Menuju konten utama

Ekoseksual: Berhubungan Intim dengan Bumi

Mereka amat menguatirkan bumi dan memutuskan untuk mencintainya dengan gerakan ekoseksual.

Ekoseksual: Berhubungan Intim dengan Bumi
Ilustrasi eco sexual. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Seorang wanita berambut pendek telanjang bulat di depan sekerumunan orang yang tengah fokus padanya. Tubuhnya terlihat kotor di beberapa tempat, kontras dengan warna kulit yang lain. Ia menggenggam tanah yang nampak baru digali dari tempatnya duduk. Jepretan kamera tak henti mengabadikan tingkah lakunya.

Di tempat yang sama, dengan beberapa jeda waktu, dua orang wanita lainnya berguling di atas tanah. Senyum lebar terlihat di raut wajah mereka. Pada satu tangkapan kamera, keduanya terlihat menggenggam tanah dan menciuminya sembari terus berbaring di kasur beralaskan tanah. Tubuh mereka benar-benar kotor!

Baca juga: Seks yang Tetap Membara saat Usia Bertambah

Kedua wanita itu tengah melakukan ritual sakral, pernikahan. Namun, mereka bukan menikah dengan sesamanya, melainkan dengan tanah yang mereka ciumi, di Donau Festival, Krems, Austria. Mereka, Annie M. Sprinkle dan Elizabeth M. Stephen, yang dikenal sebagai profesor sekaligus aktivis lingkungan, adalah pelopor ekoseksualitas.

Ekoseksual merupakan kecenderungan seksual untuk melakukan hubungan intim dengan alam. Bisa dengan pohon, tanah, koral, air, bulan, salju, matahari, dll. Seorang ekoseksual dapat bercinta, memeluk pepohonan atau sekadar berguling-guling di tanah, mencium, menjilat bunga-bunga di kebun atau hutan. Sampai akhirnya merela mengalami orgasme dengan "pasangan" yang dipilih.

“Kami mau pergerakan dengan alam menjadi lebih seksi, menyenangkan, dan berbeda,” kata Annie.

Baca juga: Tanah Baduy

Para penganut ekoseksual percaya, berhubungan intim dengan alam bisa memunculkan rasa saling melindungi. Sama halnya seperti rasa di antara kedua orang orang yang saling mencintai. Dengan begitu, alam juga akan menyayangi dan melindungi mereka dari kehancuran. Ekoseksual muncul karena keprihatinan para aktivis lingkungan terhadap bumi yang semakin dekat dengan kehancuran.

Baca juga: Pecinta Lingkungan Lestarikan Alam dengan Ekoturisme

Filosofi Ekoseksual

Di kesempatan lain, pada 2008, kedua wanita itu kembali menikahi “alam”. Mereka menikah dengan “bumi” di Santa Cruz, California, dan mengundang sebanyak 350 tamu. Hajatan ini dimeriahkan oleh belasan seleb sebagai pengisi acara. Mulai dikenal pada tahun 2000, aliran seksualitas ini digagas oleh para profesor dan aktivis lingkungan di Sydney, Australia. Kini, anggotanya sudah mencapai 100 ribu orang di seluruh dunia.

“Kami mengubah metafora 'bumi adalah ibu' menjadi 'bumi adalah kekasih',” ujar Elizabeth.

Kelahiran ekoseksual berawal dari keresahan para aktivis lingkungan. Orang sering menganggap bumi sebagai ibu. Tapi, Ibu Bumi saat ini sangat babak belur, disalahgunakan, dieksploitasi, tercemar, dan tak dapat menahan beban sebagai ibu lagi. Ibu Bumi selalu memaafkan meski manusia tak paham kesakitan yang dirasakannya.

Analogi “bumi sebagai kekasih” dianggap lebih tepat. Sebab, kekasih pasti akan minta putus ketika disakiti pasangannya. Si pasangan akan berusaha untuk tak menyakiti kekasihnya.

“Bumi adalah kami, dengan kelezatan sensual yang melimpah, kecantikan yang menakjubkan. Dia ajaib, misterius, montok, mengasyikkan, dan tak terduga.”

Baca juga: Peringatan Hari-hari Lingkungan

infografik bercinta dengan alam

Sebagai akademisi, Annie dan Elizabeth juga mengampanyekan ekoseksual dengan beragam kajian. Mereka membuat proyek “Love Art Laboratory” sebagai manifestasi kegelisahan terhadap kekerasan perang, gerakan anti-gay, ketakutan, dan keserakahan berlebihan di alam. Ekoseksual juga dibuat bersinggungan dengan budaya, seni, teori, praktik, dan aktivisme.

Pertunjukan seni mereka melibatkan ribuan kolaborator dan partisipan di delapan negara. Mereka melakukan kampanye gerakan jalan kaki, membuat instalasi seni visual, dan tengah menyelesaikan film tentang penghancuran pertambangan batu bara di Appalachia. Para penganut ekoseksual berkomitmen melakukan aktivitas daur-ulang, menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersih-bersih pantai, dan rajin berjalan kaki.

Annie mengatakan bahwa penganut ekoseksual melakukan hal-hal yang lazim dilakukan pasangan lainnya tentang cinta dan seks. Sekarang mereka tengah menggabungkan seni tentang lingkungan dengan cinta dan seks. Rencananya, mereka juga akan meminta tambahan huruf “E” pada ragam kecenderungan seksual “LGBTQ2I”.

Mereka juga tak segan mengajak publik untuk bergabung dengan kampanye ekoseksual dengan propaganda: “Sangat menyakitkan melihat lautan tercemar, bahan kimia mematikan, tumpukan limbah elektronik teronggok tak terpakai, pemanasan global terlalu cepat. Apa kita perlu terus menyakiti (bumi)?”

Anda tertarik dengan propaganda kaum ekoseksual?

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani