tirto.id - Dalam sebuah pidato di Istana Negara bertanggal 12 Juni 1958, Presiden Sukarno mengungkapkan betapa kagumnya dia kala menjadi mahasiswa Tecnische Hogeschool te Bandung (cikal bakal ITB) mendengar ceramah dua ilmuwan, Pannekoek dan Freundlich, mengenai atom.
“Ilmu pengetahuan manusia dapat memecah zat, zat dipecah menjadi molekul-molekul, molekul dipecah lagi menjadi atom-atom. Tetapi di situlah, kata dua profesor ini, batas kecerdasan otak manusia, batas kemungkinan ilmu pasti,” kenang Sukarno pada 1920-an.
Dua puluh lima tahun kemudian, pandangan Sukarno soal batas kecerdasan otak manusia berubah. Ilmu fisika, yang mempelajari reaksi dalam level subatomik, telah memungkinkan bom atom meledak di Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945.
Baca juga:Nuklir yang Penuh Kontroversi
Masih dalam pidato yang sama Sukarno mengungkapkan tanggapannya. Pidato ini dimuat dalam Buletin Perpustakaan Bung Karno. Th. V / Vol. I / 2013.
“Di Saigon kami mendengar, belum tercapai batas kemampuan ilmu pasti. Sebab ilmu pasti sekarang sudah bisa memecah atom menjadi partikel-partikel yang lebih kecil lagi, malahan bahwa ilmu pasti sekarang dengan pengetahuan ini telah bisa membuat bom yang membikin mati ratusan ribu manusia,” ujar Sukarno.
Mencari Partikel Fundamental
Gagasan mengenai materi terkecil yang tidak lagi dapat dibagi telah menjadi misteri bagi manusia sejak lampau. Orang Yunani Kuno menyebutnya atom, sedangkan orang Arab menyebutnya zarah.
Ide soal atom sebagai partikel terkecil itu bertahan hingga para peneliti di abad ke-20 mengungkap bahwa atom terdiri dari elektron, proton, dan neutron. Para peneliti kemudian juga mengungkap, baik secara teoretis maupun berdasar hasil eksperimen, keberadaan partikel fundamental yang membentuk penyusun atom dan model interaksi antar-partikel tersebut.
Dalam buku Who Cares about Particle Physics?, Pauline Gagnon menjelaskan model teoretis fisika partikel yang digunakan saat ini disebut sebagai Model Standar.
Setidaknya ada dua prinsip utama yang termaktub dalam Model Standar. Prinsip pertama menyatakan semua materi tersusun atas partikel fundamental. Pengajar fisika teoretik di Institut Teknologi Bandung (ITB) Freddy Purnama Zen menjelaskan bahwa di jagad raya ini ada dua jenis partikel fundamental yang dibedakan berdasarkan spin, yakni fermion dan boson.
Fermion merupakan partikel yang memiliki spin setengah-bulat, yakni ½, 3/2, dan 5/2, sedangkan boson memiliki spin bulat, yakni 0, 1, dan 2.
Sementara itu, prinsip kedua menyebutkan semua partikel itu berinteraksi satu sama lain dengan bertukar partikel lainnya. Freddy menjelaskan ada empat gaya interaksi di alam semesta ini yang dikenal manusia, yakni gaya interaksi lemah, gaya elektromagnetik, gaya interaksi kuat, dan gaya gravitasi. Keempat gaya ini dimediasi partikel-partikel yang digolongkan sebagai boson.
“Orang itu yakin zaman dulu, alam semesta ini satu lalu meledak. Ini yang disebut [teori] Big Bang. Artinya, gaya-gaya itu semestinya dulunya satu. Para peneliti berusaha mencari cara menyatukan keempat gaya tersebut,” ujar Freddy saat dihubungi Tirto.
Baca juga:Tanaman Tak Layu Ditinggal Mudik dengan Fisika Sederhana
Kelahiran Boson Higgs
Pada 1960-an tiga orang peneliti, Sheldon Lee Glashow, Abdus Salam, dan Steven Weinberg mengemukakan rumusan unifikasi gaya elektromagnetik dengan gaya interaksi lemah. Rumusan ini dikenal dengan nama electroweak force ini melibatkan empat boson, yakni foton yang tidak bermassa sebagai mediator gaya elektromagnetik, dan tiga partikel W-, W+, dan Z0 yang ditengarai sebagai mediator gaya interaksi lemah.
Konsep unifikasi ini menemui kendala: tidak memenuhi asas simetri dalam fisika. Foton tak bermassa, tapi kenapa boson-boson lain punya massa?
Baca juga:Abdus Salam, Ilmuwan Ahmadiyah yang Diabaikan Negara Muslim
Namun Weinberg, Glashow, dan Abdus Salam, dengan mekanisme Higgs, menemukan cara mempertahankan massa yang terkandung W-, W+, dan Z0 tanpa menghilangkan simetri.
“Ada seorang namanya Peter Higgs, fisikawan asal Inggris. Dia tidak terkenal, tetapi punya ide cemerlang. Dia menggabungkan cara membangkitkan massa W-, W+, dan Z0 dengan cara: di ground state simetri dilanggar, tetapi di level atasnya tidak dilanggar. Mekanisme itu dikenal dengan nama mekanisme Higgs,” ujar Freddy.
Dengan mekanisme Higgs, Abdus Salam, Weinberg, dan Glashow berhasil merumuskan unifikasi gaya elektromagnetik dan gaya interaksi lemah. Pada 1980-an, keberadaan W-, W+, dan Z0 berhasil disingkap. Tak lama kemudian, ketiganya diganjar hadiah Nobel Fisika.
Mekanisme Higgs juga mendeteksi keberadaan partikel baru, yakni boson Higgs. Inilah partikel fundamental skalar (spin=0) yang punya massa 126 GeV.
Sejak dirumuskan pertama kali oleh Higgs pada 1964, dan Abdus Salam dkk, keberadaan partikel tersebut baru disingkap CERN (Organisasi Eropa untuk Riset Nuklir) pada 2012. Tepat sesuai perumusan, partikel Higgs terdeteksi dengan massa 126 GeV.
Freddy mengungkapkan saat ini para peneliti berusaha merumuskan unifikasi, baik untuk tiga gaya sampai empat gaya fundamental alam semesta tersebut—konsep ini disebut juga Teori Penyatuan Besar (Grand Unified Theory).
CERN juga tengah melakukan pencarian terhadap partikel-partikel fundamental lainnya serta bereksperimen menciptakan lubang hitam mini. Seperti diucapkan Sukarno, “Belum tercapai batas kemampuan ilmu pasti.”
Ihwal Nama "Partikel Tuhan"
Boson Higgs menjadi salah satu partikel subatomik yang banyak menjadi bahan perbincangan. Partikel ini bahkan disebut sebagai partikel Tuhan oleh fisikawan Leon Lederman dalam The God Particle: If the Universe Is the Answer, What Is the Question? (1993).
Bagi Ledermen, "Boson ini sangat penting bagi ilmu fisika saat ini, sangat penting bagi pemahaman mutakhir kita tentang struktur materi, namun sangat sulit dipahami."
Namun, kata 'Tuhan' yang disematkan kepada partikel Higgs ternyata dinilai berlebihan oleh para peneliti. Bahkan Peter Higgs berharap Lederman tidak menjulukinya demikian.
"Saya harus menjelaskan kepada orang-orang bahwa itu adalah sebuah lelucon," kata Higgs kepada The Guardian, "Saya ateis, tapi saya merasa tidak nyaman bermain dengan nama yang bisa menyinggung orang-orang religius."
Meski penemunya tidak merasa cocok, toh kata 'Tuhan' itu membuat orang-orang penasaran dan kemudian mencari tahu lebih lanjut mengenai partikel Higgs di internet. Ketimbang mengetik 'Higgs boson', orang-orang cenderung mencari 'Partikel Tuhan' atau "God Particle" dalam mesin pencarian di internet.
Lederman juga menamai boson Higgs sebagai partikel Tuhan bukan karena ia religius. Tadinya, ia akan menamainya Goddamn Particle (Partikel Sialan), bukan God Particle. Mengapa sialan? Karena untuk mendeteksinya sungguh sulit.
"Perlu setengah abad dan akselerator partikel bernilai jutaan dollar untuk mendapatkannya," demikian ditulis Bussiness Insider.
Jadi, judul buku Lederman sedianya adalah "The Goddamn Particle." Namun, penerbit ternyata ogah dengan nama itu dan menyodorkan judul "The God Particle". Judul yang kemudian membangkitkan rasa penasaran orang.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani