tirto.id - Satu abad sebelum munculnya era komputer, pada 1843 Ada Lovelace sudah membayangkan sebuah mesin serbaguna yang dapat diprogram untuk berhitung dan membuat sesuatu sesuai perintah seolah "menenun pola-pola aljabar bagai mesin tenun Jacquard membuat pola bunga dan dedaunan."
Ada Lovelace adalah ahli matematika yang berhasil melihat potensi komputasi dalam Analytical Engine, sebuah mesin komputer—yang jika berhasil dibuat, ukurannya bakal sebesar kamar—buatan Charles Babbage, juga seorang ahli matematika. Lovelace membuat catatan-catatan penting mengenai Analytical Engine yang diterbitkan di Taylor’s Scientific Memoirs tahun 1843. Catatannya meletakkan deskripsi mendasar mengenai bahasa pemograman dalam makna yang kita pahami hari ini.
“Analytical Engine tidak berada di posisi yang sama seperti 'mesin penghitung'…. Dalam mekanisme yang memungkinkan untuk menggabungkan bersama-sama simbol-simbol umum, dalam pengurutan dengan variasi tak terbatas, sebuah tautan yang menyatukan dibangun antara pengoperasian berbagai hal dengan proses abstrak dari sebuah cabang matematika paling abstrak. Sebuah bahasa baru yang tak terbatas dan kuat sedang dikembangkan untuk analisis di masa depan…” (“Notes by A.A.L.” dikutip dalam Fuegi, John dan Jo Francis, 2003, “Lovelace & Babbage and the Creation of the 1843 ‘Notes’”, IEEE Annals of the History of Computing, hlm. 16-26).
A.A.L. adalah inisial dari Augusta Ada Lovelace, dengan nama gadis Augusta Ada Byron, karena ia adalah putri Lord Byron, bangsawan sekaligus penyair terkenal di zaman Romantik. Lord Byron dan istrinya, Annabella Milbanke, berpisah sejak Lovelace masih orok. Dan untuk menghapus jejak Lord Byron, Annabella mendidik Lovelace dengan kecintaan terhadap sains dan ilmu teknik—apa pun dilakukan asal anaknya tidak menjadi penyair seperti bapaknya, yang menjalin hubungan gelap dengan adik tiri Annabella.
Tetapi rupanya darah seni Lord Byron tetap menitis pada Lovelace. Dalam Ada, The Enchantress of Numbers: Poetical Science, Betty A. Toole menyebutkan bahwa Lovelace berbakat menggabungkan seni dan sains. Lovelace sendiri menyebutnya sebagai “sains yang puitis”, dan kecintaannya pada matematika—dengan logika matematika yang imajinatif—menunjukkan hal tersebut. Dalam deskripsinya, “matematika sendiri merupakan suatu bahasa yang cukup untuk menyatakan fakta-fakta akbar dari alam.”
Dengan kekayaan dan kelasnya, Annabella dapat menghadirkan tutor-tutor terbaik untuk anaknya, terutama untuk matematika. Lord Byron sendiri memuji Annabella sebagai “putri jajar genjang”—merujuk pada bakat matematika Annabella. Setelah berpisah, Lord Byron memberinya sebuah julukan antagonis, “si Medea yang matematis” dan mengabadikan Annabella dalam sebuah puisi terkenal berjudul Don Juan, “Dia adalah kalkulator berjalan…”
Pada usia 17, tutor matematika Lovelace adalah ilmuwan terkenal Mary Somerville dan Charles Babbage. Ketika pada 1833 Babbage membuat prototipe Difference Engine (mesin diferensial), satu dasawarsa sebelum desain komputer Analytical Engine dibuat, Lovelace terpesona pada keindahan dan kemampuan hitung mesin tersebut. Dalam sepuluh tahun, Babbage mengembangkan desain mesin dengan gambar-gambar mekanik yang memungkinkan Lovelace memahami gagasan-gagasannya, termasuk Analytical Engine yang dilihat Lovelace memiliki potensi komputasi, jauh melebihi visi Babbage ketika mendesain mesin tersebut.
Perempuan dalam Sains, Teknologi, Ilmu Rekayasa, dan Matematika (STEM)
Dalam Notes yang dimuat di Taylor’s Scientific Memoirs, Lovelace hanya menuliskan inisial namanya. Bahkan para editor Memoirs meminta Charles Babbage supaya “secara jantan” menandatangani Notes untuk menggantikan nama Lovelace. Itulah awal mula Ada Lovelace terhapus dari sejarah komputasi dan ilmu komputer, sebagaimana nasib banyak ilmuwan perempuan lain.
Penghapusan peran perempuan dalam sains tidak sekadar memperkuat stereotipe perempuan dalam sains dan teknologi, tetapi juga berdampak pada bagaimana perempuan memiliki visi atas hidupnya dalam berkontribusi kepada masyarakat.
Pada 2010, hanya 18 persen perempuan belajar ilmu komputer. Jumlah ini anjlok pada 2014 ketika hanya 0,4 persen mahasiswi yang berencana mengambil ilmu komputer. Hasilnya tecermin jelas dalam komposisi pegawai di perusahaan-perusahaan teknologi besar. Di Google, 83 persen pegawai adalah laki-laki, dengan hanya 3 orang perempuan di jajaran eksekutif dan manajer tingkat atas. Sementara di Facebook, 85 persen staf adalah laki-laki.
Terdapat sejumlah faktor yang berkontribusi pada kecilnya jumlah perempuan dalam pekerjaan di ranah STEM (science, technology, engineering, and math). Kurangnya tokoh perempuan di dalam STEM, stereotype perempuan di ranah tersebut, dan kurangnya fleksibilitas di ranah STEM yang kurang ramah keluarga merupakan beberapa faktor penyebab. (U.S. Department of Commerce, Economics and Statistics Administration, Women in STEM: A Gender Gap to Innovation, ESA Issue Brief #04-11, August 2011).
Catatan dari Departemen Perdagangan AS tersebut selaras dengan pernyataan Reshma Saujani, pendiri Girls Who Code, sebuah program yang memiliki visi untuk menutup kesenjangan gender dalam ilmu komputer dan teknologi.
“Jika perempuan lebih sering dibahas dalam diskusi tentang komputasi, baik di buku-buku sejarah maupun di sekolah, kita sekarang tidak akan kekurangan programer perempuan. Ini sebenarnya tentang tokoh panutan. Anda tidak bisa menjadi apa yang tidak Anda lihat,” ujar Saujani.
Cara untuk mengubahnya adalah dengan mendokumentasikan secara cermat peran para ilmuwan perempuan dalam sejarah teknologi. Cara ini juga dapat mematahkan mitos bahwa perempuan tidak punya minat dalam teknologi.
Reshma Saujani sudah memulainya dengan memberi nama di ruangan kelas di Girls Who Code dengan tokoh-tokoh perempuan yang berkontribusi dalam sejarah teknologi, yaitu Ada Lovelace dan Grace Hopper—penemu bahasa pemograman COBOL pada 1959. Hari Ada Lovelace pun diperingati setiap tanggal 12 Oktober untuk mendorong perempuan lebih banyak berkiprah di ranah STEM.
Ada Lovelace meninggal pada 27 November 1852 di London pada usia 36 tahun. Kontribusinya dalam teknologi membentuk dunia kita hari ini, sebagaimana ucapan Walter Isaacson, penulis The Innovators: How a Group of Hackers, Geniuses, and Geeks Created the Digital Revolution, “Jika bukan karena Ada Lovelace, bisa jadi semua ini tidak ada,” ucapnya sembari mengangkat tangan seolah menyapu Silicon Valley di hadapannya.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi