji yang akan berangkat,” tulis Tim Humas BPKH dalam Sejarah Ibadah Haji Indonesia dari Masa ke Masa (2023).
Pengembangan dana haji ini nantinya bakal menghasilkan nilai manfaat. Nilai manfaat itulah yang kemudian digunakan untuk meringankan atau mensubsidi pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) para jamaah.
Sebagai gambaran, kita bisa tengok contoh penggunaan nilai manfaat tersebut pada musim haji 2023 lalu. Saat itu, BPIH berkisar pada angka Rp90juta atau setara dengan sekitar 90 gram emas. Dengan nilai manfaat dari pengembangan dana haji oleh BPKH, jamaah hanya perlu membayar pelunasan sebesar Rp49juta saja atau 55 persen dari total BPIH yang ditetapkan Pemerintah tersebut.
Pada 17 Oktober 2022, Presiden Joko Widodo melantik 14 pejabat Pimpinan BPKH periode 2022-2027. Kepala Badan Pelaksana BPKH yang baru kini dijabat oleh Fadlul Imansyah. Memulai kepemimpinan di tengah masa pandemi COVID-19, tentu memiliki banyak tantangan. Namun, Fadlul mengatakan bahwa BPKH telah menunjukkan kinerja yang positif.
Di tengah suasana baru usai pandemi mereda pada awal 2023, BPKH berhasil merealisasikan sejumlah target kerjanya. Salah satu yang signifikan adalah pembentukan anak usaha di Arab Saudi, yakni Syarikah BPKH Limited.
Pada 16 Maret 2023, Syarikah BPKH Limited telah resmi beroperasi dengan mengantongi commercial registration dari Ministry of Commerce Saudi Arabia. Syarikah BPKH Limited sendiri bergerak di berbagai bidang usaha dalam ekosistem haji dan umroh. Lain itu, ia juga berperan sebagai instrumen mitigasi risiko investasi BPKH di Arab Saudi untuk menciptakan portofolio yang optimal dengan tingkat risiko terkendali.
Menurut anggota Badan Pelaksana BPKH, M. Arief Mufraini, terbentuknya Syarikah BPKH Limited di Arab Saudi diharapkan mampu memberikan kontribusi pada perolehan nilai manfaat dan bisa melakukan efisiensi berbagai biaya dalam penyelenggaraan ibadah haji.
“Adanya Syarikah BPKH Limited menjadi langkah tepat untuk mendapat manfaat sekaligus memastikan pemenuhan fasilitas haji,” tulis Tim Humas BPKH.
Dalam aspek pengelolaan keuangan haji, BPKH tahun ini juga berhasil membukukan nilai aset keuangan haji mencapai Rp 175,9 triliun. Nilai tersebut meningkat 15,3 persen dari 2022.
Dengan modal kinerja positif tersebut, BPKH pun siap mendukung kesepakatan antara Kementerian Agama dan DPR dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 1445 H/2024 M.
Rapat kerja tersebut memutuskan bahwa BPIH tahun 1445 H/2024 M sebesar Rp93.410.286 per jamaah. Proporsi pembiayaan yang telah disepakati adalah sebesar 60 persen ditanggung oleh jamaah haji dan 40 persen ditanggung dari nilai manfaat BPKH. Dengan demikian, setiap jamaah nantinya hanya akan membayar pelunasan BPIH rata-rata sebesar Rp56 juta. Sisanya, rata-rata Rp37,3 juta bakal dibayar dengan nilai manfaat dari pengelolaan BPKH.
Komponen BPIH yang dibayarkan oleh jamaah sendiri nantinya bakal digunakan untuk biaya penerbangan, akomodasi di Makkah, sebagian akomodasi di Madinah, biaya hidup, dan biaya visa.
BPKH sendiri telah menyiapkan nilai manfaat sebesar Rp8,2 triliun untuk mendukung pelaksanaan haji pada 2024 mendatang. Dengan persiapan dana yang matang ini, pelaksanaan ibadah haji 2024 mendatang diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan sukses.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis