tirto.id - Beberapa bulan menjelang Soeharto lengser, TNI (dulunya ABRI) dipimpin duet Jenderal Wiranto (Pangab, Akmil 1968) dan Jenderal Subagyo HS (KSAD, Akmil 1970). Pasangan ini menarik karena sama-sama berlatar belakang tradisi Mataraman, sebuah kultur yang berpusat di Yogya dan Solo. Tampilnya Wiranto dan Subagyo di posisi puncak saat itu menjadi penanda dua fenomena kepemimpinan militer.
Pertama, duet Wiranto dan Subagyo HS bisa dianggap tonggak berakhirnya era tradisi elite militer Banyumasan, yang sebelumnya pernah sangat dominan.
Kedua, sebagai bagian dari tradisi Mataraman, duet Wiranto dan Subagyo sebenarnya juga pada posisi transisional. Mereka berdua adalah garda terakhir yang kemudian segera digantikan oleh “tradisi” yang lain.
Antara Banyumasan dan Mataraman
Figur terkemuka perwira tradisi Banyumasan adalah Sudirman, Gatot Soebroto, dan Oerip Soemohardjo. Tradisi Banyumasan merujuk pada wilayah eks Karesidenan Banyumas, yaitu Kota Purwokerto dan sekitarnya, yang memang sudah dikenal berbeda dari tradisi Mataraman.
Oerip berasal dari Purworejo, kota yang posisinya sedikit ke timur dari wilayah Banyumas. Namun, dalam tinjauan klasik tentang tradisi asal-usul perwira, perwira asal Purworejo dianggap sebagai bagian dari tradisi Banyumasan, meski Purworejo sejatinya juga memiliki tradisi lokal, yang biasa dikenal sebagai tradisi Bagelen.
Tradisi Banyumasan (termasuk Purworejo) memiliki posisi khas dalam sejarah kemiliteran di Tanah Air. Bisa jadi itu berkat keberadaan Gombong, kota kecamatan yang terletak antara Purwokerto dan Purworejo. Di kota ini pernah berdiri lembaga pendidikan bagi calon anggota KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda).
Keberadaan pusat latihan ini ibarat simbiosis mutualisme, mengingat wilayah Banyumas dan Purworejo, sejak lama dikenal sebagai sumber rekrutmen bagi calon anggota KNIL. Dari sinilah tradisi perwira asal Banyumas itu bermula dan pada satu masa sangat mewarnai sejarah militer Tanah Air, terutama pada unsur pimpinannya.
Soal pudarnya perwira tradisi Banyumasan, tanda-tandanya sudah tampak pasca-tragedi 1965 ketika Soeharto menggantikan Ahmad Yani sebagai KSAD (d/h Pangad). Yani berasal dari Purworejo, sementara Soeharto dari tradisi Mataraman (Yogya).
Naiknya Soeharto ibarat pedang bermata dua. Karena selain mengakhiri dominasi perwira berlatar belakang tradisi Banyumasan, ia mengakhiri dominasi perwira rumpun Siliwangi bersama figur sentralnya, A.H. Nasution.
Dading Kalbuadi Sang Kesatria Pamungkas
Ketika Soeharto berkuasa, dominasi perwira berlatar tradisi Banyumasan bisa dikatakan berakhir. Meski masih ada nama seperti Jenderal Soerono dan Letjen Soesilo Soedarman, tetapi semuanya selalu di bawah bayang-bayang Soeharto. Baru pada pertengahan dekade 1970-an, muncul perwira dengan tradisi Banyumasan yang tipikal, yaitu Dading Kalbuadi.
Mungkin sudah kehendak sejarah: Dading muncul di saat tepat ketika TNI membutuhkan komandan lapangan yang mumpuni guna memimpin operasi pendahuluan untuk menyerbu wilayah Timor Leste (d/h Timor Timur), yang bersandi Operasi Flamboyan itu.
Sejak itu, nama Dading menjadi identik dengan operasi di Timor Leste. Panglima atau komandan operasi di Timor Leste acapkali berganti, tetapi yang paling diingat publik cuma Dading Kalbuadi.
Keterlibatan Dading dalam Operasi Flamboyan (dan Seroja) semula tak lepas dari sentuhan Benny Moerdani, sahabat lamanya dari Solo. Namun, dalam perkembangannya, Dading mampu membangun reputasi sebagai panglima perang pamungkas di era Indonesia modern.
Satu catatan penting: Dading bisa menjadi jendela untuk memahami bagaimana dunia batin perwira berlatar tradisi Banyumasan bila dikaitkan perwira Mataraman.
Saat masih duduk di bangku SMP Purwokerto, Dading sudah tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM ("Indonesia Merdeka atau Mati"). Mayoritas anggota IMAM adalah pelajar yang bermukim di Purwokerto, dikenal ibu kota eks-Karesidenan Banyumas.
Satuan ini terbilang unik karena Pasukan Pelajar IMAM secara komando terpisah dari Tentara Pelajar (TP) Jateng yang berpusat di Solo di bawah pimpinan Mayor Achmadi. Rupanya hal ini sudah bagian dari semangat tradisi Banyumasan sebagai daerah “pinggiran”, yang tak selalu tunduk pada Solo dan Yogya (pusat budaya Mataraman). Nama Pasukan Pelajar IMAM kini diabadikan nama jalan pada sejumlah kota eks-karesiden Banyumas, dan tidak ditemukan di tempat lain.
“Like Father, Like Son”
Dalam militer Indonesia, tradisi berdasarkan rumpun atau primordial bisa dianggap sudah berakhir. Pudar tradisi ini terjadi secara gradual, selain karena surutnya keberadaan figur sentral sebagaimana telah dipaparkan di muka.
Faktor penentu lain adalah keberadaan sekolah perwira, misalnya Akademi Militer dan akademi bagi matra-matra lain. Proses pendidikan di Akmil dan sistem rotasi kewilayahan dalam penugasan ketika menjadi perwira tak memungkinkan lagi munculnya ikatan primordial seperti masa lalu.
Kini tradisi apa yang berkembang dalam militer?
Melihat proses promosi yang tanda-tandanya sebenarnya sudah dimulai sejak era Orde Baru, muncul tren promosi perwira dari keluarga militer. Terus terang saya belum menemukan istilah yang bagus untuk menggambarkan fenomena tersebut. Untuk sementara, saya sebut saja (tradisi) ini “like father, like son”.
Salah satu fakta pendukung untuk asumsi terbentuknya tradisi itu adalah percepatan karier Letjen TNI Andika Perkasa (Akmil 1987), menantu Letjen TNI (Purn) Hendropriyono (Akmil 1967).
Contoh lain yang juga sedang hangat dibicarakan publik adalah promosi relatif cepat bagi Brigjen Maruli Simanjuntak (Akmil 1992, Wadan Paspampres), menantu Letjen (Purn) Luhut B. Panjaitan (Akmil 1970, lulusan terbaik).
Dalam level perwira menengah, kecenderungan ini juga sudah muncul. Salah satunya ketika Brigade Infanteri 15/Kujang II (Padalarang, Bandung) dipimpin secara berturut-turut oleh anak jenderal: Kol. Inf. Iman Budiman (Akmil 1993, putera Jenderal Edie Sudrajat) dan Kol. Inf. Bagus Suryadi (Akmil 1993, putera Mayjen Purn Tayo Tarmadi).
Pertanyaan berikutnya, bagaimana persepsi kolega mereka ketika melihat realitas tersebut?
Di belahan bumi mana pun, yang namanya tradisi sulit disalahkan karena semuanya terjadi seolah-olah secara alamiah. Tradisi merupakan hasil interaksi (positif) dengan lingkungan dalam rentang relatif lama. Demikian juga soal tren mempromosikan anak (atau menantu) jenderal. Baik publik dan kolega perwira yang bersangkutan secara perlahan akan memahaminya.
Sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, ketika Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono atau Ryamizard Ryacudu memperoleh promosi demikian cepat, publik juga tidak bereaksi berlebihan. Pada titik ini dua kosa kata generik terkait mutasi perwira, yaitu legowo (besar hati) dan nasib baik, menjadi relevan.
Dua kosa kata ini masih dianggap efektif dalam meredam kemungkinan keresahan segolongan perwira atas promosi berbasis keluarga militer—setidaknya untuk sementara waktu.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.