Menuju konten utama

Dukungan Sesama Ibu untuk Jaga Kewarasan dan Usir Kesepian

Setelah menjadi ibu, perempuan sering merasa kesepian karena tak punya dukungan. Kelompok pendukung sesama ibu bisa membantu ibu lebih percaya diri.

Dukungan Sesama Ibu untuk Jaga Kewarasan dan Usir Kesepian
Header Diajeng Dukungan Sesama Ibu. tirto.id/Quita

tirto.id - Saat melajang, perempuan bisa menikmati waktu-waktu sepi dan sendiri tanpa merasa kesepian. Setelah menjadi ibu, kami menghabiskan waktu hampir 24 jam bersama anak yang paling kami cintai sedunia. Namun kesepian justru sering datang.

Para ahli bilang kami harus sering-sering mengambil jeda rutinitas. Hanya saja, belum juga lama istirahat, kami sudah merasa tak pantas berleha-leha. Ketika melihat isi media sosial atau menatap pencapaian teman lain, terbit sedikit iri dan merasa diri ini hanya jalan di tempat.

Berkeluh kesah dengan keluarga seringnya tak berbuah solusi. Bukan dapat dukungan, perempuan malah lebih banyak diminta bersyukur sambil tetap mengurusi sumur, dapur, dan kasur.

Begitulah kira-kira curahan hati mayoritas perempuan yang telah menjadi ibu, termasuk Fatimah Azzahra.

Ibu satu anak ini dulunya pernah mengajar sebagai dosen ilmu gizi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Setelah memiliki anak, dia berusaha menjalani kuliah jarak jauh pada periode pandemi COVID-19. Lalu, saat pagebluk mulai terkendali pada 2021 dan kegiatan mengajar kembali normal seperti semula, Fatimah memilih berhenti jadi dosen.

Dia ingin ilmunya lebih dulu diberikan kepada sang anak. Hari demi hari dia lewati dengan status baru sebagai ibu rumah tangga (IRT). Fatimah bahagia, tapi juga berjuang dengan berbagai macam persoalan domestik. Dia nyaris tak pernah berinteraksi dengan orang lain, kecuali bermonolog dengan sang putri.

“Saat itu, saya merasa ada stagnasi peran. Belum lagi tekanan lingkungan dan keluarga. Kenapa perempuan kalau di rumah saja dianggap tidak produktif? Stigmanya hanya urusan sumur, dapur, kasur,” tuturnya mengingat keluh kesah di masa lampau.

Mencari Kesamaan, Mengubah Kesepian

Fatimah melewati hari-hari pengasuhan dengan rasa penerimaan diri yang buruk. Dia merasa status pendidikannya tak berguna, pun tak punya karya.

Dia kemudian bertanya-tanya, apakah perempuan lain di luar sana merasakan hal yang sama? Atau jangan-jangan, ini cuma rasa galau yang dia rasakan sendiri. Fatimah lantas mengunggah pertanyaan itu ke media sosial dan mendapat banyak respons.

“Saat melihat respons teman-teman, saya merasa banyak ibu yang insecure. Padahal ibu adalah pusat keluarga. Ketika ibu percaya diri dengan perannya, dia akan merajut bahagia bagi keluarga, bertumbuh, dan berkarya. Namun, bagaimana jika sebaliknya?”

Fatimah menyadari tidak hanya dirinya saja yang merasa kesepian dan tidak percaya diri setelah menjalani peran baru sebagai seorang ibu. Perasaan-perasaan negatif itu divalidasi setidaknya oleh hasil jajak pendapat dari situs pengasuhan ChannelMum.com yang melibatkan lebih dari dua ribu perempuan di Inggris.

Sebanyak 92 persen responden mengaku kesepian sejak memiliki anak. Setengah dari mereka (54 persen) merasa tidak punya teman setelah melahirkan. Padahal, mayoritas (80 persen) sangat ingin memiliki teman senasib. Namun sekira 30 persen tak pernah bercengkerama dengan ibu lain.

Header Diajeng Dukungan Sesama Ibu

Header Diajeng Dukungan Sesama Ibu. foto/istockphoto

Kami membikin janji temu di sebuah taman terbuka daerah Depok, Jawa Barat, sambil membawa teman dan keluarga. Putri Fatimah sudah berumur 5 tahun sekarang. Kami mengobrol sembari Fatimah memangku sang putri, mengambilkan makanan, lalu sesekali membacakan buku cerita.

Obrolan kami kembali pada masa Fatimah mengunggah keresahannya sebagai IRT. Ayu Megawati adalah salah satu orang yang merespon unggahan tersebut.

Ayu adalah ibu dari dua anak laki-laki berumur 8 dan 4 tahun. Ayu sempat mengajar sebagai dosen program studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Namun persis seperti kisah Fatimah, dia juga memutuskan melepas profesi sebagai pengajar dengan alasan anak dan keluarga.

Fatimah dan Ayu serta tiga perempuan lain, yakni Naisa Maulidia, Riris Novie, dan Suryanti, kemudian membentuk platform gerakan sosial sekaligus kelompok pendukung sesama ibu bernama Akselerasi Ibu Masa Kini (ASIK) pada 8 Agustus 2021. Mereka adalah orang-orang yang datang kepada Fatimah karena merasakan keresahan serupa.

“Tak bisa menyelesaikan masalah ketidakpercayaan diri sebagai ibu ini sendirian. Saya butuh bantuan,” kata Fatimah.

Mereka membuat ASIK sebagai platform gerakan inovasi sosial dengan misi utama untuk menyelesaikan semua masalah-masalah anggotanya. Setelah itu, kegiatannya pun meluas, mulai dari meningkatkan pendidikan para ibu hingga membantu mereka lebih percaya diri dengan perannya.

Ada juga kelas daring dan konten media sosial berkisar pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Mereka juga berupaya menggali potensi masing-masing anggota agar bisa saling berdaya.

Ayu, misalnya, jadi menemukan semangat baru menjadi seorang pewara. Di lain kisah, ada Naisa yang mendapati keahlian sebagai pengisi suara.

“Inginnya ASIK bisa menjadi sistem pendukung para ibu. Kalau sedang merasa sendiri bisa lebih cepat pemulihan karena ada dukungan dari sesama. Dengan begitu, ibu bisa bahagia, bertumbuh, dan berkarya,” harap Fatimah.

ASIK menjadi wadah para ibu menyalurkan potensi diri. Yang jago berdagang, misalnya, bakal difasilitasi program untuk memasarkan bisnis mereka. Ayu dan Naisa diberi kesempatan memandu acara dan mengisi suara di setiap program-program ASIK. Ada lagi Riris yang dipersilakan mengelola website dan segala macam hal yang berhubungan dengan teknologi. Sebelumnya, dia memang bekerja di bidang teknologi informasi.

Sementara itu, para ibu yang lain bergilir menjadi narasumber di setiap konten pembelajaran ASIK, sesuai dengan bidang dan kegemaran masing-masing.

“Saya merasa berharga ketika teman-teman mengapresiasi, meski hanya pujian singkat tentang puisi buatan saya,” kata Naisa.

Dari Naisa kita belajar, sejatinya ibu hanya perlu validasi dan perhatian untuk bisa kuat menghadapi rutinitas harian mereka.

Apresiasi inilah yang kemudian diberikan Ashoka kepada ASIK melalui Fatimah pada Mei 2021 lalu. Dia menjadi salah satu pengusaha sosial perempuan dalam program Deepening Impact of Women Accelerators (DIWA), di mana Ashoka bermitra dengan S&P Global Foundation.

Kini, ASIK telah menjangkau lebih banyak ibu untuk dikuatkan rasa percaya dirinya, lebih dari 500 perempuan dari 21 provinsi.

Terbentur Tantangan, Tak Pudar Harapan

Fatimah tak pernah menjanjikan apa pun kepada teman-teman senasibnya saat menggagas ASIK. Tak ada uang gaji atau jaminan langsung berubah “keren” setelah bergabung. Semua proses mereka jalani bersama, mulai dari membentuk konsep, menyusun silabus, hingga menjalani misi kelompok.

Beberapa anggota pun sempat mendapat tentangan “berproses” dari keluarga mereka, Ayu contohnya. Sang suami semula tak mendukungnya ikut segala macam acara ASIK. Sampai suatu ketika anak mereka terinfeksi COVID-19 saat gelombang pagebluk itu tengah tinggi-tingginya. Dukungan dan bantuan paling masif justru datang dari kelompok ibu ASIK.

“Dia bilang, ‘tujuan kamu resign kerja, kan, untuk fokus mengurus anak. Kalau sibuk lagi (di ASIK) ya sama saja’,” kata Ayu menirukan ucapan suaminya.

Pelan-pelan, dia bernegosiasi dan menemukan titik sepakat untuk tetap aktif berorganisasi.

Header Diajeng Dukungan Sesama Ibu

Header Diajeng Dukungan Sesama Ibu. foto/IStockphoto

Di lain sisi, Fatimah sebagai team leader masih butuh pegangan supaya bisa ajek mengelola alur kerja efektif dan profesional. Ayu bercerita, dia dan anggota lain pun kadang mengalami pasang surut semangat sehingga Fatimah seolah “bekerja sendiri”. Ketika itulah, mereka kembali saling menguatkan.

“Fatimah akan tanya, kita ada masalah apa. Lalu kalau bisa, ya, dipecahkan bersama-sama.”

Secara organisasi, ASIK dengan usia masih “balita” tengah menghadapi masalah inovasi program, manajemen proyek, dan pendanaan. Lantaran berkembang selama pandemi COVID-19, ASIK membuat program secara daring. Kini, mereka tengah menggodok rancangan ideal untuk menggabungkan program daring dan luring.

Perubahan-perubahan tersebut tentu menuntut biaya lebih sehingga manajemen perlu putar otak untuk mengelola proyek dengan cepat, berdampak, dan tetap menghasilkan. Proses inilah yang masih terus berkembang dan menjadikan Fatimah serta timnya “berproses” menjadi lebih percaya diri dan berdaya.

“Saya sekarang yakin seorang ibu pun bisa jadi pembaharu, asalkan mau mengubah empatinya menjadi energi kinetik bagi solusi yang lebih berdampak,” pungkas Fatimah.

*Artikel ini pernah tayang di tirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait KESEPIAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Yemima Lintang