Menuju konten utama
GWS

Memeluk Alam, Membunuh Sepi

Menghabiskan waktu di alam dapat mengubah keadaan tubuh dari tegang menjadi tenang, yang membantu mengelola emosi negatif seperti kesepian.

Memeluk Alam, Membunuh Sepi
ilustrasi tentang membunuh sepi dengan menghabiskan waktu di alam terbuka. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jika ada satu hal yang bisa disyukuri dari pandemi Covid-19, barangkali itu adalah bagaimana kesepian tidak lagi dianggap sebagai perkara sepele melainkan sebuah krisis kesehatan.

Sebenarnya, sebelum pandemi melanda sekalipun, seiring dengan bangkitnya kesadaran mengenai kesehatan mental, perasaan terisolasi dan kesendirian sudah diakui sebagai faktor yang bisa memperburuk kondisi mental seseorang.

Namun, pada masa pandemi, saat gerak-gerik manusia amat dibatasi (lewat PSBB dan PPKM di Indonesia), efek dari kesepian ini kian memburuk serta meluas. Keharusan bekerja dari rumah dan karantina praktis memutus hubungan jutaan manusia di muka bumi, sehingga mereka yang sebelumnya sudah merasa sendiri jadi semakin kesepian.

Menurut survei yang dilakukan oleh American Psychological Association pada 2021, hampir 3 dari 5 orang dewasa mengaku merasa kesepian. Kelompok usia yang lebih muda, terutama mereka yang berusia 18-24 tahun, mengalami kesepian dalam level yang lebih tinggi.

Kesepian bukan hanya tentang berada sendirian secara fisik, melainkan pengalaman emosional yang mencakup perasaan terputus, tidak dianggap penting, atau tidak terlihat. Dalam masyarakat yang sering mengutamakan pencapaian individu daripada kesejahteraan kolektif, perasaan terisolasi ini bisa memengaruhi siapa saja.

Namun, memang, ada kelompok tertentu yang lebih rentan terhadap masalah ini. Orang dewasa yang lebih tua, misalnya, sering menghadapi efek gabungan dari penurunan kemampuan fisik, kehilangan orang yang tercinta, dan keterasingan sosial, menjadikan mereka lebih rentan terhadap kesepian.

Di sisi lain, orang yang lebih muda, khususnya yang tinggal di lingkungan perkotaan, melaporkan merasa terisolasi meskipun dikelilingi oleh ribuan orang. Bagi mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, tempat hiruk pikuk kehidupan sering menenggelamkan koneksi pribadi, perasaan "hilang" di tengah lautan wajah bisa sangat mengganggu.

Dampak kesepian pun sangat luas. Berbagai penelitian telah menunjukkan bagaimana isolasi yang berkepanjangan bisa memperburuk kesehatan mental dengan munculnya depresi dan kecemasan. Rasa sepi juga dapat berdampak ke kondisi fisik, mulai dari meningkatnya tekanan darah, melemahnya sistem imun, dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit kronis.

Sembuh bersama Alam

Hingga kini, masalah kesepian belum benar-benar bisa diselesaikan. Meski begitu, sebenarnya ada obat alami untuk persoalan ini yang bisa dicoba oleh siapa pun, yakni menghabiskan waktu di alam.

Di Jepang, ada kebiasaan kuno bernama Shinrin-yoku. Dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih "mandi hutan". Kebiasaan ini sejak dulu dipercaya mampu membuat seseorang merasa lebih baik dan, rupanya, efek positif dari mandi hutan tersebut sudah dibuktikan secara ilmiah.

Penelitian ini membuktikan bahwa ada banyak efek positif yang bisa dirasakan dari mandi hutan, yaitu mencegah kanker, menurunkan tekanan darah, mengurangi produksi hormon stres, menyeimbangkan sistem saraf otonom, meningkatkan kualitas tidur, meningkatkan level serum adiponectin (untuk meregulasi glukosa) dan dehidroepiandrosteron sulfat (untuk meningkatkan produksi estrogen dan testosteron), mencegah depresi, mempercepat rehabilitasi penyakit, serta meningkatkan imun tubuh.

Mandi hutan yang dimaksud di sini, tentu saja, bukan mandi di hutan, melainkan membiarkan tubuh kita dikelilingi oleh semua yang ada di hutan. Kita bisa melihat berbagai warna berbeda, mencium aroma-aroma dari berbagai pohon, mendengar suara-suara alami, merasakan sentuhan dari pepohonan, bahkan mencicipi makanan (buah) yang tumbuh di pohon-pohon.

ilustrasi tentang membunuh sepi di alam terbuka

ilustrasi tentang membunuh sepi dengan menghabiskan waktu di alam terbuka. FOTO/iStockphoto

Itu semua, menurut penelitian tersebut, bermanfaat untuk membuat tubuh jadi lebih relaks. Sebaliknya, kehidupan perkotaan yang cepat dan penuh rangsangan cenderung mengaktifkan sistem saraf simpatik yang mengendalikan respons "fight or flight" tubuh.

Dengan menghabiskan waktu di alam, orang dapat mengubah keadaan tubuh mereka dari ketegangan menjadi ketenangan, yang membantu mengelola emosi negatif seperti kesepian.

Penelitian lain yang diterbitkan di PNAS menemukan bahwa berjalan di alam mengurangi aktivitas neural di subgenual prefrontal cortex, bagian otak yang terkait dengan pemikiran diri dan perenungan. Ini sangat penting bagi orang yang menderita kesepian, karena perenungan—berfokus berulang kali pada pikiran negatif—dapat memperburuk perasaan terisolasi.

Dengan mengurangi perenungan, alam secara efektif memberikan "reset" mental bagi individu, memungkinkan mereka untuk keluar dari dialog internal mereka dan kembali terlibat dengan momen saat ini.

Salah satu efek terpenting dari menghabiskan waktu di alam adalah bagaimana keterhubungan sosial yang lebih besar yang dapat ditumbuhkan. Meskipun alam tidak secara langsung mampu menggantikan persahabatan manusia, ia dapat menawarkan rasa kebersamaan dan kekaguman yang melawan efek isolasi dari kesepian.

Peneliti telah menemukan bahwa menghabiskan waktu di luar ruangan, bahkan sendirian, dapat memberikan rasa keterhubungan dengan dunia. Rasa kesatuan dengan alam ini dapat membantu orang merasa kurang sendirian, meskipun mereka secara fisik terisolasi.

Tantangan bagi Kaum Urban

Meskipun manfaat menghabiskan waktu di alam telah terdokumentasi dengan baik, kenyataannya tidak semua orang memiliki akses mudah ke ruang hijau. Mereka yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, misalnya, menghadapi tantangan lebih besar.

Lingkungan perkotaan sering kali kekurangan lahan terbuka hijau yang memungkinkan orang untuk melarikan diri dari ritme kehidupan kota yang tiada henti. Di kota seperti Jakarta, tempat polusi, kebisingan, dan keramaian mendominasi lanskap, menemukan tempat alam yang tenang bisa jadi hil yang mustahal.

Namun, ada solusi untuk masalah ini. Ternyata, untuk mendapatkan efek dari mandi hutan, seseorang tidak perlu benar-benar pergi ke hutan. Cukup beraktivitas di ruang terbuka hijau, efek yang sama pun sudah bisa didapatkan.

Oleh karena itu, jalan-jalan singkat di ruang terbuka hijau yang lebih kecil, seperti taman kota, kebun raya, atau kebun komunitas bisa menjadi solusi kaum urban. Di Jakarta, misalnya, jalan-jalan di Kebun Binatang Ragunan atau kawasan Monas sudah bisa dianggap sebagai mandi hutan mengingat hijaunya area tersebut.

Solusi lain, meski efeknya tidak akan sama, adalah menikmati alam secara virtual. Sebab, melihat alam melalui foto, video, atau virtual reality saja dapat memiliki efek positif bagi kesehatan mental. Kemudian, membawa alam ke dalam rumah melalui tanaman hias atau elemen alami seperti kayu dan fitur air dapat menciptakan lingkungan yang lebih menenangkan serta mengurangi stres.

Ini semua menunjukkan bahwa alam, sekecil apa pun porsinya, bisa menjadi obat alami bagi kesepian yang dirasakan manusia. Pasalnya, menurut pakar biologi Edward Osborne Wilson, semua manusia pada dasarnya "mengidap" biofilia, yaitu tendensi alami untuk menjalin hubungan dengan makhluk hidup lain dan alam bebas. Ini merupakan bukti bahwa, sejauh-jauhnya peradaban melangkah, secara esensial, manusia tetaplah makhluk hidup yang membutuhkan alam.

Baca juga artikel terkait KESEPIAN atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi