tirto.id - Sosok ibu acap kali dicitrakan sebagai pilar yang tak pernah rapuh.
Dalam gambaran ini, ibu harus selalu sehat, selalu ada, dan selalu kuat untuk keluarga.
Stigma yang muncul dari dalam diri perempuan sendiri ini juga disematkan oleh masyarakat. Seiring itu, terbentuklah ekspektasi yang sama, bahwa seorang ibu sudah seharusnya mampu mengatasi semua hal dengan tulus, tanpa keluh.
Akibatnya, ketika tubuh ibu mulai letih, sakit, atau tak bisa memenuhi perannya secara penuh, rasa bersalah kerap hadir.
Pikiran bahwa ia tak bisa menemani anak bermain, tak mampu membacakan dongeng sebelum tidur, atau sekadar menyiapkan sarapan, bisa terasa sebagai sebuah kegagalan besar.
Padahal, sejatinya, itu hanyalah penanda bahwa tubuh ibu pun butuh istirahat.
Setiap membicarakan tentang peran ibu sehari-hari, jarang dikenal istilah "jeda". Tak ada “hari libur” untuk tubuh yang harus tetap bergerak, meski jasmani sudah menuntut untuk berhenti.
Budaya tradisional bahkan sering menempatkan kesehatan ibu sebagai yang terakhir dipikirkan, setelah semua kebutuhan anak, suami, dan rumah tangga terpenuhi.
Kondisi ini bukan hanya merugikan sang ibu, tetapi juga akan berdampak pada seluruh keluarga yang mencintainya.
Mengakui kerentanan ibu bukanlah bentuk kelemahan, melainkan langkah awal untuk menempatkan kesehatannya sebagai bagian penting dari kesejahteraan bersama.
Benarkah Ibu Tak Boleh Sakit?
Dalam artikel berjudul "Let’s Be Real: Moms Don’t Have Time to Be Sick" yang dipublikasikan di SavvyMom, Rebecca Eckler mengisahkan bahwa sebagai ibu, dirinya tidak punya waktu untuk sakit.
Ada bagian dia menceritakan bagaimana dirinya sangat ketakutan saat rekan kerjanya terkena radang tenggorokan dan untungnya tidak datang ke kantor.
"Memikirkan sakit tenggorokannya saja sudah membuat saya ingin mandi dengan Purell [merek hand sanitizer]. Sebenarnya, seorang ibu tidak bisa sakit. Dan bukan hanya karena kita tidak punya waktu untuk beristirahat. Mengasuh anak saat sakit itu sungguh mengerikan. Dan yang memperburuknya adalah kita tetap harus memastikan anak-anak hidup dan sehat, sambil juga berusaha 'beristirahat' dan pulih. Sungguh menyebalkan," kisah Rebecca.
Menurutnya, tidak ada yang lebih konyol daripada seorang ibu yang diberi tahu bahwa dia sebenarnya perlu istirahat.
Bahkan, dalam setahun terakhir, ada dua dokter berbeda memberi tahu kepadanya bahwa ia perlu istirahat setidaknya sebulan, ini karena si ibu sering mengalami serangan panik dan stres.
Tentu bukan sembarang tempat rehabilitasi, melainkan yang menawarkan kemewahan seperti layanan untuk kalangan selebritas lengkap dengan koki pribadi dan instruktur yoga.
Pilihan itu terdengar konyol, memang. Meski begitu, menurut Rebecca, di tengah rutinitas mengasuh anak, penjara atau rehabilitasi terasa lebih realistis dibandingkan liburan panjang untuk menenangkan diri.
Kenyataannya, istirahat bagi Rebecca hanyalah potongan-potongan kecil: tidur siang sebentar di antara jadwal antar-jemput, atau beberapa menit menyendiri di kamar mandi, ruang paling sunyi yang bisa ia klaim untuk dirinya. Bahkan ada kalanya, tubuh yang lelah membuatnya tertidur sambil berdiri di sana.
Saran dokter agar ibu harus beristirahat untuk menghindari stres itu memang terdengar indah, tapi pada waktu sama juga terdengar naif. Sebab, siapa yang akan mengantar anak-anak ke sekolah, menyiapkan sarapan, atau menemani mereka bermain?
Tanpa bantuan nyata untuk tugas-tugas itu, istirahat panjang bagi seorang ibu hanya akan tetap menjadi wacana, sebuah kemewahan yang terasa jauh dari jangkauan.
Ketika seorang ibu jatuh sakit, seperti dilansir laman Quick and Dirty Tips, pekerjaan rumah tangga tentu bisa ikut berantakan.
Namun, penting untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya. Tugas-tugas bisa dibagi kepada anggota keluarga lain.
Meski begitu, untuk sementara waktu, "standar" kerja perawatan yang diharapkan memang perlu diturunkan.
Tanpa ibu sebagai nakhoda, tidak semua urusan pengasuhan anak dan kerja-kerja domestik berjalan persis seperti yang diharapkan. Sering kali hasilnya hanya setengah jalan.
Di saat seperti itu, sikap ramah dan rasa terima kasih jauh lebih berarti, karena pasti anggota keluarga lain sedang berusaha membantu sambil memikirkan kondisi ibu.
Biarkan rumah tidak sempurna, asal tubuh bisa beristirahat.
Ingatkan keluarga untuk menjaga kebersihan, rajin mencuci tangan, dan tetap saling menguatkan.
Sampaikan kasih sayang dengan cara sederhana, meski ciuman hangat mungkin harus ditunda dulu agar tidak menularkan batuk. Jangan lupa minum vitamin, cukup air, ikuti saran dokter, dan tidur sebanyak yang dibutuhkan. Karena ketika ibu menjaga diri sendiri, sebenarnya ia juga sedang menjaga keluarganya.
Ada beberapa tips yang bisa dilakukan agar ketika ibu sakit tidak merasa gagal menjadi seorang ibu.
Tips saat Ibu Sakit dan Tetap Bisa Mengasuh Anak
Dikutip 3in30podcast.com, tips berikut bisa menjadi beberapa ide tentang cara membuat waktu sedikit lebih mudah dikelola ketika ibu sedang sakit dan butuh istirahat.
1. Sediakan waktu singkat bersama anak
Meski tubuh tidak fit, hubungan dengan anak tetap bisa dijaga dengan cara sederhana. Setiap satu atau dua jam, ajak mereka mendekat sebentar di sofa atau tempat tidur.Berikan perhatian penuh selama beberapa menit main tebak-tebakan, mendengarkan buku audio, melihat mereka menunjukkan trik, atau menonton acara favorit bersama.
Waktu singkat tapi fokus ini akan membuat anak merasa diperhatikan, sekaligus menjaga kedekatan di masa sulit.
2. Atur kegiatan secara bergiliran
Anak-anak tidak perlu mengakses semua mainan sekaligus. Justru, dengan mengatur kegiatan secara bergiliran, mereka bisa terhibur lebih lama.Misalnya, bermain PlayDoh selama 20 menit, lalu melompat di trampolin, kemudian beristirahat sambil berpelukan, dan setelah itu menonton video singkat.
Aktivitas dengan variasi energi tinggi dan rendah akan membuat hari lebih seimbang. Jika sulit mengelola sendiri, mintalah bantuan teman atau keluarga untuk membantu memulai ritme ini.
3. Manfaatkan dukungan dari orang sekitar
Jangan ragu meminta bantuan. Banyak teman atau keluarga yang justru senang bila bisa menolong.Mulailah dengan membuat dua daftar sederhana: daftar orang yang mungkin bisa dihubungi (keluarga, tetangga, teman sekolah, komunitas, hingga rekan kerja), lalu daftar hal-hal yang perlu dilakukan setiap hari, seperti menyiapkan makan siang, menjaga anak sebentar, berbelanja, atau melipat cucian.
Dari situ, cocokkan siapa yang bisa membantu apa. Dukungan kecil sekalipun bisa sangat meringankan beban ketika ibu perlu fokus untuk pulih.
Menjadi ibu bukan berarti harus selalu sempurna, apalagi tak pernah sakit.
Tubuh yang rapuh dan hati yang lelah bukan tanda kegagalan, melainkan pengingat bahwa seorang ibu juga manusia yang berhak dirawat dan diperhatikan. Justru dengan memberi ruang bagi dirinya untuk pulih, seorang ibu dapat kembali hadir dengan cinta yang utuh.
Karena ketika seorang ibu diberi kesempatan untuk menjaga dirinya, sesungguhnya seluruh keluarga sedang belajar arti cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak hanya menuntut, tetapi juga menjaga.
Artikel lain terkait dinamika keseharian ibu juga bisa dibaca di sini.
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































