tirto.id - Penjelasan tentang materi tata surya dipelajari dalam ilmu Geografi. Cakupan Geografi cukup luas dan beririsan dengan ilmu lain, seperti Metereologi, Hidrologi, hingga Astronomi.
Banyak teori yang berkembang dalam lingkup ilmu Geografi. Salah satu teori yang berkaitan erat dengan materi tata surya dalam Geografi ialah teori heliosentris.
Menurut asal katanya, kata ‘heliosentrik’ berasal dari bahasa Yunani, yakni ‘helios’ yang berarti ‘matahari’ dan ‘kentron’ yang berarti ‘pusat’. Dari dua arti tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa heliosentris adalah teori atau bentuk konsep yang menyatakan matahari sebagai pusat jagat raya.
Berdasarkan penjelasan Encyclopaedia Britannica, teori heliosentris menyatakan matahari sebagai pusat tata surya dan bumi serta benda langit mengelilingi matahari. Teori heliosentris dikembangkan dan dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus.
Heliosentris menjadi dasar pemahaman modern tentang alam semesta. Penjelasan tentang heliosentris kerap diajarkan dalam pelajaran Sains dan Astronomi pada berbagai jenjang pendidikan.
Lantas, bagaimana penjelasan tentang teori heliosentris? Bagaimana asal-usulnya dan pengaruhnya untuk kehidupan manusia? Simak penjelasannya dalam artikel ini.
Mengenal Teori Heliosentris
Teori heliosentris adalah teori yang menyatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya dan planet-planet lain bergerak mengelilinginya. Penemu teori heliosentris adalah Nicolaus Copernicus.
Heliosentris berbeda dari teori sebelumnya yang bernama geosentris. Geosentris mengusung konsep bahwa Bumi sebagai pusat alam semesta. Sementara itu, heliosentris menyatakan bahwa matahari sebagai pusat alam semesta.
Perbedaannya terletak pada pandangan pusat tata surya. Jika geosentris menyatakan Bumi sebagai pusat tata surya, maka heliosentris menyatakan matahari sebagai pusat tata surya.
Melansir laman National Geographic, Copernicus merupakan seorang ahli Matematika dan Astronomi abad ke-16 di era Renaisans ketika tumbuh berbagai ilmu pengetahuan modern. Teori heliosentris yang diusung oleh Copernicus menimbulkan kontroversi terhadap konsep tradisional saat itu, yakni teori geosentris yang menempatkan Bumi sebagai pusat tata surya.
Heliosentris meletakkan dasar bagi Astronomi modern. Kendati sempat ditentang oleh Gereja Katolik, tetapi teori heliosentris berhasil dibuktikan oleh Galileo Galilei dengan pengamatan melalui teleskop.
Copernicus berpijak pada pengamatannya terhadap gerak planet-planet berdasarkan karakteristik teori geosentris. Ia kemudian mengembangkan teori tersebut dengan menjelaskan cara kerja alam semesta.
Copernicus menyatakan bahwa gerakan planet dan bintang seperti mengikuti alur bola di atas bintang yang tetap dan lebih besar. Teori heliosentris menjadi dasar pengamatan dan penghitungan lintasan planet, fenomena gerhana, hingga perhitungan kalender secara akurat.
Asal-Usul Teori Heliosentris
Penemu teori heliosentris, yakni Copernicus pertama kali memperkenalkan heliosentris ecara sistematis pada abad ke-16. Copernicus menulis karya terkenal berjudul “De Revolutionibus Orbium Coelestium” (1543). Karya ini kemudian menjadi tonggak perubahan besar dalam dunia ilmu pengetahuan.
Namun, sebenarnya gagasan tentang heliosentris sebelumnya pernah muncul. Konsep ini sebelumnya dibawa oleh Aristarchus dari Samos. Ia menyatakan bahwa Bumi mengelilingi Matahari, tetapi pandangannya saat itu tidak dikenal luas.
Saat itu, teori geosentris oleh Ptolemaeus lebih dikenal umum dan teori ini juga didukung Gereja Katolik. Lain halnya dengan teori heliosentris oleh Copernicus yang sempat mendapat tantangan dari gereja. Bahkan buku karya Copernicus sempat dilarang diedarkan oleh pihak gereja.
Gagasan heliosentris yang dibawa oleh Copernicus kemudian dapat menghidupkan kembali konsep heliosentris. Pembuktian secara matematis juga mendukung keberadaan teori heliosentris. Pegerakan planet jauh lebih masuk akal jika diasumsikan bahwa matahari berada di pusat tata surya.
Temuan Copernicus tentang konsep heliosentris mampu menginspirasi ilmuwan lain untuk mengkaji tata surya. Mulai dari tokoh Galileo Galilei hingga Johannes Kepler mengembangkan dan menguatkan teori heliosentris melalui pengamatan empiris.
Tepatnya ilmuwan Galileo Galilei melakukan penelitian pada sekitar tahun 1564-1642 M, Johannes Kepler pada tahun 1571-1630 M, dan Isaac Newton pada tahun 1642-1727 M. Berbagai penelitian dan pengamatan membuktikan bahwa teori Copernicus pada akhirnya tepat dan dapat terima.
Pembuktian tersebut kemudian membuat Nicolaus Copernicus disanjung banyak orang dan dijuluki sebagai Bapak Astronomi Modern. Perjalanan teori heliosentris cukup panjang karena pada awalnya teori ini mendapatkan penolakan resmi dari gereja Katolik. Dalam perjalanannya, muncul istilah “The Copernican Revolution”.
Melansir laman The Planet, istilah tersebut mengacu pada perubahan paradigma dari alam semesta geosentris/ Ptolemeus ke tata surya heliosentris. Revolusi ini diawali dengan karya Copernicus yang kemudian diperkuat dengan pengamatan Galileo dan karya Kepler selama abad berikutnya.
Galileo melakukan pengamatan menggunakan teleskop. Kemunculan teleskop sendiri berarti bahwa para ilmuwan memiliki akses untuk melihat tata surya dan mengonfirmasi data teori-teori ini sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, karya Isaac Newton menjelang akhir abad ke-17 mampu memacu heliosentrisme modern menjadi model standar yang diterima.
Pandagan teori heliosentris yang dikuatkan John Kepler pada abad ke-16 semakin memperjelas kedudukan heliosentris. Kepler menjelaskan temuannya dalam Hukum Kepler yang isinya kurang lebih demikian:
1. Planet memiliki bentuk lintasan seperti elips dan matahari sebagai pusatnya sehingga planet dan benda langit itu mengelilingi matahari
2. Kecepatan planet saat berputar dan mengelilingi pusat tata surya dapat melambat jika titiknya berada sangat jauh dari matahari
3. Waktu yang diperlukan planet untuk mengelilingi matahari dipengaruhi oleh jaraknya. Itu artinya, semakin dekat planet tersebut, maka semakin singkat waktu yang dibutuhkan. Begitu pula sebaliknya, jika jaraknya semakin jauh, maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Pengaruh Penerapan Teori Heliosentris Terhadap Kehidupan
Sejak teori heliosentris dikemukakan, terdapat berbagai pengaruh terhadap kehidupan. Penerapan teori heliosentris tidak hanya berdampak pada bidang Astronomi, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan manusia.
Dampak yang besar terlihat ialah dalam perjalanan penjelajahan samudra. Penjelajahan samudra menjadi perjalanan yang kerap dilakukan pada abad ke-15 hingga 17.
Konsep teori heliosentris yang menyatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya dan planet lain mengitari matahari, termasuk Bumi. Bumi sebagai planet bergerak dalam sistem teratur. Pemahaman tersebut membuat pelaut dan navigator mampu merancang peta dan menghitung lintasan secara lebih akurat.
Selain itu, pandangan heliosentris menjadi dasar dari Revolusi Ilmiah di Eropa. Ilmu pengetahuan menjadi lebih bertumpu pada pengamatan dan logika, tidak semata-mata pada dogma atau kepercayaan.
Perkembangan ini mendorong kemajuan dalam Fisika, Matematika, Geografi, hingga Filsafat. Penerapan teori ini dalam dunia modern juga terus mengalami perkembangan, terutama dalam teknologi antariksa.
Tanpa konsep heliosentris, manusia tidak mungkin bisa mengirim satelit atau menjelajah luar angkasa secara presisi. Pemahaman terhadap teori heliosentris menjadi langkah penting untuk mengenal tentang cara kerja semesta dan tentang bagaimana ilmu dapat terus berkembang.
Penjelasan tentang teori heliosentris tidak hanya tentang sebagai salah satu teori Astronomi belaka, tetapi juga menandai perubahan cara berpikir terhadap alam semesta. Pemahaman teori heliosentris mampu menjadi fondasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan modern.
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Nurul Azizah & Yulaika Ramadhani