Menuju konten utama
24 Mei 1543

Nicolaus Copernicus Mengubah Pemahaman Manusia atas Alam Semesta

Membongkar nalar
sempit. Menjungkir balik
poros di langit.

Nicolaus Copernicus Mengubah Pemahaman Manusia atas Alam Semesta
Mikołaj Kopernik alias Nicolaus Copernicus (1473-1543), ilmuwan yang membantah diktum geosentrisme. tirto.id/Sabit

tirto.id - Nicolaus Copernicus mati tanpa pernah menyadari De revolutionibus, buku yang ditulisnya sejak tahun 1530-an itu, rampung dicetak. Sejak awal Desember 1542, sakit yang dideritanya semakin parah. Separuh tubuhnya lumpuh akibat stroke.

Menurut pengakuan murid dan sejawatnya sesama pegawai gereja, Tiedemann Giese, hasil cetak akhir De revolutionibus memang sampai ke tangan Copernicus pada hari kematiannya, 24 Mei 1543, tepat hari ini 475 tahun lalu. Copernicus melihat buku tersebut. Tapi, sejak beberapa hari sebelumnya, ingatan Copernicus sudah lumpuh.

Dalam karyanya yang termasyhur dan menjadi rujukan orang banyak, The Structure of Scientific Revolutions (1962), sejarawan sains Thomas Kuhn (1922-1996) membahas secara khusus mengenai apa yang disebutnya paradigm shifts, yakni ketika suatu pandangan dunia yang dominan tergantikan oleh pandangan dunia lain.

Kuhn menggambarkan kemajuan dalam sains sebagai proses variasi dan seleksi alam ala Charles Darwin. Dia tidak mengatakan bahwa peningkatan ketelitian dan kekuatan memprediksi yang dihasilkan sejumlah teori dibanding teori-teori yang dianut sebelumnya menunjukkan penggambaran realitas alam yang lebih baik. Namun, mereka dipilih dari berbagai teori yang ada oleh komunitas ilmuwan karena improvisasinya dalam penggunaan instrumen dan kemampuannya memecahkan teka-teki dalam dunia sains.

Tanpa disadari Copernicus, salah satu paradigm shifts dalam sejarah sains dipicu mula-mula oleh gagasan yang dia tulis dalam De revolutionibus: Matahari adalah pusat alam semesta, bukan Bumi seperti yang dianut kebanyakan orang Eropa pada waktu itu.

Mahasiswa Drop Out yang Gemar Mengamati Langit

Nicolaus Copernicus lahir di kota Toruń, Warmia, Polandia pada 19 Februari 1473 dengan nama Mikolaj Kopernik. Ayahnya, laki-laki yang bernama Mikolaj Kopernik juga, merupakan pedagang tembaga. Sedangkan ibunya, Barbara Watzenrode, berasal dari keluarga saudagar. Di usianya yang ke-10, Kopernik diasuh pamannya, seorang pendeta bernama Lucas Watzenrode.

Saat Copernicus berusia 18, sang paman menitahkannya untuk kuliah University of Kraków, Polandia. Belum sampai lulus, Copernicus sudah disuruh sang paman untuk melanjutkan studi hukum-hukum gereja (ilmu kanon) di University of Bologna, Italia. Sang paman berharap keponakannya itu dapat kembali ke Polandia untuk bekerja di gereja.

Namun, harapan sang paman pupus. Coperninus lagi-lagi tidak lulus. Dia lebih giat mempelajari astronomi dan matematika ketimbang hukum-hukum Gereja. Di Kraków, Copernicus bertemu astronom Albert Brudzewski. Sedangkan di Bologna, dia bertemu astronom Demonico Maria Novara.

Pada masa itu, orang-orang Eropa umumnya mempercayai konsepsi alam semesta geosentris yang dijabarkan Claudius Ptolemeus. Copernicus muda mempelajari konsepsi tersebut mula-mula melalui Brudzewski dan Novara.

Arun Bala menuliskan dalam "The Dialogical Copernican Revolution" yang dimuat di buku Asia, Europe, and the Emergence of Modern Science: Knowledge Crossing Boundaries (2012) bahwa konsepsi alam semesta Ptolemeus dibangun dalam tiga kerangka pemikiran: kosmologi Aristoteles untuk menjelaskan gerak benda, optik Plato sebagai kerangka ontologis observasi benda-benda langit, dan matematika Euclid untuk memprediksi dan menjelaskan posisi planet-planet. Aristoteles, Plato, dan Euclid merupakan tiga filsuf besar asal Yunani. Pemikiran mereka amat berpengaruh, bahkan hingga saat ini.

Lewat Almagest, Ptolemeus mengungkapkan bahwa Bumi ada di pusat alam semesta, sementara Matahari, Bulan, planet-planet lain, dan bintang-bintang berputar mengelilinginya.

Menurut Ptolemeus, planet-planet menempuh suatu lingkaran besar yang disebut deferent saat mengelilingi Bumi. Di saat yang bersamaan, planet-planet tersebut juga menempuh suatu lingkaran yang disebut epicycle.

Ukuran lingkaran epicycle lebih kecil dari deferent. Jika deferent menempatkan Bumi sebagai sumbunya, epicycle menempatkan lintasan deferent sebagai sumbunya. Gagasan dua lingkaran ini dibuat Ptolemeus guna menjelaskan gerak retrogade planet-planet. Retrogade merujuk gerak planet-planet yang kerap berbalik arah jika diamati dari Bumi: semula bergerak ke arah barat menjadi ke arah timur dan kemudian ke arah barat lagi.

Meski rumit, Associate Professor di Monash University Michael J.I. Brown mengatakan dalam artikelnya di The Conversation bahwa perhitungan yang dikembangkan Ptolemeus mampu memprediksi posisi planet-planet secara akurat. Konsepsi tersebut, selama lebih dari seribu tahun, juga menjadi alat penjelas utama cara kerja dan gerak alam semesta yang dianut orang-orang Eropa.

"Mungkin Novara yang meyakinkan Copernicus bahwa sistem Ptolemeus terlalu kompleks untuk memenuhi keharmonisan formula matematis. Dan, pasti ada cara yang lebih sederhana selain itu [untuk menjelaskan sistem alam semesta]," sebut Jerome J. Langford dalam Galileo, Science, and the Church (1966).