Menuju konten utama

Ironi Pencipta Sapta Marga

Kolonel Bambang Supeno pencipta Sapta Marga TNI salah satu satu dari sedikit perwira intelektual di masa awal revolusi. Tapi karir dan hidupnya ironis. Intelektualitasnya justru tak pernah bisa membawanya dalam puncak karir militer. Sebaliknya, di mana-mana ia terantuk masalah di internal Angkatan Darat. 

Ironi Pencipta Sapta Marga
Avatar Anusapati

tirto.id - Kolonel Bambang Supeno mestinya bernama Bambang Ekalaya, sebuah karakter dalam lakon Mahabarata. Pilih tanding dalam memanah hingga melampaui Arjuna, namun tak tak pernah bisa membubung tinggi karena dijegal panutannya sendiri, Durna. Hidup Supeno mirip seperti itu. Ia salah satu satu dari sedikit perwira intelektual di masa awal revolusi, tapi kelebihannya itu tak pernah bisa membawanya dalam puncak karir militer. Sebaliknya, di mana-mana ia terantuk.

Berbeda dengan perwira-perwira konseptor yang kebanyakan berpendidikan militer Belanda (TB Simatupang - KMA Bandung, Soewarto - CORO, AH Nasution - KMA Bandung, GPH Djatikusumo - CORO), Supeno (dan juga Achmad Sukendro) merintis jalur kemiliteran dari PETA. Ia mulai berdinas di Jawa Timur dan tak lama setelah pembentukan TKR karena pemikirannya yang menonjol ditarik sebagai staf di markas besar TKR di Yogyakarta.

Posisi tersebut tidaklah buruk, meski tak pegang pasukan, namun ia ikut merumuskan reorganisasi TKR/TNI, penempatan perwira komandan di daerah dan bahkan merumuskan doktrin. Ingat dengan Sapta Marga yang seolah menjadi way of life prajurit TNI hingga kini? Itulah buah karya Supeno yang penyusunannya dibantu oleh Ir Sakirman, Prof Purbacaraka dan Drs Moh Ali.

Tak cuma pintar, Supeno juga ngotot dan berani demi hal yang diyakininya. Saat KNIL dan TNI lebur menjadi APRIS, Belanda menyisipkan keharusan setiap perwira harus menjalani reduksi lewat wadah Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD). Supeno saat itu menjadi perwira yang paling vokal mengkritiknya. Baginya, reedukasi bisa melunturkan patriotisme TNI. Karena itu, ia membuat lembaga tandingan, Chandradimuka dan mensyaratkan setiap perwira lulusan SSKAD ikut kursus Chandradimuka.

Namun agaknya, sikap seperti keminter plus ngotot seperti itu tak membuat tiap orang suka. Dua kali markas besar tentara berniat menjajalnya menjadi panglima di daerah, dan dua kali pula Supeno ditolak calon anak buahnya. Tahun 1948, bersamaan dengan pencanangan program rera yang ditetapkan PM Hatta, 3 divisi yang ada di wilayah Jawa Timur akan diciutkan menjadi hanya 1 Divisi. Divisi V Ronggolawe (Cepu), Divisi VI (Mojokerto) dan DivisiVII (Malang) dilebur.

Komandan-komandannya, Kol GPH Djatikusumo, Kol Soengkono dan Kol Imam Sujai akan ditarik ke Yogya. Adapun sebagai panglima di-plot Bambang Supeno. Tapi apa lacur, peleburan ini terkatung-katung. Djatikusumo tak ada persoalan, ia manut pulang ke Yogja, namun 2 divisi lainnya menolak dengan dalih macam-macam. Sementara pada waktu bersamaan pecah peristiwa Madiun. Alih-alih kepepet, akhirnya pusat menunjuk Soengkono sebagai panglima Divisi I Jawa Timur.

Tahun 1956, hal serupa terulang. Pimpinan AD (Nasution-Zulkifli Lubis, mungkin salah satu ikhtiar untuk rujuk pasca 1952) menaruh nama Supeno sebagai Panglima Divisi Diponegoro. Warta penunjukan ini bocor ke daerah. Letkol Soeharto, sebagaimana diakui Yoga Soegomo dalam memoarnya, akhirnya menset mosi penolakan perwira terhadap penunjukan Supeno. Alasannya, kepemimpinan Supeno berpotensi menimbulkan konflik internal Kodam.

Adalah peristiwa 1952 yang dijadikan dasar. Oleh Yoga Cs, Supeno dianggap sebagai pemecah TNI. Pada waktu itu, Supeno memang tampil garang. Ia menunjukkan ketidakpuasannya pada KSAD Nasution di depan umum. Bukan itu saja, ia juga menghadap presiden dan mengirim surat ke DPR soal uneg-unegnya. DPR pun jadi turut campur. Akibatnya, Nasution marah besar. Supeno dipecat dan Nasution mengumpulkan perwira pendukungnya balas menghadap Bung Karno.

Saat itu tanggal 17 Oktober 1952. Bersamaan dengan menghadapnya Nasution Cs, di luar istana ada demonstrasi yang direkayasa kubu Nasution, ditambah lagi pasukan artileri dengan meriam terkokang yang dipimpin Letkol Kemal Idris, mereka menuntut parlemen dibubarkan. Gantian, aksi ini yang membuat Soekarno murka. Nasution dicopot dan diganti dengan Kol Bambang Sugeng yang dianggap netral, sementara Supeno dipulihkan dinas militernya. Krisis ini akhirnya berakhir tahun 1955, dengan dikembalikannya jabatan KSAD kepada Nasution oleh Soekarno.

Kembali ke Supeno, hadangan Yoga cs tersebut lagi-lagi membuatnya gagal menjadi panglima. Setelah itu posisinya tidak cukup jelas, sekadar mengisi posisi staf pimpinan. Nasution pun meski mengaku secara pribadi tak punya dendam pada Supeno (Ia mengaku pernah meminjamkan mobilnya pada Supeno saat Supeno butuh untuk menjemput mertuanya), pada prakteknya tak pernah menaikkan pangkat Supeno. Padahal banyak perwira yunior menjadi jenderal.

Karir Supeno sedikit terangkat begitu KSAD baru Letjen Ahmad Yani naik tahta. Oleh Yani, setelah berpulangnya Wakasad Gatot Subroto, Supeno diberi jabatan sebagai Wakasad *). Meski demikian, Yani tak kuasa juga untuk cepat-cepat memberikan pangkat jenderal. (Hal yang memang sedikit aneh, mengingat asisten Yani saja minimal berpangkat Brigjen). Yani harus mencari momentum tepat sampai anggota Wanjakti lainnya siap berdamai dengan masa lalu Supeno.

Namun untuk kesekian kali, sial bagi Supeno. Yani yang berada di belakangnya malah terbunuh dalam Gestok 1965. Ia yang praktis bukan lagi perwira yang diperhitungkan, juga ikut digulung oleh penguasa militer baru, Mayjen Soeharto. Tak jelas apa pasal yang dituduhkan padanya. Lima tahun lamanya Supeno hidup dibui, sampai akhirnya dibebaskan pada tahun 1971 dan namanya direhabilitasi kembali.

Sebetulnya, ini rehabilitasi omong kosong, karena toh ia tak mendapat ganti rugi apalagi kembali ke jabatan lama. Apalagi pembebasan itu tak berarti banyak. Jiwa dan fisik Supeno sudah terampas sejak di dalam penjara. Di rumahnya, Supeno hidup sakit-sakitan. Tiga tahun kemudian, ia meninggal dunia.

Belakangan, mungkin tersadarkan perannya sebagai pencipta doktrin Sapta Marga yang diagungkan tentara Orba, pemerintah akhirnya memberikan pangkat anumerta brigjen untuk Supeno. Ya, Supeno meraih bintang di pundaknya pada saat ia tak lagi punya nyawa.

Supeno benar-benar seperti Bambang Ekalaya, burung yang bisa terbang tinggi tapi tak pernah bisa mencapai langit karena selalu saja terhalang oleh awan.

*) Soal jabatan terakhirnya Wakasad ini sebetulnya masih memerlukan data pembanding mengingat pegangannya hanya pengakuan istrinya, Ny Sri Kusdiantinah yang mungkin saja awam istilah atau jabatan militer.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.