Menuju konten utama

Tanah Baduy

Perjalanan panjang merekam nusantara secara audio visual ini dimulai dari Banten. Meski bercerita tentang warga Baduy Dalam atau Urang Tangtu, namun gambar-gambar dalam episode ini direkam di luar kampung mereka karena adat melarang penggunaan listrik dan barang-barang elektronik, termasuk kamera.

Tanah Baduy
Selama dua bulan di akhir tahun 2014 Ekspedisi Indonesia Biru mempersiapkan perjalanan keliling indonesia menggunakan sepeda motor bebek bekas 150 cc keluaran tahun 2003 dan 2005. Jurnalis asal Aceh, Suparta Arz menjadi videografer dan fotografer. Sementara jurnalis Dandhy Laksono menjadi reporter merangkap penyunting gambar. Ada sekitar 18 baterai yang harus mereka isi setiap hari untuk menghidupkan aneka peralatan yang dibawa. Mereka berlatih menerbangkan drone, mencoba posisi kamera untuk perjalanan, melakukan riset, hingga mengontak calon narasumber dan kawan-kawan yang akan dilalui sepanjang perjalanan

1 Januari 2015, Ekspedisi Indonesia dimulai, dan dilepas oleh para jurnalis dari Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat.

Rute pertama mereka adalah masyarakat adat Baduy Dalam di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dari sana mereka akan mengambil rute ke timur dan mengelilingi Indonesia melawan arah jarum jam. Perjalanan ini direncanakan selama satu tahun penuh tanpa jeda, dari 1 Januari hingga 31 Desember 2015, tanpa melibatkan sponsor alias menggunakan tabungan sendiri.

Dinamakan Ekspedisi Indonesia Biru karena perjalanan ini ingin menguji konsep “ekonomi biru” di Nusantara. Sebuah gagasan yang dikenalkan oleh ekonom Belgia, Gunter Pauli --yang juga salah seorang inisiator The Huffington Post ini-- berusaha kembali kepada prinsip kelestarian lingkungan dan hukum-hukum alam dengan mengembangkan pengetahuan dan inovasi teknologi yang tepat guna. The Tasmanian Times menyebutnya sebagai “Steve Jobs-nya Kelestarian”.

Namun Ekspedisi Indonesia Biru berusaha meletakkan konsep-konsep itu dalam konteks penggalian terhadap budaya dan pengetahuan lokal. Dan pada akhirnya, berbeda dengan doktrin ekonomi konvensional yang menempatkan kemakmuran sebagai tujuan, konsep “ekonomi biru” harus terwujud menjadi keadilan sosial.

Baduy Dalam

Perjalanan panjang merekam nusantara secara audio visual ini dimulai dari Banten. Meski bercerita tentang warga Baduy Dalam atau Urang Tangtu, namun gambar-gambar dalam episode ini direkam di luar kampung mereka karena adat melarang penggunaan listrik dan barang-barang elektronik, termasuk kamera. Sebagai warga Baduy Dalam, Sapri (49) dan anaknya, Komong (8), juga pantang menggunakan alas kaki, apalagi sarana transportasi. Daftar pantangan akan semakin panjang bila kita masuk dalam sistem pertanian, arsitektur, hingga kegiatan ekonomi mereka.

Di bidang arsitektur, misalnya, rumah yang dibangun orang Baduy harus mengikuti kontur tanah. Tanah yang miring tidak boleh dibuat datar untuk landasan membangun rumah. Sehingga tonggak-tonggak rumah ada yang panjang dan pendek mengikuti kontur tanah. Sebab, mereka memiliki doktrin atau pikukuh yang menyatakan “lojor teu beunang dipotong, pendek teu benang disambung” (apa yang panjang tak boleh dipotong, yang pendek tak boleh disambung).

Begitu juga dengan sistem ekonomi yang melarang menjual hasil panen sendiri. “Itu sudah menjadi larangan adat. Dari nenek moyang. Paling bisa ditukar dengan bahan pangan lain seperti jagung. Kalau hasil bumi yang lain boleh dijual. Seperti durian, pisang, petai, atau jengkol,” papar Sapri, warga Baduy Dalam yang kisah keluarganya difilmkan ekspedisi. Tak heran bila ada gabah yang bertahan selama 22 tahun di lumbung dan tetap dapat dikonsumsi.

Berbeda halnya dengan Mursid (24) yang sejak tahun 2011 lalu keluar dari wilayah Baduy Dalam di kampung Cibeo, dan menikah serta tinggal di kawasan Baduy Luar di kampung Campaka. Warga Baduy Luar sendiri disebut Urang Panamping yang aturan-aturan adatnya lebih longgar. Misalnya, mereka telah menggunakan alat-alat elektronik dan transportasi. Mursid sendiri adalah putra salah satu tokoh adat di Baduy Dalam yang dikenal sebagai Ayah Murid. Namun ada puluhan pohon aren yang harus dikelola sebagai salah satu sumber ekonomi.

“Saya keluar dari Baduy Dalam karena ingin memiliki pergaulan luas, bisa naik mobil, dan boleh mengolah gula aren,” katanya sembari mengolah komoditasnya itu. Sebab, adat Baduy Dalam hanya membolehkan meminum air nira, tapi melarang mengolahnya menjadi gula aren.

Selain membuka warung, ekonomi keluarga Mursid yang baru memiliki satu anak ini, ditopang dari produksi gula aren yang ia jual tujuh ribu rupiah per bungkus kepada pedagang di pasar.

Di sisi lain, meski dilarang menjual beras hasil panen, warga Baduy Dalam atau Urang Tangtu hidup dari hasil hutan yang tak pernah habis sepanjang tahun. Usai musim durian, mereka akan berjalan kaki selama tiga hingga empat hari ke Jakarta untuk menjual madu hutan. (bersambung)
Baca juga artikel terkait VIDEO - TIRTO atau tulisan lainnya dari Taufik Subarkah

Editor: Taufik Subarkah