Menuju konten utama

Sejarah Pelayanan Haji di Masa Kolonial

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melihat potensi finansial yang besar dan alat kontrol politik pada aktivitas haji yang dilakukan muslim di Nusantara.

Sejarah Pelayanan Haji di Masa Kolonial
Header Mozaik Haji Koloniali. tirto.id/Quita

tirto.id - Sejak lama muslim di Nusantara telah menunaikan ibadah haji. Hubungan Nusantara dan Arab sudah berlangsung cukup lama, terlebih ketika proses penyebaran Islam pada periode Wali Songo dan kerajaan-kerajaan Islam.

Para penguasa dan utusan yang berhaji menganggap ibadah haji sebagai persinggahan sebelum melanjutkan pelayaran untuk berniaga dan menuntut ilmu ke Mesir, India, dan Yaman. Mereka juga kerap menjadi wakil para penguasa lokal dalam berdiplomasi dengan penguasa Makkah dan Madinah sehingga ketika kembali ke Nusantara mereka mendapatkan hadiah dan gelar sultan.

Beberapa sumber menyebutkan sebagian orang Melayu dan Jawa sudah terlihat di sekitar pantai India sejak abad ke-12. Begitu juga Ibnu Bathuthah yang menyaksikan keberadaan mereka di antara para pedagang di sekitar pantai Malabar warsa 1346 M.

Sebelum kedatangan Belanda, perjalanan haji dari Nusantara ke Makkah biasanya dilakukan secara mandiri. Para jemaah haji menggunakan kapal-kapal lokal untuk berlayar melintasi Selat Malaka, Aden, Colombo, dan Laut Merah.

Mereka yang sudah bersandar di sekitar Aceh, Selat Malaka, dan Singapura akan menunggu kapal dagang menuju India. Kapal ini sering mondar-mandir untuk melakukan transaksi perdagangan.

Sebelum tiba di Jeddah, mereka akan melintasi Yaman lewat Laut Merah dan butuh waktu berbulan-bulan mengarungi lautan luas.

Seturut Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008:56), setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, pelayaran dari Asia Tenggara ke wilayah Timur Tengah menjadi lebih pendek dan berdampak pada jumlah jemaah haji setiap tahunnya.

Dikelola dengan Ketat

Penyelenggaraan haji di Indonesia pada masa kolonial merupakan sejarah yang kompleks, ditandai dengan berbagai konflik antara pemerintah kolonial dengan umat Islam.

Pada awal abad ke-17, ketika Belanda mulai menguasai wilayah Nusantara, mereka mulai memperhatikan pengaturan perjalanan haji. Belanda melihat potensi finansial dan kontrol politik pada aktivitas ini.

Mereka kemudian mengambil alih pengorganisasian perjalanan haji, termasuk menerbitkan Resolusi Haji pada bulan Oktober 1825. Mereka juga mengurus izin, transportasi, akomodasi, dan pengawasan para jemaah haji dengan alasan keamanan, pendapatan, serta pengaruh politik.

Mengutip Muhammad Shokeh dalam Etos Diaspora Muslim Indonesia: Haji dan Kesadaran Sejarah (2020:26), resolusi yang dikenal dengan Resolutie van den Gouveumeur Generaal van Nederlandsche Indieini diterbitkan setelah mendapatkan laporan pengajuan kuota haji dari Residen Batavia sebanyak 200 orang yang ingin berangkat ke tanah suci.

Pada periode ini, pemerintah kolonial menjadikan perjalanan haji sebagai sumber pendapatan yang menggiurkan. Mereka menerapkan pajak khusus pada jemaah haji sebesar 110 gulden dan memberikan sanksi apabila jemaah menolak melakukan pembayaran.

Selain itu, pemerintah kolonial juga melakukan upaya untuk mengontrol pelaksanaan perjalanan haji dan mengawasi para peziarah. Mereka khawatir akan dampak Pan Islamisme yang saat itu gencar dikumandangkan Turki Utsmani sebagai pemikiran luas untuk menentang kolonialisme di tanah umat Islam, seperti Gerakan Padri di Minangkabau pada 1803 atau kelahiran Sarekat Islam tahun 1912.

Meski demikian, pengaturan haji oleh Belanda tidak selalu berjalan mulus. Jemaah menganggap fasilitas yang diberikan pemerintah tidak sejalan dengan uang yang harus mereka setorkan.

Memasuki abad ke-19, pemerintah mulai memberikan fasilitas kapal tambahan untuk pemberangkatan jemaah haji yang jumlahnya semakin meningkat. Seturut Yudi Latif dalam Genealogi Inteligensia: Pengetahuan & Kekuasaan Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX (2013:105), dibukanya Terusan Suez dan perkembangan teknologi kapal uap diduga berdampak pada peningkatan arus lalu lintas haji.

Di sisi lain, banyak para tokoh yang berhaji tidak kembali dan memilih bermukim di Makkah, Madinah, dan Hadramaut untuk menimba ilmu.

Pemerintah kolonial mulai merasa khawatir sebab di kesempatan lain, jemaah yang kembali justru lebih banyak dari jemaah yang berangkat menyusul kembalinya mereka yang telah menuntut ilmu dari negeri-negeri tersebut.

Meningkatnya Jumlah Jemaah

Pemerintah yang memonopoli pelayanan haji lalu menunjuk beberapa perusahaan swasta untuk mengatur keberangkatan dan kepulangan jemaah haji, seperti Agen Biro Haji Herklots dan Firma Alsegoff.

Kedua biro tersebut mulanya membantu pemerintah dalam mengelola jemaah haji yang semakin membludak dari tahun ke tahun. Namun seiring waktu, mereka banyak melakukan percaloan dan penipuan di atas kapal, seperti penginapan dan konsumsi dengan tambahan uang tertentu.

Banyak jemaah yang akhirnya menjual barang-barang pribadi atau menjadi korban pemerasan para calo sehingga uang mereka habis begitu tiba di Pelabuhan Singapura dan gagal melanjutkan perjalanan ke Makkah. Fenomena ini lantas menjadikan mereka sebagai “Haji Singapura”.

Warsa 1859, orang yang kembali dari tanah suci wajib melalui ujian khusus sebagaimana peraturan yang dikeluarkan pemerintah lewat “Staatsblad voor Nederland Indie tahun 1859 No.42”. Ujian ini meliputi pengetahuan seputar pengalaman berhaji, juga pengetahuan mengenai tempat-tempat selama di Makkah dan Madinah.

Mereka yang lulus berhak mendapatkan gelar haji dan mendapatkan legalitas dari bupati setempat.

Pada kesempatan lain, Pemerintah Hindia Belanda membuka konsulat di Jeddah tahun 1872 dan mulai melibatkan diri dalam proses pelaksanaan ibadah haji. Fokus lainnya ialah mengawasi gerak-gerik dan interaksi jemaah Nusantara dengan jemaah dari negara lain.

Kontrol pemerintah atas haji tidak selalu disambut baik oleh umat Islam. Beberapa muslim merasa pemerintah terlalu mencampuri urusan agama, sementara yang lain meyakini pemerintah tidak berbuat cukup untuk melindungi kepentingan dan kenyamanan jemaah haji.

Layanan Konsumsi Haji

Warsa 1873, kapal Kongsi Tiga ditunjuk untuk memonopoli pelayaran, yakni Rotterdamsche Llyod, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaartmatschappi Oceaan. Sebagian besar kapal ini diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Priok.

Kembali mengutip Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008:129), jumlah jemaah pada tahun 1890 sudah mencapai 10.040 orang dan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya: 18.017 jemaah pada 1891, 11.508 jemaah pada 1892, dan 13.856 jemaah pada 1893.

Selain melalui kapal Kongsi Tiga, pemerintah kolonial lewat konsulatnya di Singapura mengizinkan kapal asal Inggris untuk mengangkut jemaah haji ke tanah suci. Umumnya mereka dipilih oleh calon jemaah haji asal Sumatra dan Kalimantan Barat karena berangkat dari Pelabuhan Singapura relatif lebih murah dibanding harus berangkat ke Tanjung Priok menggunakan kapal milik Belanda.

Saat itu, jemaah haji yang akan berangkat harus disuntik terlebih dahulu oleh dokter khusus mengingat wabah penyakit pes, demam kuning, dan kolera yang tengah menjangkit. Apalagi kondisi setiap kapal yang selalu penuh oleh para jemaah. Mereka yang tidak mendapatkan ruangan bahkan harus menetap di geladak dan gudang kapal.

Para calon jemaah haji sering tidak mendapatkan makanan dan minuman yang layak. Akibatnya banyak jemaah yang wafat dalam perjalanan sebelum tiba di Makkah. Untuk mengatasi hal ini, kapal yang terjangkit penyakit akan di karantina selama 40 hari di Laut Merah.

Infografik Mozaik Haji Koloniali

Infografik Mozaik Haji Koloniali. tirto.id/Quita

Pemerintah kolonial lalu mengatur soal konsumsi jemaah dalam sebuah kebijakan Ordonansi Haji pada tahun 1898. Melalui kapal Kongsi Tiga, jemaah haji kelas rendah diberikan makanan dalam tiga waktu: pagi, siang, dan malam. Sementara bagi jemaah yang berangkat melalui kapal milik Inggris harus masak sendiri dengan disediakan jatah kayu bakar.

Seturut Fauzan Baihaqi dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Hindia Belanda sejak Liberalisasi hingga Depresi Ekonomi (2020:169-170), menu makanan jemaah kelas rendah meliputi satu butir telur asin dengan bonus minum kopi (0,03 kg bubuk kopi) di pagi hari. Sementara untuk makan siang terdiri dari 0,15 kg ikan kering, 0,003 kg sayuran kering, dan 0,1 liter kecap.

Dan untuk makan malam kembali diberikan satu butir telur asin ditambah hidangan teh (0,04 kg bubuk teh). Selain itu, jemaah juga mendapatkan jatah minum sebanyak 5 liter setiap hari, makanan ringan 3 kali per minggu, dan kebutuhan sayuran secara berkala di setiap pemberhentian.

Masalah klasik yang sering muncul adalah pelayanan air minum yang tidak matang atau pembagian air yang harusnya gratis, malah diperjualbelikan oleh awak kapal. Hal seperti ini dianggap sepele dan angin lalu sehingga tidak dimasukkan dalam laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan ibadah haji.

“Namun yang tidak ditentukan adalah banyaknya nasi setiap hari (±0,7 kg) dengan tambahan lauk lainnya cabai, bawang, cuka, dan garam,” tutur Fauzan.

Oleh sebab itu, penambahan lauk tersebut lantas diatur kembali saat musim haji 1922, termasuk tambahan gula dan beras bagi jemaah haji yang terjangkit penyakit selama masa karantina.

Ketika di Makkah dan Madinah, pemerintah kolonial membangun tempat akomodasi atau kamp-kamp peristirahatan yang sudah ditentukan oleh konsulat mereka di Jeddah, termasuk membangun dapur umum yang mengelola produksi dan distribusi makanan. Dapur umum dikendalikan oleh pihak kolonial atau perusahaan swasta yang bekerja sama dengan pemerintah.

Selain dapur umum, pemerintah kolonial juga mengirimkan petugas yang bertanggung jawab melindungi kepentingan jemaah, mengawasi keamanan mereka, dan memastikan kepatuhan terhadap aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial.

Baca juga artikel terkait HAJI atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi