tirto.id - “Perempuan tidak pernah berkontribusi dalam dunia sains. Sebaiknya pertimbangkan untuk segera beralih karier.”
Demikian ucap seorang laki-laki setelah Francoise Barré-Sinoussi menyatakan keinginannya untuk bergelut di bidang riset sains.
Komentar seksis di atas tidak meredupkan semangat Barré-Sinoussi.
Perempuan Prancis tersebut kelak berhasil menemukan Human Immunodeficiency Virus (HIV) sekaligus meraih Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada 2008.
Nyatanya, kegigihan merupakan faktor tak tergantikan yang mendorong setiap orang untuk bersinar dalam karier di bidang apapun, tak terkecuali STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
Dalam perjalanan hidup Rachma Wikandari, S.TP, M. Biotech, PhD, keterbatasan ekonomi bahkan tidak menghalangi usahanya untuk menjadi ilmuwan.
Perempuan yang kerap disapa Wikan ini adalah peneliti dan dosen dari Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kombinasi kerja keras dan keluarga yang suportif menjadi faktor-faktor yang turut berkontribusi mengantarkan Wikan untuk menyelesaikan studi S3 hingga menerima berbagai penghargaan dan beasiswa.
Sosok ibu, terutama, menjadi poros kehidupan Wikan dan keempat saudaranya.
Ketika Sang Ibu Menolak Tunduk Pada Keterbatasan
Data dari UNICEF mencatat tingkat kelulusan anak perempuan di semua jenjang pendidikan jauh lebih rendah dibanding laki-laki.
Termasuk dalam data tersebut adalah Sri, ibunda Wikan yang mengenyam pendidikan SMP.
Dalam wawancara dengan Diajeng pada bulan Maret lalu, Wikan bercerita, sedari dirinya kecil, sang ibu selalu mengingatkannya untuk berkuliah di kampus UGM.
Setiap tahun, ketika akan membeli baju Lebaran, mereka sekeluarga akan naik bus jalur 4 dari Bantul ke Pasar Beringharjo.
Ketika melewati bundaran UGM, sang ibu tidak lupa menunjuk bangunan ikonik Kampus Biru dan mengatakan bahwa suatu hari Wikan akan kuliah disana.
Wikan kecil menggambarkan doa sang ibu sebagai doktrin karena begitu sering diulang-ulang.
“Jadi, memang sudah didoktrin dari kecil, 'Nanti kamu harus kuliah di perguruan tinggi negeri.' Maka dari SMP sudah harus masuk sekolah favorit. Kata ibu, 'Kamu harus tahu persaingan dengan anak anak yang sekolah di kota,'” kenang Wikan tentang penuturan ibunya.
Perjuangan ibunda Wikan untuk memastikan seluruh anaknya mendapatkan akses pendidikan sungguh luar biasa.
"Kami sering berangkat dan pulang les sendiri naik bus sejauh 8 km. Pulang selepas Maghrib, turun dari bus, kami harus berjalan kaki melewati persawahan tanpa penerangan sejauh 1 km," lanjut Wikan.
"Dari situlah, kami jadi paham persaingan studi di antara anak-anak perkotaan dan juga arti perjuangan.”
Dukungan dan kasih sayang sang ibu semakin kentara ketika masa ujian sekolah tiba.
Menurut Wikan, periode tersebut kerap disebut sebagai “minggu perbaikan gizi”.
Sebab, pada waktu itulah sang ibu menyediakan makanan lezat penuh gizi untuk mendukung kondisi prima bagi semua anaknya yang sedang menjalani tes.
Wikan ingat betul, semasa kecil, konsumsi protein tinggi hanya terjadi saat dia dan saudara-saudaranya jatuh sakit atau mengikuti ujian sekolah.
Wikan menggambarkan sosok ibu sebagai individu yang memiliki visi panjang. Sang ibu tidak ingin anak-anaknya mengalami apa yang telah ia lewati.
Berkat didikan sang ibu, Wikan dan saudara-saudaranya berhasil masuk ke sekolah-sekolah favorit di Kota Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan tinggi di kampus-kampus negeri.
Kesempatan Demi Kesempatan Datang Menghampiri
Chief Editor jurnal ilmiah agriTECH ini memiliki cita-cita sederhana ketika pada 2004 silam memutuskan untuk kuliah di Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM.
Wikan berharap, setelah lulus kuliah, ia bisa bekerja di perusahaan susu.
“Awalnya, saya tertarik bekerja di industri pangan karena dari apa yang saya dengar, mereka yang kerja di pabrik makanan bisa membawa pulang produk makanan setiap hari. Bisa ambil gratis,” cerita Wikan sambil tertawa ringan.
Bagaimana dengan rencana melanjutkan jenjang pendidikan S-2? Tentu saja tidak pernah terpikir bahwa kesempatan tersebut bisa ia raih dalam waktu singkat.
Sewaktu masih duduk di bangku semester 6, Wikan ditawari oleh dosennya untuk berpartisipasi dalam sebuah penelitian yang membawanya sampai ke Swedia.
“Saya mahasiswa pertama dari Teknologi Pangan yang diberangkatkan ke Swedia tahun 2008. Saya juga menjadi mahasiswa pertama yang menulis skripsi dalam bahasa Inggris. Nah, pengalaman di Swedia itulah yang membuka peluang saya menjadi peneliti,” tambahnya.
Namun demikian, pengalaman di Swedia mengubah banyak hal.
“Setiba di Swedia, saya jadi berpikir, ‘Oh bisa juga ya melanjutkan pendidikan. Meskipun kita memiliki keterbatasan, akan selalu ada peluang lain yang bisa dicoba.’”
Perempuan asal Banguntapan ini menempuh pendidikan S2 Bioteknologi di UGM pada 2009 dan menyelesaikan tesisnya di Swedia dengan beasiswa Erasmus Mundus Euroasia.
Sebelum resmi menyandang gelar Master, kejutan lain datang. Wikan mendapatkan tawaran untuk melanjutkan studi S3 di University of Borås (2011-2014).
Di Swedia, Wikan bekerja di bawah naungan iklim riset yang ideal tanpa disparitas gender di bidang STEM. Wikan pun semakin yakin untuk menggeluti kerja-kerja ilmiah.
Jatuh Cinta pada Dunia Riset, Raih Beragam Penghargaan
Ibu dua anak ini berhasil meraih penghargaan dari The Hitachi Global Foundation Asia Innovation Award pada Februari 2025 untuk penelitiannya mengenai mikroprotein yang dikembangkan dari air rebusan kedelai.
Ini bukan penghargaan internasional pertama Wikan.
Pada tahun 2022, dia mendapatkan Young Scientist Award dari International Union of Food Science and Technology, sebuah organisasi profesi untuk ahli teknologi pangan dunia yang beranggotakan lebih dari 100 negara.
Tercatat, Wikan pernah dianugerahi Most Inspiring Lecturer dari UGM (2024), juara dua Young Scientist Award dari Indonesia Association of Food Technologies (2023), dan penghargaan publikasi berkualitas tinggi dari Kementerian Riset dan Teknologi serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (2020).
Tahun lalu, Wikan juga mendapatkan penghargaan nasional L'Oréal-UNESCO For Women in Science (2024) dengan penelitian mengenai meat analogue dari jamur tempe.
Prestasi ini semua tidak diraih secara instan.
“Selama ini kita sudah sering mengonsumsi tempe, tetapi pernahkah kita makan jamurnya saja tanpa kedelainya? Padahal jamur tempe ternyata mempunyai protein yang tinggi dan asam amino yang lengkap. Keunggulan lainnya, jamur ini mudah ditumbuhkan dan hanya membutuhkan 2 hari untuk dipanen. Saya menumbuhkan jamur di dalam reaktor diluasan 2 meter persegi saja di laboratorium. Nilai gizi yang baik, produksi yang cepat dan murah serta hemat lahan membuat jamur tempe menjadi sumber makanan baru yang menjanjikan di masa depan” terang Wikan dengan semangat.
Tahun ini, Wikan terpilih menjadi salah satu peneliti Indonesia yang mengikuti Young Scientist Program. Program yang akan berlangsung di Korea Selatan pada bulan Mei mendatang ini diselenggarkan oleh Federation of National Societies of Biochemistry and Molecular Biology, organisasi profesi di bidang biokimia dan biologi molekuler tingkat Asia dan Oceania.
Hapus Beban Ganda Perempuan STEM dengan Ekosistem Keluarga yang Suportif
Dalam banyak kasus, tumpang tindih identitas berimplikasi pada beban ganda yang harus ditanggung perempuan.
Terkadang, perempuan diharuskan untuk memilih antara karier atau keluarga, berikut berbagai opsi hitam putih lainnya.
Wikan menyadari banyak identitas yang tersemat dalam dirinya. Ia adalah seorang perempuan, ibu, anak perempuan, istri, dan juga pengajar.
Dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Wikimedia Indonesia pada 15 Maret lalu, Wikan memaparkan bagaimana beban ganda, ditumpuk dengan stereotip gender, ketimpangan karier, bias, hingga diskriminasi terkadang menjadi tantangan yang harus dihadapi banyak peneliti perempuan.
Selama berkarier menjadi seorang ilmuwan STEM, Wikan bersyukur karena mampu menghadapi tantangan tersebut berkat ekosistem di tempat kerja dan keluarga yang suportif.
Di kantornya misalnya, terdapat fasilitas family wellness dan ruang laktasi. Terkadang, sewaktu rapat-rapat kerja, terutama pada sore hari, pegawai diperbolehkan membawa anak.
Selain itu, dari keluarga, sang ayah berkontribusi banyak dalam penelitian yang Wikan lakukan.
Setelah menikah, Wikan berbagi peran dengan suami untuk mengurus rumah tangga.
Dari pengalaman sekitar, Wikan menengarai peneliti-peneliti perempuan dengan outstanding achievement adalah mereka yang mendapatkan dukungan penuh dari pasangannya.
Sebagai ibu, Wikan juga berusaha mewariskan nilai kerja keras dan pantang menyerah kepada kedua anaknya. Masing-masing saat ini berusia 4 dan 9 tahun.
Menurut Wikan, tantangan mendidik anak zaman sekarang berkaitan dengan upaya menciptakan generasi yang tangguh dan tahan banting.
Apalagi, orang tua pada masa kini cenderung tidak tega melihat anak-anaknya mengalami kesulitan sehingga mereka banyak dimanjakan dan tumbuh dengan mental yang loyo, atau kerap disebut Generasi Stroberi.
Maka dari itulah, menurut Wikan, konsep kerja keras perlu ditanamkan pada anak-anaknya.
Misalnya dengan membiasakan anak-anak menghadapi berbagai macam tantangan agar mereka kelak tumbuh dewasa dengan memiliki daya juang dan keberanian untuk mengambil keputusan terbaik.
Pandangan Wikan di atas tak lain merupakan refleksi atas perjuangannya menuntut ilmu dan berkarier selama ini.
Di balik keterbatasan-keterbatasan di hidupnya, Wikan percaya, terdapat keistimewaan yang tersembunyi, yaitu peluang yang lebih besar untuk menjadi lebih tahan banting dan kreatif dalam menyelesaikan masalah.
Ke depan, dengan pengalaman melihat dirinya melakukan penelitian dan meraih banyak apresiasi di tingkat dunia, Wikan berharap kedua anaknya dapat terinspirasi dan memilih jalan sendiri tanpa perlu dibayang-bayangi oleh bidang keilmuannya.
“Jangan ada di bayang-bayang saya. Mereka harus punya ‘warna’ sendiri,” tegas Wikan.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih