Menuju konten utama

Kesepian Bisa Mengancam Kesehatan, Bagaimana Cara Memeranginya?

Proses memerangi kesepian adalah perjalanan panjang yang memerlukan ketelatenan dan kesabaran.

Kesepian Bisa Mengancam Kesehatan, Bagaimana Cara Memeranginya?
Ilustrasi kesepian. foto/istockphoto

tirto.id - Apa yang lebih berbahaya dari merokok 15 batang sehari, mengonsumsi 6 minuman beralkohol dalam sehari, jarang melakukan aktivitas fisik, kegemukan, serta terpapar polusi udara? Menurut Vivek Murthy dalam bukunya yang berjudul Our Epidemic of Loneliness and Isolation (2023), jawabannya adalah kesepian.

Ya, kesepian rupanya bukan perkara sepele. Bahkan, World Health Organization (WHO) pada akhir 2023 silam sampai membentuk sebuah komite internasional, yang diketuai Murthy (seorang jenderal di Korps Dinas Kesehatan Publik Amerika Serikat) serta perwakilan Uni Afrika, Chido Mpemba, untuk memerangi wabah kesepian yang melanda dunia.

"Impak kematian yang disebabkan oleh terganggunya hubungan sosial sama dengan efek negatif yang disebabkan merokok 15 batang sehari dan bahkan jauh lebih buruk dari efek yang ditimbulkan obesitas serta kurangnya aktivitas fisik," tulis Murphy.

Selain berbahaya, kesepian juga tak pandang bulu. Semua orang dari belahan dunia mana pun bisa merasakannya.

"[Kesepian] tak mengenal batas negara dan telah menjadi ancaman kesehatan global yang berpengaruh pada setiap aspek kesehatan, kebahagiaan, dan perkembangan. Isolasi sosial betul-betul tidak mengenal usia dan batas apa pun," ujar Mpemba, dikutip dari The Guardian.

Kesepian dalam Angka

Kesepian memang tak bisa diukur secara persis dengan angka. Namun, orang yang merasakan kesepian tentu bisa dilacak keberadaannya. Upaya itu misalnya dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) di Jabodetabek.

Pada akhir 2023, HCC melakukan survei yang melibatkan 1.299 responden. Hasil survei itu, sebagaimana diwartakan Databoks, menunjukkan bahwa 6 persen responden merasakan kesepian level parah, sementara 44 persennya merasakan kesepian level sedang.

HCC melakukan survei tersebut dengan menggunakan Skala Kesepian UCLA (UCLA Loneliness Scale). Para responden diberi 20 pertanyaan dengan tiga pilihan jawaban: sering, kadang-kadang, dan tidak pernah.

Semakin banyak seseorang memilih "sering", semakin tinggi pula skala kesepian yang mereka rasakan. Skala ini pertama kali diciptakan pada 1978 dan sampai sekarang masih jadi ukuran paling populer untuk mengukur tingkat kesepian seseorang.

Penelitian HCC, menyebutkan pula bahwa status pernikahan nyatanya tidak banyak membantu orang lepas dari kesepian. Sebanyak 47,9 persen responden HCC berstatus sudah menikah, tapi mereka masih merasakan kesepian. Sementara yang belum menikah, 60 persennya merasakan kesepian level sedang.

Kemudian, survei HCC juga mendapati bahwa para perantau (56 persen) lebih rentan merasakan kesepian ketimbang warga lokal. Sedangkan untuk kelompok umur, 51 persen orang berusia di bawah 40 tahun merasakan kesepian level sedang. Orang-orang di kelompok umur ini juga berisiko 1,5 kali lebih besar merasakan kesepian ketimbang kelompok umur lainnya.

Temuan survei HCC itu kurang lebih mirip dengan hasil penelitian dengan skala lebih besar yang dilakukan oleh Gallup dan Meta. Hasil penelitian itu diterbitkan dalam laporan Global State of Social Connections (2023, PDF).

Studi Gallup-Meta tersebut menemukan bahwa semakin muda seseorang, semakin kesepian pula mereka.

Dari Juni 2022 sampai Februari 2023, para peneliti Gallup-Meta berkorespondensi dengan ribuan orang dari berbagai negara yang mereka sebut mewakili 77 persen populasi dunia.

Hasilnya, "hanya" 17 persen orang-orang berusia 65 tahun ke atas yang mengaku merasa kesepian, sementara 27 persen kalangan usia 19-29 tahun merasakan kesepian.

Data lain dari Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa orang yang lebih muda memang lebih rentan merasakan kesepian. Dari sebuah polling yang dilakukan Asosiasi Psikiatri Amerika pada Februari 2024, ditemukan fakta bahwa 30 persen orang berusia 18-34 tahun merasakan kesepian setiap hari atau beberapa kali dalam sepekan.

Apa Penyebab Kesepian?

Penyebab kesepian di setiap kelompok demografi bisa bervariasi. Di kalangan anak muda, kesehatan mental dan penggunaan media sosial berlebihan menjadi faktor yang cukup dominan.

Laporan Kompas menyebutkan bahwa anak muda yang rajin berinteraksi di media sosial justru lebih kesepian daripada mereka yang tidak.

Kemudian, menurut studi University of Edinburgh pada 2020 yang diberitakan Forbes, penyebab kesepian yang paling utama di kalangan orang tua adalah hidup sendirian. Mereka hidup sendiri karena telah ditinggal orang-orang terdekatnya, entah pasangan, teman, saudara kandung, atau bahkan anak.

Pensiun dari pekerjaan juga bisa menyebabkan kesepian bagi orang dewasa berusia lanjut. Mereka yang terbiasa dikelilingi rekan sejawat tiba-tiba kehilangan itu semua setelah pensiun. Tak heran banyak orang usia pensiun yang memilih untuk berbisnis atau menjadi sukarelawan agar tidak sepenuhnya terputus dari dunia luar.

Ketiadaan rekan sejawat juga membuat mereka yang bekerja sendirian jadi rentan mengalami kesepian. Itulah sebabnya kesadaran bahwa kesepian adalah bahaya mulai meningkat ketika work from home (WFH) mulai marak akibat pandemi virus corona.

Saat itu, orang-orang menjadi sadar bahwa, sebagai makhluk sosial, manusia memang butuh berinteraksi dengan orang lain.

Penyebab lain kesepian yang tak kalah berbahaya adalah kondisi sakit yang berkepanjangan atau disabilitas. Suka tidak suka, dua hal itu bakal membuat seseorang kerap terputus dari dunia luar serta kehilangan interaksi dengan orang lain.

Itulah mengapa, apabila ada orang dekat kita yang sakit berkepanjangan atau memiliki disabilitas, kita perlu sering-sering mengecek kondisi mereka. Sekecil apa pun interaksi, itu bakal sangat berarti bagi mereka.

Cara Memerangi Kesepian

Sendirian tidak berarti kesepian. Begitulah isi pengantar editorial jurnal The Lancet Discovery Science edisi Desember 2023. Artinya, kesepian tidak bisa serta-merta bisa diatasi hanya dengan, misalnya, hangout bersama teman-teman. Sebab, merasa sendiri di tengah keramaian adalah hal yang jamak terjadi.

Oleh karenanya, masalah kesepian mesti diselesaikan dari akarnya. Yang pertama kali perlu dilakukan adalah bercerita—bisa kepada orang terdekat atau kepada tenaga kesehatan mental profesional seperti psikolog.

Saat ini, konsultasi psikologis sudah lebih mudah diakses, salah satunya lewat platform telemedicine. Apabila Anda lebih suka bertatap muka langsung, Anda bisa juga berkonsultasi ke faskes terdekat dan BPJS bakal menanggung biayanya.

Setelah itu, yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kualitas hidup. Misal, dengan mengonsumsi makanan yang lebih bergizi, lebih rajin berolahraga, menekuni sebuah hobi, atau sekadar rajin menghubungi teman dan kerabat.

Itu semua bakal membantu kita menemukan target baru dalam hidup sekaligus mengenyahkan rasa sepi dari hati dan pikiran.

Namun, yang perlu diingat, proses memerangi kesepian bukanlah proses yang bisa selesai dalam waktu singkat. Ini adalah perjalanan panjang yang memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Artinya, bakal ada pasang-surut yang bakal Anda alami dan itu hal yang wajar.

Jika hal itu terjadi, janganlah menyerah karena hidup Anda begitu berharga.

Baca juga artikel terkait KESEPIAN atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi