Menuju konten utama
Ruang Refleksi Diajeng

Sepinya Dunia Ibu: Sering Merasa Sendiri dalam Keramaian

Rasa kesepian seorang ibu kerap muncul di tengah rumah yang tak pernah benar-benar sepi, semacam ada ruang kosong yang sulit dijelaskan.

Sepinya Dunia Ibu: Sering Merasa Sendiri dalam Keramaian
Header Diajeng Kesepian Ibu. tirto.id/Quita

tirto.id - Menjadi seorang ibu sering kali dibayangkan sebagai babak hidup yang penuh kebahagiaan dan kehangatan.

Ketika melihat tawa bayi, pelukan hangatnya, dan momen-momen intim yang banyak dibagikan di media sosial, maka aku pun membayangkan hal indah itu pasti akan dialami semua ibu.

Namun, di balik gambaran ideal itu, ada sebuah kenyataan yang jarang diangkat ke permukaan, yakni rasa kesepian yang mendalam seorang ibu.

Anehnya, kesunyian itu justru muncul di tengah rumah yang tak pernah benar-benar sepi.

Ada anak-anak, ada tawa, ada tangisan, ada rutinitas tanpa henti. Hanya saja, entah bagaimana, di sela semua itu, ada ruang kosong yang sulit dijelaskan.

Ya, menjadi seorang ibu, seperti pernah diulas dalam Motherly, ternyata bisa begitu sunyi. Rasanya seperti berada di tengah keramaian, tetapi tak ada satu pun yang benar-benar mengerti apa yang sedang dirasakan.

Aku sering bertanya-tanya, bagaimana mungkin ketika hidup dipenuhi lebih banyak orang untuk dicintai, perasaan yang hadir justru merasa sendirian?

Bagaimana bisa ketika tanggung jawab semakin menumpuk, ketika seorang ibu dikelilingi anak-anak yang begitu dibanggakannya, tapi masih ada bagian dari diriku yang merasa semakin terasing?

Benarkah Menjadi Ibu Sering Merasa Kesepian?

Mengutip artikel di jurnal Philosophical Transactions of the Royal Society B (2021), studi menunjukkan lebih dari sepertiga ibu baru menghabiskan delapan jam sehari sendirian dengan bayi mereka. Ini sering terjadi pada diriku.

Sebenarnya aku malu untuk mengakuinya, tetapi menjadi ibu adalah masa paling sepi dalam hidupku, terutama di awal-awal setelah melahirkan.

Kesepian itu datang bukan karena kurangnya cinta, tapi karena diriku sendiri seakan menghilang di antara semua peran.

Flashback ke masa akan menjalani persalinan, aku sempat merasa emosional memikirkan cuti hamil 3 bulan, yang artinya hanya itu waktu intim yang bisa aku gunakan bersama putriku yang baru lahir dan 2 anakku yang berusia toddler sebelum kembali bekerja.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, aku juga perlu menginformasikan bahwa meskipun merasa kesulitan menjadi ibu rumah tangga, tapi ini merupakan keputusan terbaik yang pernah kubuat.

Aku sadar tidak banyak pula orang tua yang bisa menghabiskan waktu 24 jam penuh di rumah bersama bayinya. Aku beruntung mendapat kesempatan itu selama cuti 3 bulan sebelum kembali bekerja.

Rasanya damai sekali bisa merawat anak-anak sendiri, memastikan mereka mendapat kasih sayang terbaik, bahkan selalu ada ketika mereka butuh pelukan. Itu adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat.

Meski begitu, ada satu hal yang tak pernah aku bayangkan: betapa beratnya tantangan menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Andai saja ada yang mengingatkannya lebih dulu.

Bayi dan kedua anakku sama seperti bayi-bayi lainnya yang lucu dan penuh kejutan, mereka juga sosok yang luar biasa.

Namun, terkadang aku merasakan hal aneh, karena hampir setiap hari, aku menghabiskan waktu berjam-jam tanpa berbicara dengan orang dewasa. Rasanya sepi sekali, dan jujur itu membuatku terpuruk.

Pelan-pelan aku merasa kehilangan rasa percaya diri. Aku jadi kaku saat berinteraksi dengan orang lain, bahkan lebih sering memilih diam. Bahkan, hanya untuk meminta atau menerima bantuan pun rasanya sulit sekali.

Aku juga bingung bagaimana harus bercerita tentang pengalaman melahirkan, tentang tubuhku yang berubah, dan tentang pikiranku yang ikut terguncang.

Semua itu membuatku sempat terjebak dalam rasa cemas dan sedih yang mendalam.

Aku jadi bertanya-tanya pada diri sendiri: ada apa denganku? Kenapa aku merasa begini? Bukankah ini seharusnya jadi momen paling bahagia dalam hidupku?

Aku pun mulai menyadari bahwa menjadi ibu adalah perjalanan yang indah sekaligus rapuh.

Ada cinta yang melimpah, tapi juga ada sunyi yang hanya bisa benar-benar dimengerti jika mengalaminya sendiri.

Ibu Perlu Memberi Ruang untuk Mendengarkan Dirinya Sendiri

Namun perlahan, aku belajar untuk tidak selalu menolak rasa sunyi itu. Ada kalanya, kesepian memberi ruang untuk mendengarkan diriku sendiri.

Kesepian mengingatkanku bahwa aku bukan hanya seorang ibu, tapi juga seorang individu yang tetap butuh dirangkul, dihargai, dan diingat keberadaannya.

Di balik keheningan yang kadang terasa berat, aku menemukan kesempatan untuk mengenal diriku lagi.

Sunyi itu, walau sering menyakitkan, bisa juga menjadi pintu menuju pemahaman baru, bahwa cinta pada keluarga akan lebih utuh jika aku juga belajar mencintai diriku sendiri.

Kesepian bisa berdampak besar pada kesehatan mental. Sebuah penelitian di University College London tahun 2023 menemukan bahwa kesepian adalah salah satu faktor utama depresi pada masa kehamilan dan setelah melahirkan.

Peneliti utama, Dr. Katherine Adlington, menjelaskan bahwa rasa sepi ini sering menjadi inti pengalaman ibu hamil maupun ibu baru yang mengalami depresi.

Padahal, manusia adalah makhluk sosial yang sangat bergantung pada hubungan dengan orang lain untuk kesehatan, kesejahteraan, bahkan kelangsungan hidup. Jadi, mengapa justru banyak ibu di masyarakat kita merasa begitu kesepian?

Sedikit rasa sepi mungkin memang tak terhindarkan. Ada proses batin yang perlu dijalani setiap ibu untuk memahami makna membawa kehidupan baru ke dunia melalui tubuhnya sendiri. Namun, sebagian besar rasa terasing yang dirasakan para ibu baru sebenarnya muncul karena cara masyarakat modern terbentuk.

Jika melihat budaya lain, seperti dikutip laman The Guardian, misalnya di Cina, Jepang, India, dan Amerika Selatan, ada ritual khusus setelah melahirkan.

Ritual itu bukan hanya menghormati tubuh yang telah melalui proses kehamilan dan persalinan, tapi juga memberikan ruang bagi ibu baru untuk pulih secara emosional.

Ritual ini biasanya melibatkan beberapa hal, seperti memberikan ibu makanan yang kaya nutrisi, pijat relaksasi, minum minuman sehat, dan mandi herbal yang disiapkan oleh kerabat dekat perempuan hingga warga yang berada di sekitar rumahnya, atau asisten pascapersalinan yang disewa untuk merawat ibu dan bayi selama kurang lebih 40 hari.

Sang ibu diharapkan beristirahat dan dirawat, sambil menyusui dan menjalin ikatan dengan bayinya.

Di Vietnam, periode ini disebut namo, yang berarti "berbaring di sarang".

Di Nigeria, omugwo adalah nama praktik budaya Igbo untuk perawatan pascapersalinan yang diberikan kepada ibu dan bayi baru lahir oleh ibu atau kerabat perempuan yang lebih tua.

Di Meksiko, upacara "closing of the bones" (penutupan tulang) membantu menutup tubuh perempuan secara emosional dan fisik setelah proses melahirkan yang sangat panjang.

Tentu, setiap ibu memiliki cerita uniknya sendiri, tetapi ada benang merah yang menghubungkan pengalaman-pengalaman itu.

Artikel ini menjadi sebuah renungan pribadi, upaya untuk jujur dengan diri sendiri tentang sebuah perjalanan yang sunyi.

Ini adalah tentang saat-saat ketika aku merasa seperti satu-satunya orang di dunia yang merasakan beban yang begitu besar, sambil berusaha tersenyum dan meyakinkan semua orang bahwa semuanya baik-baik saja.

Melalui tulisan ini, aku berharap para ibu lain yang merasakan hal serupa dapat merasa divalidasi dan tidak sendirian.

Simak artikel menarik lainnya seputar ibu dan bayi di tautan ini.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Me Time
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Sekar Kinasih