tirto.id - “Langit hitam seperti payung besar dari parasut-parasut mereka, kami tidak dapat melihat apa-apa lagi, lebih banyak dan lebih banyak lagi, beribu-ribu parasut hijau. Falintil kami menembaki mereka dan sebagian meninggal atau terluka ketika mereka menginjak tanah.”
Kalimat itu diucapkan Fatima Gusmao, istri Xanana Gusmao, kala mengingat serbuan tentara Indonesia ke Timor Lorosae melalui udara dalam sebuah operasi militer bernama ‘Seroja’. Operasi tersebut pertama kali dilancarkan pada 7 Desember 1975—tepat hari ini 42 tahun lalu—atas perintah Presiden Soeharto.
Mulanya, operasi ini dilancarkan guna memperkuat pertahanan di garis perbatasan antara Timor bagian barat yang dikuasai Indonesia dan Timor bagian timur yang sebelum 1974 dikuasai Portugis—wilayah ini disebut juga Timor Portugis. Namun, kegiatan ini berubah menjadi operasi militer gabungan seluruh angkatan, baik darat, laut, udara, dan polisi di bawah Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Seroja.
Seroja disebut sebagai operasi militer terbesar yang pernah dilakukan Indonesia. Hingga Februari 1976, ada lebih dari 30.000 tentara Indonesia di lapangan dan 60.000 orang Timor tewas (sekitar 10 persen dari populasi orang Timor).
Baca juga: Taktik Bumi Hangus dari Timor Timur Hingga Rohingya
Ada Anyelir Sebelum Seroja
Dua puluh menit setelah tengah malam, hari memasuki tanggal 25 April 1974. "Grândola, Vila Morena" mengalun menyusup ke telinga pendengar siaran radio Portugis Rádio Renascença. Lirik lagu itu pendek-pendek. Instrumen musik pengiringnya pun sederhana, cukup satu gitar akustik.
Grândola, vila morena
Terra da fraternidade
O povo é quem mais ordena
Dentro de ti, ó cidade
Namun, makna lagu tersebut tidak sesederhana musiknya. Si penggubah lagu, Zeca Afonso, adalah musisi folk Portugis yang dikenal anti kediktatoran rezim Estado Novo (negara Portugis yang baru). Rezim itu dipimpin Oliviera Salazar.
Pemutaran lagu itu juga bukan seperti lagu-lagu nasional Indonesia yang disetel berbagai stasiun televisi dan radio pada dini hari sebagai penanda berakhirnya siaran. "Grândola, Vila Morena" adalah sandi bahwa sebuah kudeta dimulai.
Dick Barbor-Might ingat peristiwa yang terjadi hari itu. Saat fajar merekah, para tentara berkumpul di jalanan Lisbon, ibukota Portugis, dengan gembira. Sementara di pasar bunga Lisbon, orang-orang menempatkan anyelir di moncong senapan tentara.
"Ada kegembiraan di jalan-jalan dalam beberapa minggu pertama. Ia dikenal sebagai Revolusi Anyelir, dan terkenal dengan kesantunannya," atase perdagangan Amerika Serikat (AS) Robert S. Pastorino menggambarkan situasi Portugis kala itu.
Baca juga:Mengenang 25 Tahun Kejahatan Indonesia di Santa Cruz
Revolusi ini bermula kala Marcello Caetano, Perdana Menteri Estado Novo setelah Salazar, menolak kemerdekaan koloni-koloni Portugis. Kebijakan Caetano memperpanjang perang antara imperium Portugis dengan milisi anti-kolonialisme di wilayah koloni. Menurut Paul Christopher Manuel dalam sebuah papernya, "Portuguese Exceptionalism and the Return to Europe", hal itu memberi tekanan besar, terutama bagi perwira militer junior.
“Banyak yang terpaksa menghabiskan sepuluh tahun atau lebih di Afrika, yang mengganggu kehidupan keluarga dan karier mereka,” sebut Manuel.
Lalu, para perwira junior berinisiatif mendirikan Movimento das Forças Armadas (MFA). Tuntutan utama mereka adalah mencabut Undang-undang 373-73. Aturan dalam undang-undang ini membuat karier militer seorang prajurit hasil wajib militer dapat melesat di atas perwira junior yang lebih lama bertugas di koloni. Dan bagi MFA, perubahan rezim adalah satu-satunya cara untuk menghapus Undang-undang 373-73, mengakhiri perang kolonial, dan menawarkan model politik baru untuk Portugis.
Ada Seroja Setelah Anyelir
Setelah Revolusi Anyelir bergulir, kekuasaan di Portugis diatur MFA melalui pemerintahan junta berjuluk "Junta de Salvação Nacional". Sedangkan di wilayah koloni terjadi eksodus besar-besaran warga Portugis. Dari Angola dan Mozambik, misalnya, ada satu juta penduduk yang melakukan eksodus.
Pemerintah baru Portugis itu pun mengakui Goa dan wilayah-wilayah kekuasan Portugis di tanah Hindustan sebagai wilayah India. Ia juga menerima klaim Benin atas São João Baptista de Ajudá.
Di Timor Lorosae, sementara itu, masyarakat terpecah. Setidaknya ada dua kelompok yang terbagi berdasarkan kepentingan politik. Pertama, mereka yang tergabung dalam União Democrática Timorense (UDT) mendukung Timor Lorosae untuk bergabung dengan Indonesia. Kelompok kedua, Fretilin, ingin Timor Lorosae merdeka sepenuhnya.
UDT terdesak dan membuat basis di Timor bagian barat yang dikuasai Indonesia. Lalu, pada 28 November 1975, Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan Timor Lorosae. Namun, selang sembilan hari berikutnya, pemerintah Indonesia melancarkan Operasi Seroja.
Setahun kemudian, pada 17 Juli 1976, pemerintah Indonesia memasukkan wilayah Timor Lorosae sebagai provinsi ke-27 bernama resmi Timor Timur. Pada masa ini, milisi pro-kemerdekaan Timor Lorosae membuat basis pertahanan di hutan dan pegunungan.
Baca juga: Timor Leste pada Masa Kolonial
Dalam sebuah kolom di Huffington Post, “Opening the Books on the Cold War”, Jose Ramos Horta (Presiden Timor Leste 2007-2012) menyatakan kehilangan tiga saudara kandungnya dalam tiga tahun pertama invasi Indonesia atas Timor Lorosae.
“Dua saudara laki-laki ditangkap, dieksekusi dengan cepat, tubuh mereka dibuang di semak-semak dan tidak pernah pulih,” ungkap Horta.
Sejak serbuan pertama pada 1975 hingga referendum rakyat Timor Lorosae pada 1999, Commission for Reception, Truth, and Reconciliation (CAVR) melaporkan, korban kematian terkait konflik setidaknya berjumlah 102.800 orang.
Dari jumlah tersebut, sekitar 18.600 orang dibunuh atau hilang. Sedangkan 84.000 orang meninggal karena kelaparan atau sakit parah.
Kekejaman itu tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh tokoh Revolusi Anyelir, Jenderal Costa Gomes.
Dalam memoarnya—ditelaah Benedict Anderson dalam “Imagining East Timor”, yang dimuat di Arena Magazine (April-Mei 1993)—Jenderal Gomes mengatakan, dia dan teman-temannya mengira bahwa Timor Lorosae akan seperti Goa di India: mudah diserap dan masuk ke dalam wilayah Indonesia yang lebih besar.
“Dia berpendapat bahwa jika saja Jakarta tidak terlalu brutal, jika Angkatan Darat Indonesia tidak terlalu menindas dan eksploitatif, tidak akan ada masalah Timor Timur saat ini. Oleh karena itu, tragedi Timor Lorosae bukanlah kesalahannya maupun kesalahan Pemerintah Portugis,” ujar Anderson.
Baca juga: Membela Timor Timur, Meretas Indonesia
Luka Tentara Seroja
Jeane Nainggolan tidak pernah melihat jasad suaminya. Laki-laki itu, Letnan D. J. Nainggolan, meninggal kala bertugas dalam unit medis Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) semasa Operasi Seroja.
“Pada awal 1979, dia hanya disodorkan sebuah peti mati yang disebut berisi jasad suaminya. Tapi dia tidak diizinkan membukanya. Bahkan sekarang, anak-anaknya hanya setengah yakin jenazahnya adalah miliknya,” sebut Garry van Klinken dalam "Indonesian Casualties in East Timor, 1975-1999: Analysis of an Official List" yang dimuat di jurnal Indonesia (Oktober 2005).
Sementara Etri Ratnasari dalam Operasi Seroja 1975-1978 Di Timor Timur: Kajian Tentang Abri-AD mencatat, pada 1975 sebanyak 147 prajurit ABRI tewas dalam Operasi Seroja. Pada 1976, angka tersebut bertambah menjadi 351 orang, disusul 242 orang pada 1977, dan 379 orang pada 1978.
Baca juga: Konco-konco Benny Moerdani dari Batujajar
Seperti halnya Timor Lorosae yang pada saat dikuasai Portugis hanya memiliki 30 km jalan beraspal, laju Operasi Seroja juga tidak selalu mulus. Dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), Salim Said mencatat, saat tiba di Dili, pasukan penerjun malah saling baku tembak.
Informasi intelijen pun tidak akurat. Misalnya, Sungai Komoro yang dikabarkan penuh buaya, nyatanya kering dan tidak berbuaya.
Selain itu, Letjen Sayidiman Surjohadiprodjo menyatakan betapa semrawutnya perencanaan Operasi Seroja. Menurutnya, ijin Operasi Seroja yang disampaikan Panglima ABRI Jenderal TNI Maraden Panggabean kepadanya adalah operasi intelijen. Namun, Benny Moerdani menyalahartikannya dengan menggelar operasi konvensional disertai operasi lintas udara.
“Kesalahan strategis dalam kampanye militer di Timor Timur dulu adalah merebut kota-kota besar dengan sangat tergesa-gesa, tanpa terlebih dahulu mengepungnya dari pedalaman atau desa-desa,” ungkap A.M. Hendropriyono, yang pernah menjadi perwira Kopassus dan bertugas di Timor Lorosae.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan