tirto.id - Zaman telah berganti. Kini publik tak terlalu menaruh perhatian pada isu pergantian Panglima TNI—tak seperti masa Orde Baru. Itu terjadi selain peran politik TNI begitu besar di masa Orde Baru, siapa yang akan menjadi Panglima TNI selalu menjadi misteri.
Misalnya pada 1983. Tak seorang pun saat itu memperkirakan Jenderal Benny Moerdani terpilih sebagai Panglima TNI. Hal itu muncul karena Benny tak pernah menjabat panglima komando daerah militer dan belum sempat mengikuti sekolah staf dan komando Angkatan Darat.
Benar, tradisi pergantian Panglima TNI era pemerintahan Soeharto sudah menjadi dokumen sejarah yang mungkin tak bisa lagi dijadikan rujukan. Sementara kini calon Panglima TNI sudah ada regulasinya dibanding masa Orde Baru, yakni Undang-Undang TNI 2004 yang mensyaratkan Panglima TNI pernah menjabat kepala staf angkatan. Aspek misterinya, dengan kata lain, sudah jauh berkurang.
Kini kembali mengemuka diskusi soal siapa yang akan menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo (Lulusan Akademi Militer 1982). Saya memperkirakan panglima baru nanti adalah Marsekal Hadi Tjahjanto (AAU 1986) yang kini masih menjabat Kepala Staf TNI AU.
Dari segi regulasi, Marsekal Hadi sudah memenuhi syarat karena pernah menjabat kepala staf angkatan. Memang tetap ada perdebatan soal siapa yang akan menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo selain nama Marsekal Hadi. Perdebatan itu bisa diringkaskan dengan pertanyaan: Kalau bukan Marsekal Hadi, mau siapa lagi?
Kecenderungan Jokowi
Presiden Joko Widodo tentu memiliki pertimbangan jika kelak benar-benar melantik Marsekal Hadi Tjahjanto. Salah satunya soal jejak penugasan Hadi di Solo. Saat Jokowi masih menjadi Walikota Solo, Hadi (dengan pangkat Kolonel Penerbang) adalah Komandan Lanud setempat. Dengan demikian Jokowi benar-benar firm bila nanti memutuskan Hadi sebagai Panglima TNI.
Kecenderungan Jokowi memilih pejabat dengan latar belakang penugasan di Solo terlihat ketika Jokowi memilih mantan Dandim Surakarta Kol. Inf. Widi Prasetyono (Akmil 1993) sebagai ajudannya. Kolonel Widi adalah Dandim Surakarta saat Jokowi menjadi Walikota Solo. Kini Kolonel Widi sudah menjadi Danrem Solo sebagai cara mempercepat karier yang bersangkutan. Kolonel Widi termasuk lulusan Akmil 1993 gelombang pertama yang menembus posisi Danrem.
Perwira kedua yang bisa disebut adalah Brigjen Bhakti Agus Fajari (Akmil 1987) yang menjadi Danrem Padang sejak November 2015. Posisi Brigjen Bhakti Agus sebelumnya adalah Danrem Solo dengan pangkat kolonel. Brigjen Bhakti Agus Fajari baru saja diangkat sebagai Kasdam IV/Diponegoro, sebuah capaian luar biasa bagi Brigjen Bhakti Agus. Pasalnya, ia relatif tidak terlalu dikenal saat masih di level perwira menengah.
Bisa dipahami bila Presiden Jokowi berkepentingan memperkuat jaringan Solo di TNI (termasuk Polri) mengingat Jokowi sebelum menjadi Presiden relatif kurang bersentuhan dengan TNI. Berbeda dari presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang memang dibesarkan dalam institusi TNI.
Akan tetapi, dalam percaturan politik di Tanah Air, Jokowi melihat posisi TNI (khususnya Angkatan Darat) tetap penting. Pengalamannya saat menghadapi manuver Jenderal Gatot Nurmantyo tentu jadi pelajaran berharga.
Kedaulatan Maritim
Di lingkungan TNI ada pameo yang disebut “garis tangan”—maksudnya, kira-kira, karier seseorang tidak bisa diramalkan dan kemujuran menentukan. Fenomena “garis tangan” inilah yang sekarang terjadi pada Marsekal Hadi Tjahjanto dan Brigjen Bhakti Agus Fajari yang dulu nyaris tak dikenal. Kini, waktu dan nasib baik berpihak kepada mereka. Hikmah yang bisa kita ambil: Jangan sekali-sekali meremehkan seseorang hanya karena ia tidak dikenal.
Kurang dikenalnya Hadi bisa dimengerti karena ia bukanlah penerbang tempur (fighter). Penerbang tempur secara umum lebih dikenal publik karena jumlahnya lebih sedikit ketimbang penerbang transport, kecabangan tempat Hadi berasal. Selain itu penerbang tempur, khususnya yang pernah mengawaki F-16 atau Sukhoi, acapkali diberitakan media, baik saat operasi maupun demo udara.
Namun, boleh jadi ini berkah. Selain jadi penerbang transport, Hadi juga lama bertugas di Badan SAR Nasional (Basarnas). Dengan demikian, naluri Hadi dalam tugas patroli dan tanggap bencana benar-benar terasah. Frekuensi penerbangan patroli harus ditingkatkan sebagai implementasi visi poros maritim dunia.
Tugas patroli kini menjadi relevan dalam upaya mencegah penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan menjaga kedaulatan maritim. Kedaulatan maritim ini khususnya terkait kawasan Laut Cina Selatan (LCS) yang mengandung ketegangan laten. Indonesia memang tidak termasuk negara yang memiliki klaim atas LCS, tetapi secara geografis wilayahnya saling bersinggungan.
Bahkan kini muncul perkembangan baru: ketika Indonesia (melaui Kemenko Kemaritiman) merilis nama Laut Natuna Utara untuk kawasan yang selama ini dikenal sebagi LCS. Penamaan ini bisa dibaca sebagai manifestasi kedaulatan maritim, meski risikonya akan memunculkan ketegangan (baru) dengan Cina. Dan memang begitu adanya, pemerintah Cina langsung memprotes penamaan kawasan itu versi Indonesia.
Potensi ketegangan ini harus dikelola dengan baik mengingat posisi Indonesia dilematis bila berhadapan dengan Cina. Indonesia sangat tergantung pada bantuan Cina dalam proyek infrastruktur dan industri manufaktur. Beda kasus ketika RI sempat bersitegang dengan Malaysia dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat satu dekade lalu. Indonesia masih bisa percaya diri saat menghadapi Malaysia karena kekuatan (militer) berimbang. Menghadapi Cina adalah perkara lain. Cina kini telah berkembang sebagai negara super power pasca-Perang Dingin.
Pengalaman Hadi bertugas di Basarnas juga signifikan dalam konteks rentannya Indonesia di hadapan potensi bencana alam. Kelak, ketika memimpin TNI nanti, ia punya pengalaman yang cukup guna mendayagunakan kompetensi TNI dalam penanggulangan bencana alam, sebagaimana diatur dalam UU TNI pada bagian yang biasa dikenal sebagai operasi militer selain perang.
Pekerjaan dalam Relasi TNI-Polri
Secara kelembagaan TNI masih memperoleh kepercayaan publik, sebagaimana hasil survei selama ini. Masih menurut survei pula, akuntabilitas lembaga TNI masih lebih tinggi dibanding lembaga negara lain, bahkan termasuk DPR. Satu hal yang masih dikhawatirkan publik adalah hubungan TNI dan Polri yang masih naik-turun.
Salah satu pemicu ketegangan antara anggota TNI dan Polri adalah soal kesejahteraan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sumber dana bagi kesejahteraan bisa dari dua titik: legal dan grey area. Seperti kasus yang oleh TNI maupun Polri disebut "penyanderaan" di Mimika baru-baru ini.
Kini Polri-lah yang secara legal menjaga keamanan kawasan pertambangan Freeport yang sebelumnya sempat dipegang TNI. Sementara, di sisi lain, ada oknum polisi yang memperoleh dana (ilegal) karena membekingi penambang liar dari luar Papua.
Penambang liar itu pula yang tempo hari jadi subjek "operasi pembebasan". Ketika pasukan TNI AD lebih berkeringat melakukan operasi tersebut, hal ini kadang membuat kesal anggota TNI.
Tugas Marsekal Hadi Tjahjanto nanti untuk secara sejuk mengatasi potensi ketegangan seperti ini.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.