tirto.id - Sekali Peristiwa di Yogyakarta, 22-26 Desember 1928. Sekitar 1.000-an orang dari pewakilan 30-an organisasi perempuan berkumpul di kota itu. Mereka tak membahas perihal politik, tapi membicarakan nasib sebagai perempuan di negeri terjajah.
Kongres Perempuan Indonesia inilah belakangan yang diperingati sebagai Hari Ibu. Di situ sejumlah tokoh perempuan seperti Siti Soendari, Nyi Hadjar Dewantara, Siti Moendjiah dari Aisyiyah menyampaikan pandangan mereka soal kedudukan perempuan dan struktur sosial kolonial.
Ada tiga tuntutan yang mereka kemukakan kepada pemerintah kolonial: 1) jumlah sekolah perempuan yang ditingkatkan, 2) penjelasan resmi tentang arti janji pernikahan bagi mempelai perempuan dan 3) perlu adanya peraturan yang menolong para janda serta anak yatim.
Tiga tuntutan ini berkaitan erat dengan konteks sejarah saat itu.Politik Etis balas budi yang digagas oleh Pemerintah Kolonial, kendati sebenarnya untuk memenuhi kepentingan Kolonial, bagaimanapun telah mengubah cara pandang perempuan terhadap dunia yang patriarkis. Keluarga bangsawan yang terpapar pendidikan “modern” ala kolonial menyadari arti penting pemenuhan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki.
Kabar buruknya, akses pendidikan yang dibuka kolonial ini belum cukup memberikan ruang bagi perempuan untuk “berkemajuan”. Akses pendidikan lebih banyak didominasi laki-laki. Lantaran masalah ini perempuan-perempuan “berkemajuan” seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Siti Soendari dll untuk mendirikan sekolah bagi perempuan secara partikelir.
Sebagai contoh, dalam suratnya kepada Prof Anton dan istrinya, bertarik 4 Oktober 1902, Kartini menyampaikan:
"Apabila kami di sini minta, ya mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini."
"Melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang utama"
Ungkapan hari Kartini ini adalah bagian kecil dari rangkaian persoalan diskriminasi terhadap perempuan di tanah Hindia Belanda kala itu. Problematika lain di tanah Kolonial Hindia Belanda sampai awal abad 20 adalah praktik “pergundikan” yang masih terjadi.
Perempuan-perempuan yang menjadi “budak belian” ini tidak punya status dalam perkawinan mereka, kecuali sebagai “peliharaan” tuannya. Praktik lacur ini akan menimbulkan problem hukum di kemudian hari terkait status para janda, anak, dan bahkan warisan. Hal inilah kemudian yang memunculkan adanya tuntutan agar pemerintah kolonial memberikan perlindungan kepada para janda dan anak yatim.
Hari ini setelah 94 tahun lalu sejak Kongres Perempuan I digelar, isu terkait ibu dan perempuan masih tetap relevan, bahkan ketika Hindia Belanda sudah berubah menjadi Indonesia.
Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 menunjukkan perempuan masih mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Meskipun angka ini turun 26,1%, prevalensi kekerasan seksual oleh selain pasangan, meningkat dari 4,7% pada 2016 menjadi 5,2% pada 2021.
Di sektor kesehatan, Direktorat Kesehatan Keluarga mencatat per 14 September 2021, sebanyak 1.086 ibu meninggal dengan status positif Covid-19. Pusdatin mencatat, jumlah bayi yang meninggal dengan hasil swab positif tercatat 302 orang. Ini menunjukkan bahwa ibu dan bayi harus menjadi prioritas perlindungan pemerintah di masa pandemi.
Persoalan lain lagi yang harus dituntaskan terkait ibu adalah masalah pernikahan dini (perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun). Soal pernikahan dini alias ibu-ibu remaja ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Data Bappenas seperti dikutip dari Unicef menyebutkan, penurunan angka tren perkawinan dini anak perempuan di Indonesia masih dikaterogikan lambat. Pada 2008, prevalensi perkawinan anak adalah sebesar 14,67%, pada satu dekade kemudian (2018) menurun 3,5 poin persen menjadi 11,21%.
Artinya masih ada sekitar 1 dari 9 perempuan berusia 20–24 tahun yang menjalani pernikahan di saat usia mereka belum mencapai 18 tahun.
Dengan deretan data angka itu bisa ditarik kesimpulan bahwa perlindungan dan pemenuhan hak-hak kepada ibu mutlak diakukan. Ida Fauziah, tokoh perempuan dari Nahdatul Uama (NU), pernah mengatakan bahwa peran ibu sangat vital dalam pendidikan bagi generasi mendatang.
“Fakta membuktikan bahwa peran ibu dalam pendidikan anak tidaklah tergantikan. Pada masa kecil anak membutuhkan pendampingan dari sosok yang intens mengikuti pertumbuhan dan perkembangannya, yang mampu memberikan stimulasi optimal dengan penuh kasih sayang,” ujarnya dalam Geliat Perempuan Pasca Reformasi; Agama, Politik, Gerakan Sosial.
Sudah menjadi kodrat bagi ibu untuk mendidik anaknya sejak dini, sejak dalam kandungan. Ibu adalah guru dan pelindung pertama kehidupan. Dari sosok inilah, generasi terbaik akan lahir. Maka sudah sepantasnya Hari Ibu ini kita rayakan dan kami sampaikan melalui laporan khusus.
Selamat Hari Ibu…
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono