Menuju konten utama
Diajeng Berdaya

Semangat Juang Raras demi Masa Depan Minyak Atsiri "Giriwangi"

Kanker tak menghalangi tekad Raras untuk memproduksi minyak esensial berkualitas terbaik melalui industri rumahan yang sudah digelutinya selama dua dekade

Semangat Juang Raras demi Masa Depan Minyak Atsiri
Header Diajeng Raras Minyak Esensial Giriwangi. tirto.id/Quita

tirto.id - Apabila kamu mencari figur panutan yang gigih dan konsisten membangun usaha, Maria Susana Hartanti atau sering dipanggil Raras Soetoro, patut jadi salah satu pertimbangan.

Perempuan paruh baya kelahiran Tegal ini sudah menjalankan bisnis minyak atsiri—istilah populernya essential oil atau minyak esensial—selama nyaris seperempat abad.

Raras awalnya membudidayakan tanaman herbal, seperti jahe, yang dijual dalam bentuk simplisia.

Pada awal 2000-an, ketika Raras menempuh pendidikan magister manajemen agrobisnis, seorang kawan memberitahunya tentang potensi “emas hijau”—merujuk pada tanaman nilam yang melimpah di Indonesia.

Apabila disuling, nilam dapat menghasilkan minyak esensial—jenis patchouli oil—yang lazim dijadikan bahan campuran pembuatan kosmetik, farmasi, dan aromaterapi.

Sampai hari ini, Indonesia merupakan produsen utama minyak nilam yang menyuplai mayoritas kebutuhan dunia.

Terkesan dengan masa depan nilam yang menjanjikan, Raras memutuskan untuk menanamnya di atas lahan sewaan di Kalasan, Sleman.

Aktivitas bercocok tanam ini hanya dikerjakan berdua bersama sang suami, Ignatius Oki Kurniawan.

Kala itu, setiap jam delapan malam, Raras bertolak ke warnet terdekat untuk mengiklankan bahan baku nilam di situs-situs gratisan atau melalui mailing list. Ada saja yang merespons iklannya via telepon atau surel.

Header Diajeng Raras Minyak Esensial Giriwangi

Raras berjualan di teras kafe KITA by inessya di dalam kompleks pariwisata Taman Sari, Keraton Yogyakarta pada Jumat, 16 Februari 2024. tirto.id/Sekar Kinasih

Sampai tibalah Raras merasa kurang puas menjadi penyuplai bahan baku.

Oki, yang pernah menimba ilmu bioteknologi, kemudian mencoba mendesain alat penyuling sendiri. Meski terlihat ‘amburadul’, Raras dan Oki puas karena mesin pertama menghasilkan sulingan yang baik.

Seiring mereka serius mempelajari proses pengolahan minyak esensial, energi untuk budidaya nilam semakin berkurang.

“Dulu waktu kami masih muda, untuk bercocok tanam di sawah pun kami lakukan sendiri, mencangkul sendiri. Tapi lama-lama dikejar usia, buat bungkuk dan jongkok susah, sementara cari tenaga kerja muda sangat sulit. Mana ada sih anak muda mau mencangkul?”

Akhirnya, mereka tak lagi memperpanjang sewa tanah dan memutuskan untuk memasok bahan baku dari kelompok tani.

Akar wangi, misalnya, dipenuhi dari petani di Wonogiri, sementara kayu putih dari Gunung Kidul. Tanaman akar atau rimpang didapat dari daerah Samigaluh, Kulon Progo dan Borobudur, Magelang.

Selama Raras membangun bisnisnya, setidaknya sudah tiga kali ia dimintai tolong oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Yogyakarta untuk memberikan pelatihan produksi minyak esensial bagi komunitas ibu-ibu, bagian dari program pemda tentang edukasi kosmetik herbal.

Raras sendiri juga beberapa kali mengikuti pelatihan UMKM yang dipayungi oleh pihak dinas, termasuk tentang HaKI dan e-commerce.

Minyak esensial yang Raras beri nama dagang Giriwangi ini pun dapat dikategorikan sebagai UMKM angkatan awal yang difasilitasi pemda untuk memulai penjualan daring di marketplace atau e-commerce.

Sayangnya, Raras tak pernah merasa metode jualan di marketplace efektif.

“Efek marketplace buat saya nggak ada. Kalah, pokoknya kalah! Saya bingung, kalau promosi iya, selalu saya berikan promo voucher diskon… Tapi nggak ngaruh,” terangnya.

Kesulitan Raras berjualan di marketplace berkaitan dengan kompetisi harga. Berdasarkan pengamatannya, konsumen e-commerce cenderung memburu produk yang harganya murah-murah.

Di satu sisi, ia heran, bagaimana bisa produsen-produsen lain menjual minyak esensial seharga Rp15 ribu per botol kecil atau minyak pijat 1 liter seharga Rp65 ribu?

Raras hanya tertawa. Salah satu tantangan dalam menjalankan bisnisnya adalah mengedukasi publik tentang tenaga kerja yang “mahal” dalam industri minyak esensial.

Raras selalu mengingatkan mahasiswa dan anak-anak magang yang berguru padanya, “Coba secara logika: kamu kerja, memanen sendiri, itu harus dihitung cost. Terus perlakuan pascapanen, itu juga cost. Menyuling juga tenaga kerja. Terus prosesnya juga, bahan bakarnya, kita nggak pakai kayu bakar atau ban bekas. Nggak, kita pakai gas! Nah, itu juga cost.”

“Habis itu, kamu jual dengan harga berapa kalau ‘murah’? Masuk nggak?”

Raras menjelaskan, diperlukan 6-7 jam untuk proses penyulingan. Terkait bahan baku, sebagai contoh, diperlukan satu kuintal sereh untuk menghasilkan 1 kg atau 1,33 liter minyak.

Raras melanjutkan, “Orang kok bisa menganggap harganya murah. Nggak bisa dijual murah. Ya bisa kalau kami ‘nakal’. Minyak esensialnya cuma sedikit, lainnya misalnya diisi white oil atau minyak apa yang murah, atau dicampur alkohol, atau Hexylene Glycol, bahan kimia juga banyak.”

Produk yang dijual Raras beragam, dari minyak esensial untuk aromaterapi yang dapat membantu mengurangi stres, memberikan efek tenang, mengatasi insomnia, atau mendukung pertumbuhan rambut.

Ada pula produk turunan minyak untuk perawatan tubuh (deodoran, balsam oles, rose water, body mist) sampai home care (room and linen spray, lilin, pembersih alat dapur dan rumah tangga).

Tergantung dari jenis minyak yang digunakan, harga produk Giriwangi berkisar dari Rp35 ribu sampai ratusan ribu rupiah.

Header Diajeng Raras Minyak Esensial Giriwangi

Raras dan suaminya, Oki, berfoto di dekat produk minyak esensial 'Giriwangi' yang dipajang di dalam galeri kafe KITA by inessya, Yogyakarta. tirto.id/Sekar Kinasih

Menurut Raras, aktivitas berjualan di pasar offline alias bazar fisik jauh lebih menyenangkan dan “manusiawi” untuk bisnisnya.

Sejak 2010, Raras mulai rutin mengikuti kegiatan pasar komunitas. Pertama diikutinya adalah Pasar Sehat Sagan di IFI Yogyakarta (Institut français Indonésie—Lembaga Indonesia Perancis), yang kini lokasinya pindah dan berganti nama jadi Pasar Mustokoweni.

“Meskipun bazar tersebut basic-nya kuliner—yang nonkuliner hanya 2 tenant, saya dan penjual alat dapur dari kayu—tapi seneng aja. Istilahnya, yang datang ke situ bukan orang pada umumnya, melainkan orang yang ‘paham’ pada industri kami. Lebih enak kalau kita ngomong sama orang yang paham. Jadi mereka nggak mikir, kok harganya mahal banget. Enaknya di situ,” terang Raras.

Iklim demikian ditemuinya juga di Pasar Suwatu, atau ketika pihak dinas mengajaknya berjualan di pusat perbelanjaan terbesar di Yogyakarta, Pakuwon Mall Jogja. Di arena-arena yang pasarnya sudah jelas ini, dalam satu hari Raras bisa menjual antara tiga sampai lima produk.

Sebagai salah satu perintis industri rumahan minyak esensial, Giriwangi tak luput dari perhatian media massa termasuk stasiun televisi dari Jogja TV, TVRI, TransTV, sampai NHK Jepang pada 2021.

Tak sedikit yang kemudian berkunjung ke rumah Raras dan Oki, bahkan tamu dari jauh seperti Jerman, Belanda, Jepang. Selain datang untuk membeli minyak olahan Giriwangi, ada pula yang tertarik memesan alat penyuling buatan mereka karena lebih efektif dan mampu menghasilkan minyak jernih.

Selama dua kali sebelum pandemi Covid-19, produk Giriwangi berhasil lolos kurasi untuk memeriahkan pameran dan festival seni rupa kontemporer bergengsi di Yogyakarta, Artjog.

Pada 2022, Giriwangi juga pernah lolos seleksi untuk mewakili produk Indonesia di Hannover Messe 2023, pameran industri besar tingkat dunia di Jerman yang melibatkan pemerintah Indonesia sebagai partner.

Namun, kala itu Raras tengah berjuang di rumah sakit untuk sembuh dari kanker payudara. Dengan berat hati, Raras terpaksa mengundurkan diri dari Hannover Messe. Selama beberapa waktu, ia dan Oki fokus pada pengobatan dan kemoterapi.

Mereka baru kembali dapat berpartisipasi dalam pameran besar di Jakarta pada Desember tahun lalu, Brilianpreneur, yang hanya diwakili oleh Oki.

Header Diajeng Raras Minyak Esensial Giriwangi

Selain minyak esensial, 'Giriwangi' juga memproduksi lilin aromaterapi dan berbagai kebutuhan perawatan tubuh. tirto.id/Sekar Kinasih

Raras mengakui pasang surut dalam bisnisnya. Penjualan cenderung turun saat bulan puasa dan penerimaan siswa sekolah baru. “Harus kencang jualan sekarang buat tabungan Lebaran nanti,” ujarnya.

Beberapa kali Raras menerima ajakan ekspor. Akan tetapi, ia masih belum sanggup memenuhi permintaan dalam kuantitas besar, misalnya 100 kg minyak dalam sebulan, karena keterbatasan modal dan investor.

Di balik ragam tantangan berbisnis, termasuk dalam kondisi pemulihan dari sakit, Raras optimis pada masa depan Giriwangi. Di samping rajin mengikuti pasar komunitas, ia juga menitipkan produknya di sejumlah galeri dan komunitas artisan yang tersebar di penjuru Yogyakarta.

“Sebagai penyintas kanker, saya sangat berterima kasih kepada pelanggan yang setia membeli produk Giriwangi. Ini semua sebagai support saya untuk bisa tetap berproduksi dan berkarya,” pungkas Raras penuh semangat.

Baca juga artikel terkait DIAJENG atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Diajeng
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Dwi Ayuningtyas