Menuju konten utama
Mozaik

Membajak Pesawat Publik demi Membebaskan Tahanan Politik

Mereka melawan sisa nazi dan imperialis. Mereka menolak kompromi, memilih jadi ekstremis. Mereka membajak pesawat demi membebaskan para tahanan politik.

Membajak Pesawat Publik demi Membebaskan Tahanan Politik
Header Mozaik Pembajakan Pesawat Lufthansa Penerbangan 181. tirto.id/Tino

tirto.id - Warsa 1970-an, berbagai negara dihadapkan pada gerakan perlawanan anti-imperialis bergaya urban. Di Timur Tengah, muncul organisasi Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) melawan Zionisme; di Irlandia, ada Tentara Republik Irlandia (IRA); di Spanyol, muncul Euskadi ta Askatasuna (ETA) demi kemerdekaan Basque; ada juga Brigade Merah di Italia yang menculik dan membunuh mantan Perdana Menteri Aldo Moro; dan di Jepang muncul Tentara Merah Jepang (JRA) pimpinan Fusako Shigenobu.

Kesamaan antara organisasi-organisasi tersebut adalah sebagai gerakan perlawanan anti-imperialis bergaya urban, berideologi kiri atau radikal, menggunakan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan kemerdekaan atau pembebasan nasional, serta beroperasi dengan metode gerilya atau sel bawah tanah demi menantang kekuatan dominan di wilayah masing-masing.

Di Jerman Barat, gerakan perlawanan gerilya kota bernama Faksi Pasukan Merah (RAF) mulai melakukan berbagai teror sejak awal kemunculannya. Pendiri utamanya antara lain Andreas Baader, Gudrun Ensslin, dan Ulrike Meinhof, serta didukung oleh Jan-Carl Raspe dan Irmgard Möller.

RAF lahir dari gelombang protes mahasiswa 1968, dipicu oleh ideologi Marxisme dan anti-imperialisme. Generasi muda ini kecewa kepada orang tua mereka yang dianggap gagal menghadapi warisan kelam Nazi. Bagi RAF, kemakmuran Jerman Barat pascaperang hanyalah kedok bagi sistem otoriter yang belum benar-benar berubah.

Pemerintah Jerman Barat di bawah Kanselir Helmut Schmidt menolak bernegosiasi dan lebih memilih sikap keras. Lantas, ketegangan meningkat. RAF mencari jalan lain dengan menggandeng PFLP yang punya jaringan dan pengalaman luas.

Tokoh sentral yang menghubungkan kedua kelompok tersebut adalah Wadie Haddad, pemimpin operasi eksternal PFLP yang menguasai strategi pembajakan pesawat dan serangan spektakuler lainnya. Haddad, seorang Palestina Kristen kelahiran Safed yang mengungsi ke Lebanon setelah perang 1948, mendirikan PFLP bersama George Habash pada 1967.

Pada 1970, para pendiri RAF melarikan diri dari penjara, kabur ke Yordania. Mereka bergabung dengan kamp pelatihan gerilya yang dikelola oleh PFLP. Pelatihan militer singkat tersebut memberikan mereka keterampilan dasar dalam penggunaan senjata, taktik gerilya, dan pembajakan.

Tahun 1977 merupakan puncak kekerasan RAF. Pada 7 April tahun itu, Jaksa Agung Federal Siegfried Buback ditembak mati bersama sopir dan pengawalnya saat berhenti di lampu merah di Karlsruhe. Buback, yang pernah menjadi anggota Nazi semasa Perang Dunia II, dianggap sebagai tokoh kunci dalam proses peradilan yang membuat para pendiri RAF dibui.

Target-target RAF sangat selektif. Mereka tidak menyerang warga sipil biasa, melainkan simbol-simbol kekuasaan. Beberapa bulan kemudian, pada 30 Juli 1977, bankir Jürgen Ponto, kepala Dresdner Bank, dibunuh di rumahnya.

Pada 5 September 1977, generasi kedua RAF menculik Hanns Martin Schleyer, mantan perwira SS Nazi yang menjadi presiden asosiasi pengusaha Jerman. Dalam serangan itu, empat orang tewas di tengah hujan peluru otomatis.

Kolaborasi RAF dan PFLP memuncak dalam pembajakan pesawat sipil pada bulan Oktober 1977. Di langit Laut Mediterania, babak paling kelam dari Deutsche Herbst (Musim Gugur Jerman) pun dimulai.

Logo RAF

Logo RAF. Rode Arme Fraksjons/RAF

Teror di Udara

Penerbangan pada Kamis, 13 Oktober 1977, seharusnya menjadi perjalanan pulang yang tenang. Pesawat Boeing 737 yang dibuat pada 1970 tersebut bernama Landshut. Penamaannya mengacu pada nama kota di Bayern. Ia lepas landas dari Palma de Mallorca menuju Frankfurt, membawa 86 penumpang. Sebagian besar wisatawan Jerman yang baru menikmati liburan di Mediterania, dan lima awak kabin.

Suasana di dalam pesawat santai, penuh obrolan ringan. Namun, tiga puluh menit setelah lepas landas, ketenangan itu runtuh. Empat militan PFLP bersenjata pistol dan bahan peledak, yang sebelumnya menyamar sebagai penumpang, bangkit dari tempat duduknya.

Mereka menyebut diri sebagai “Komando Martir Halimah”, dipimpin oleh Zohair Youssif Akache asal Palestina, yang memakai nama samaran Kapten Martir Mahmud. Tiga pembajak lainnya ialah Suhaila Sayeh (Palestina), Wabil Harb (Lebanon), dan Hind Alameh (Lebanon).

Dengan cepat, mereka menguasai pesawat. Mahmud menyerbu kokpit dengan menodongkan pistol, mengusir kopilot, dan memaksa kapten mengubah arah.

“Pistol diarahkan ke kepala Jürgen Schumann dan menendang tulang rusukku. Keluar! Keluar! Keluar!” ujar kopilot, Jürgen Vietor, mengenang awal teror lima hari itu.

Teror itu mengudara melintasi Eropa hingga Timur Tengah, tetapi sempat beberapa kali terpaksa mendarat dengan alasan keamanan. Perhentian pertama adalah Roma, Italia, untuk mengisi bahan bakar. Di sinilah tuntutan resmi pertama kali disampaikan. Para pembajak menyampaikan tuntutan pembebasan 11 anggota RAF di penjara Jerman Barat, dua militan Palestina di Turki, dan uang tebusan 15 juta dolar.

Pihak berwenang Italia, yang tidak ingin terlibat dalam krisis negara lain, memilih jalan pragmatis. Mereka memenuhi permintaan bahan bakar dan membiarkan pesawat itu pergi.

Dari Roma, pesawat terbang ke Larnaca, Siprus. Di sana, seorang utusan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mencoba bernegosiasi lewat radio, tapi Mahmud menolak mentah-mentah. Ia marah besar dan menegaskan bahwa kelompoknya beroperasi di luar kendali struktur Palestina yang lebih moderat.

Setelah ditolak di Beirut, Damaskus, dan Baghdad, Landshut akhirnya diterima di Bahrain pada dinihari 14 Oktober. Di sana, Mahmud mengancam akan menembak kopilot jika pasukan lokal tak mundur dari pengepungan pesawat. Ancaman itu berhasil. Pesawat kembali terbang, menuju Dubai.

Di Dubai, pesawat terjebak dua hari di bawah terik matahari gurun. Kabin berubah jadi ruang penyiksaan: panas, pengap, tanpa makanan dan air. Di tengah penderitaan, Kapten Schumann nekat. Ia berpura-pura merokok, lalu menjatuhkan bungkusnya ke landasan. Di dalam kertas bungkus itu tertulis informasi intelijen yang berguna memberi petunjuk penting bagi tim Jerman.

Keteledoran pembajak merembet ke soal dokumentasi. Cuaca panas memaksa para pembajak membuka pintu, memungkinkan fotografer mengambil gambar dari kejauhan.

Tragedi memuncak di Aden, Yaman Selatan. Landasan diblokir. Pesawat mendarat darurat di pasir. Kapten Schumann diizinkan keluar memeriksa pesawat, tapi keterlambatannya memicu paranoia bagi Mahmud. Saat kembali, ia langsung dieksekusi di hadapan penumpang lainnya.

Sebagai pengganti Schumann, tanggung jawab penerbangan diberikan kepada kopilot Jürgen Vietor. Ia menerbangkan pesawat menuju Mogadishu. Meski sebelumnya sudah ditawari kebebasan oleh Mahmud, Vietor menolak. Ia memilih tetap bersama para sandera.

Dengan kapten yang telah tewas dan ancaman baru yang nyata, Landshut terbang menuju Mogadishu, Somalia.

Berdasarkan laporan The New York Times terbitan 18 Oktober 1977, Pemerintah Somalia awalnya menolak izin pendaratan pesawat tersebut. Namun, akhirnya mereka mengalah ketika jet tersebut muncul di wilayah udara Somalia. Mereka takut membahayakan nyawa penumpang jika membantahnya.

Pesawat Lufthansa

Pembajakan Pesawat Lufthansa dan RAF. foto/Rode Arme Fraksjons/RAF

Di Mogadishu, teror mencapai puncaknya. Para pembajak mengeluarkan ultimatum: jika tuntutan tak dipenuhi, pesawat akan diledakkan. Mereka menyiram para sandera dengan alkohol, menyebut itu akan membuat mereka “terbakar lebih baik”.

Salah satu awak kabin sempat menyampaikan pesan terakhir ke menara kontrol: “Kami tahu ini adalah akhir”. Di dalam kabin, para sandera menunggu dalam diam, tak tahu bahwa di luar, di balik gelapnya malam Somalia, operasi penyelamatan sedang disiapkan.

Operasi Sihir Api (Feuerzauber)

Saat para sandera di Landshut menunggu dalam ketakutan, di luar, pemerintah Jerman Barat mengambil keputusan tegas. Mereka menolak tunduk kepada tuntutan pembajak. Operasi Feuerzauber diluncurkan, meski itu merupakan misi penyelamatan berisiko tinggi.

Tugas operasi jatuh ke tangan GSG 9, unit kontra-terorisme elite yang baru dibentuk setelah kegagalan tragis di Olimpiade Munich 1972. Dipimpin oleh Ulrich Wegener, GSG 9 dilatih untuk menjadi kebalikan dari kekacauan Munich. Pembajakan Landshut menjadi ujian pertama mereka. Dunia menjadi saksinya.

Dua operator Special Air Service (SAS) Inggris ikut mendampingi. Mereka memperkenalkan granat kejut yang bisa melumpuhkan orang dengan kilatan cahaya dan suara. Sementara itu, di darat, unit ranger Somalia membantu sebagai pengalih perhatian.

Malam 17 Oktober, negosiator di menara kontrol mengulur waktu dengan laporan palsu soal pembebasan tahanan RAF. Tepat pukul 00:05, 18 Oktober, operasi dimulai. Api besar dinyalakan di depan pesawat, menarik perhatian Mahmud ke kokpit. Itu jadi sinyal serangan.

Seturut harian Kompas edisi 19 Oktober 1977, pasukan anti-teroris itu menyerbu pesawat Boeing 737, mendobrak pintu pesawat dalam 3 detik menggunakan dinamit, kemudian melemparkan granat khusus yang menyilaukan mata selama 6 detik ke dalam pesawat sehingga pembajak tidak berdaya.

Dalam hitungan menit, tiga pembajak tewas, termasuk Mahmud. Pembajak keempat terluka parah. Seluruh 86 sandera selamat. Hanya satu anggota GSG 9 dan satu pramugari mengalami luka ringan.

Wegener mengirimkan kode keberhasilan lewat radio: “Frühlingszeit!” (Waktu Musim Semi!).

Hantu-Hantu Mogadishu

"Kemenangan" di Mogadishu tak bertahan lama. Saat para sandera dan tim GSG 9 kembali disambut sebagai pahlawan, Jerman Barat justru memasuki babak paling kelam dari Musim Gugur Jerman.

Pagi 18 Oktober 1977, hanya beberapa jam setelah kabar pembebasan tersiar, tiga tokoh utama RAF ditemukan tewas di sel Penjara Stammheim.

Andreas Baader terbaring di lantai dalam genangan darah dengan luka tembak di kepala, sedangkan Gudrun Ensslin ditemukan menggantung, Jan-Carl Raspe juga meninggal akibat luka tembak, sementara Irmgard Möller selamat meski terluka parah.

Kematian mereka langsung memicu kontroversi dan teori konspirasi yang bertahan hingga kini. Versi resmi pemerintah menyebutnya sebagai bunuh diri yang terkoordinasi.

Namun, narasi itu segera dipertanyakan, terutama oleh kelompok sayap kiri. Bagaimana senjata bisa masuk ke sel berkeamanan tinggi? Bagaimana mereka bisa berkoordinasi dalam isolasi total? Tak ada sidik jari di senjata. Möller bersikeras bahwa ia tidak mencoba bunuh diri dan menyebut kematian rekan-rekannya sebagai pembunuhan oleh negara.

Bagi para anggota RAF yang masih bebas, kematian para pemimpin mereka merupakan bukti pengkhianatan negara. Harapan menukar Hanns Martin Schleyer dengan kebebasan telah pupus. Ia tak lagi berguna sebagai sandera. Maka, sebagai balas dendam, Schleyer dieksekusi. Menurut majalah Tempo terbitan 5 November 1977, jenazah Schleyer ditemukan dalam bagasi mobil Audi hijau di Mulhouse, Prancis.

Dengan darah Schleyer, babak paling intens dari perang Jerman Barat melawan terorisme domestik berakhir. Peristiwa di Stammheim menodai keberhasilan Mogadishu, menutup Musim Gugur Jerman dengan bayangan gelap tak terhapuskan.

Pesawat Landshut menjadi simbol ingatan kolektif. Setelah diperbaiki, ia kembali beroperasi selama bertahun-tahun, seolah mencoba melupakan masa lalunya. Tapi setelah pensiun pada 2008, ia dibiarkan membusuk di Bandara Fortaleza, Brasil, dan perlahan menghilang dari pandangan.

Namun pada 2017, 40 tahun setelah pembajakan, pemerintah Jerman mengambil langkah simbolis. Mereka membeli kembali bangkai pesawat dan membawanya pulang. Tujuannya bukan untuk mengenang teror, tapi untuk merawat ingatan.

“Sampai hari ini, penyelamatan 'Landshut' adalah simbol hidup dari masyarakat bebas, yang tidak dapat dikalahkan oleh ketakutan dan teror, “ ujar Menteri Luar Negeri Sigmar Gabriel, dilansir oleh DW.

Baca juga artikel terkait PEMBAJAKAN PESAWAT atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin