tirto.id - Kepemimpinan Soedirman dan Oerip Soemohardjo yang terbilang singkat (kurang dari tiga tahun) di era Revolusi Indonesia menjadikan mereka tokoh yang tak lekang oleh zaman. Mereka tak sempat terpapar ideologi mencari kekuasaan yang seolah tanpa batas, sebagaimana yang terjadi pada elite TNI generasi berikutnya.
Tak lama setelah keduanya berpulang, militer melakukan eksperimen politik (praktis) dengan menodongkan moncong tank ke Istana Merdeka. Peristiwa 17 Oktober (1952) itu kelak dicatat para sejarawan sebagai tonggak keterlibatan militer di ranah politik nasional.
Setiap kombinasi pimpinan TNI adalah unik—biasa disebut sebagai eenmalig (sekali saja). Demikian pula setiap periode sejarah yang mengikutinya. Tentu kombinasi antara Soedirman (selaku Panglima Besar) dan Oerip Soemohardjo (selaku Kepala Staf Umum) meninggalkan kesan teramat dalam, mengingat mereka memimpin TNI pada episode yang paling krusial dalam sejarah Indonesia modern.
Seperti halnya dwitunggal Sukarno dan Hatta, Soedirman dan Oerip saling melengkapi tanpa harus menafikan karakter masing-masing. Secara kebetulan pula antara Soedirman dan Oerip memiliki ikatan kultural dalam tradisi militer yang membuat keduanya bisa cepat saling menyesuaikan diri. Soedirman dari Banyumas sementara Oerip dari Purworejo; dua kawasan yang dikenal sejak lama sebagai pusat rekrutmen bagi anggota KNIL (Tentara Kerajaan Hindia-Belanda).
Posisi Kepala Staf Umum
Salah satu bagian paling menarik dari pasangan Soedirman dan Oerip adalah persepsi publik yang kontras. Oerip praktis kurang dikenal. Gambaran itu bisa disaksikan di Jakarta, ibu kota negara—persisnya di Jalan Oerip Soemohardjo, seruas jalan kecil yang tak jauh dari Pasar Mester, Jatinegara. Ia sama sekali tak sebanding Jalan Soedirman di kawasan episentrum sektor jasa dan bisnis di Jakarta.
Penempatan Jalan Oerip di sebuah sudut sempit di timur Jakarta—yang bahkan tak banyak diketahui warga Jakarta—adalah simbolisasi paling pas bagi karakter Jenderal Oerip yang cenderung pendiam dan tidak suka menonjolkan diri. Kita sama sekali tak pernah tahu kapan Oerip berpidato, apalagi mendapati pidatonya dicatat sebagai peristiwa bersejarah.
Mudah-mudahan bacaan saya tidak salah. Saya belum pernah menemukan teks yang menyebutkan kapan persisnya Oerip meletakkan jabatan secara formal selaku Kepala Staf Umum (Kasum) dan kepada siapa jabatan itu diwariskan. Informasi seputar hal itu boleh dikata sangat sumir, mirip perjalanan hidup Oerip sendiri yang masih diliputi kabut misteri.
Buku Mengenal Pimpinan ABRI 1945-1990 (terbitan Mabes ABRI, 1990) memberi saya sedikit informasi tentang periode kepemimpinan Oerip. Rupanya jabatan Kasum itu tidak diberikan kepada siapa-siapa setelah Oerip pensiun. Jabatan Kasum Markas Besar dihapus. Yang muncul kemudian adalah jabatan Wakil Panglima Besar yang dijabat oleh A.H. Nasution, sementara posisi Soedirman selaku Panglima Besar tetap tidak tergantikan.
Sekadar tafsir bisa diajukan di sini. Dalam level pimpinan TNI, hanya ada dua jabatan yang mapan dari masa ke masa: Panglima TNI (termasuk Panglima Besar) dan kepala staf angkatan. Posisi di luarnya bisa muncul atau “hilang” sementara. Kira-kira fenomena seperti itulah yang menimpa Oerip. Karena otoritas sipil enggan untuk menggeser Oerip secara terbuka, mengingat figur dan perannya yang demikian besar, maka jalan tengah yang dipilih adalah meniadakan posisi Kasum.
Untuk mendampingi Soedirman sebagai orang kedua di Markas Besar, dibentuklah sebuah posisi baru yang disebut Wakil Panglima Besar Mobil. Dengan demikian, jabatan Nasution menjadi rangkap, yaitu Wakil Panglima Besar dan Komandan MBKD (Markas Besar Komando Djawa), dengan pangkat jenderal mayor (setara brigjen sekarang).
Periode singkat
Kebersamaan Soedirman dan Oerip memang tidak lama. Oerip sudah menjadi Kasum Mabes TKR (Tentara Keamanan Rakyat, nama terdahulu TNI) sejak awal kemerdekaan. Dalam posisi sebagai Kasum TKR inilah Oerip memfasilitasi pemilihan Panglima Besar pada Desember 1945 sehingga muncul nama Soedirman. Pada awal tahun 1948, Oerip sudah meletakkan jabatan sebagai Kasum TNI. Walhasil, secara efektif, kebersamaan mereka hanya dua tahun.
Kebersamaan yang singkat itu terjadi selama fase paling bergelora dalam republik yang baru saja berdiri. Di masa itu muncul masalah perbedaan strategi dalam melawan Belanda, antara pendekatan diplomasi atau cara militer. Pendekatan diplomasi dipersonifikasikan melalui dua tokoh yang kebetulan sempat menjadi perdana menteri, masing-masing Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin.
Di masa-masa pelik ini, Soedirman sempat bersepakat dengan kelompok Persatuan Perjuangan (pimpinan Tan Malaka), yang juga memiliki aspirasi pendekatan militer dalam menghadapi Belanda. Berkat kedekatan dengan kelompok PP inilah lahirlah salah satu frasa Soedirman yang paling terkenal: “Lebih baik bagi kita diatom daripada merdeka kurang dari 100 persen.”
Dalam konflik berkepanjangan antara yang pro-diplomasi dan pro-militer itu, Oerip tetap fokus membenahi pasukan dan bernegosiasi dengan pasukan paramiliter, yakni sejumlah laskar perjuangan yang jumlah personelnya seolah tak terbatas. Sementara Oerip sendiri, sebagai perwira dari produk akademi (sekolah militer KNIL), menginginkan pasukan TNI yang—dalam istilah sekarang—"efektif dan efisien." TNI, dengan jumlah personel terbatas, mesti memiliki kompetensi dalam operasi militer—kira-kira begitulah visi di kepala Oerip.
Dalam situasi penuh tekanan tersebut, baik Soedirman dan Oerip sudah beberapa kali mengajukan pengunduran diri dari jabatan pimpinan, baik secara bersamaan maupun terpisah. Bagi otoritas sipil, dalam hal ini Sukarno dan Hatta, tentu dirasa lebih mudah melepas seorang Oerip ketimbang Soedirman, yang sudah tampil sebagai bapak spiritual dan simbol pemersatu TNI.
Figur Oerip memang tidak sekuat Soedirman. Dari segi usia pun Oerip (kelahiran 1893) terhitung sudah sangat senior dibanding rata-rata elite sipil dan militer kala itu.
Banyak pihak mengingat bahwa Oerip mengalami tekanan batin yang sangat berat hingga kematiannya pada pertengahan November 1948 dalam status sebagai pensiunan Kasum. Oerip meninggal sekitar sebulan sebelum pasukan payung tentara Belanda menyerbu Yogyakarta dalam pertempuran berlarut yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer II.
Tak Perlu Monumen
Selain Oerip, TNI juga memiliki tokoh lain dengan periode sangat singkat, seperti Slamet Riyadi dan Bambang Supeno.
Slamet Riyadi dikenang sebagai pencetus pendirian Korps Baret Merah, meski sudah gugur lebih dahulu di Ambon (November 1950), jauh sebelum pasukan yang kini bernama Kopassus itu resmi berdiri pada 16 April 1952.
Sementara Bambang Supeno menjabat Wakil KSAD pada periode pertama Nasution menjabat KSAD (1950-1952). baik Nasution maupun Bambang Supeno sama-sama berpangkat kolonel, pangkat tertinggi di TNI selepas wafatnya Jenderal Soedirman.
Bambang Supeno akan selalu dikenang sebagai konseptor Sapta Marga alias sumpah prajurit TNI yang masih berlaku sampai hari ini. Bambang Supeno tersingkir sebagai dampak Peristiwa 17 Oktober 1952. Berbeda dari Nasution yang karier militernya pulih pasca-peristiwa tersebut, karier Bambang Supeno langsung tamat.
Bila salah satu indikator penghargaan kepada seorang tokoh (khususnya militer) adalah keberadaan monumen figur bersangkutan di ruang publik, belum ada monumen yang representatif bagi Oerip dan Bambang Supeno. Fakta bahwa patung diri keduanya—baik setengah badan atau seluruh badan—dipajang di lingkungan markas militer, tidak biasa dianggap sebagai monumen publik.
Figur Slamet Riyadi sudah jadi monumen di Solo, di ujung jalan yang kebetulan mengabadikan namanya. Namun, ada sedikit catatan terkait pencitraan Slamet Riyadi dalam monumen itu: Ia digambarkan dalam posisi siap menembak.
Alih-alih memberikan sentuhan keindahan bagi lingkungan di sekitar monumen, patung itu justru mengesankan tokoh yang sedang mengintimidasi warga yang melintas. Rasanya seperti mundur ke era Orde Baru ketika militer dimanfaatkan untuk menjaga kekuasaan. Padahal, patung itu dibangun di masa Reformasi dan diresmikan oleh Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat Wali Kota Solo (2007).
Dalam pembuatan patung tokoh, selalu ada rujukan yang bisa dimanfaatkan sebagai model. Patung Panglima Soedirman, misalnya, selalu digambarkan memakai mantel panjang dan blangkon. Salah satu rujukan patung itu adalah foto Sang Panglima saat menerima defile kehormatan di Yogyakarta sekembali dari perjalanan gerilya yang monumental itu. Lalu, dari mana rujukan patung Slamet Riyadi dalam posisi siap menembak?
Mengingat ketidakmatangan konsep monumen Slamet Riyadi di Solo, pendirian monumen bagi Jenderal Oerip rasanya bukan kebutuhan mendesak. Kiranya sudah sesuai dengan karakter Pak Oerip sendiri yang tidak suka menonjolkan diri. Ketiadaan monumen yang “monumental” bagi dirinya tidaklah mengurangi karisma dan nama besar Pak Oerip, baik secara personal maupun saat mendampingi Panglima Besar Jenderal Soedirman.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.