tirto.id - Apa yang membuat sebuah mobil jadi sebuah mobil? Mesinnya? Desainnya? Kemudahannya untuk dikendarai? Kenyamanannya? Atau sistem operasi yang mengendalikannya?
Semua aspek itu memang penting dalam mendefinisikan sebuah mobil. Akan tetapi, teknologi membuat peta pertarungan bergeser. Tentu, dapur pacu, desain, kenyamanan, keamanan, dan tetek bengek tradisional lain masih penting. Namun, seiring evolusi mobil menjadi software-defined vehicles (SDV), rasanya, persaingan paling sengit justru terletak pada sistem operasi.
Dari antarmuka layar sentuh hingga kendali elektronik dan pembaruan sistem over-the-air (OTA), mobil kiwari tak ubahnya komputer berjalan. Model car-as-a-platform menjadikan sektor ini jadi rebutan perusahaan teknologi, produsen mobil, bahkan pemain “baru” yang sebelumnya lebih dikenal sebagai pembuat ban. Semua berebut kendali atas OS yang menjadi jantung utama mobil modern.
Alasannya mudah ditebak: Siapa pun yang mendominasi OS mobil bukan hanya akan menguasai data dan pangsa pasar, tapi juga gerbang menuju layanan berlangganan, diagnostik waktu nyata, kendaraan otonom, hingga ekosistem mobilitas masa depan.
Lalu, siapa saja para pemain yang dimaksud?
Masuknya Big Tech ke Otomotif
Silicon Valley melihat peluang emas dari digitalisasi mobil dan langsung menerobos masuk lewat sistem hiburan di dasbor mobil. Google melangkah paling awal lewat Android Automotive OS (AAOS), sistem operasi native yang tertanam langsung dalam perangkat keras mobil, berbeda dari Android Auto yang hanya mirroring ponsel. Sistem operasi ini pertama kali digunakan pada Polestar 2 dan Volvo XC40 Recharge pada tahun 2019.
Yang membuat AAOS menonjol adalah karena ia terintegrasi penuh dengan Google Maps, Assistant, dan Play Store. Kini, GM, Ford, Renault, Honda, hingga BMW turut menggunakannya meskipun BMW memilih versi tanpa aplikasi bawaan Google.
Sementara itu, Apple mengambil jalur berbeda. Mereka sampai saat ini belum memiliki sistem seperti AAOS. Namun, aplikasi CarPlay (ekuivalen dengan Android Auto) milik Apple telah diperluas fungsinya. Versi terbaru yang diperkenalkan pada Mei 2025 menjadikan CarPlay lebih dari sekadar sistem hiburan, melainkan sistem yang bisa mengendalikan panel instrumen, AC, hingga indikator bahan bakar.
Amazon juga ikut bermain dengan cara berbeda. Mereka tidak punya sistem yang sama dengan Android Auto atau CarPlay. Namun, perusahaan milik Jeff Bezos ini punya Alexa Auto SDK, sebuah perangkat yang bisa dipergunakan untuk mengintegrasikan mobil dengan Alexa.
Bisa dibilang, pendekatan Amazon adalah Internet-of-Things (IoT), di mana mobil yang memiliki Alexa Auto SDK, dan tentunya terintegrasi dengan Alexa, bisa dihubungkan langsung dengan sistem rumah pintar. Mobil-mobil bikinan Ford, BMW, dan Stellantis kini sudah bisa dilengkapi dengan sistem IoT ini.

Gerahnya Para Pabrikan
Penetrasi Big Tech tadi pun direspons pabrikan mobil dengan perlawanan yang cukup sengit. Perlahan tapi pasti mereka meninggalkan Android dan Apple untuk mengembangkan OS-nya sendiri. Tujuannya jelas. Mereka ingin merebut kendali atas pengalaman berkendara, melindungi data pelanggan, dan menghindari cap sebagai pembuat hardware bagi perusahaan teknologi.
Tesla menjadi pionir dalam pendekatan ini. Sejak awal, mereka membangun mobil sebagai perangkat lunak berjalan, dengan sistem operasi yang mengontrol seluruh fungsi kendaraan—dari navigasi, manajemen energi, hingga hiburan dan fitur semi-otonom.
OS milik Tesla dirancang untuk arsitektur internal tanpa dukungan CarPlay atau Android Auto. Mereka ingin kendali penuh atas pengalaman pengguna, data, dan monetisasi. Hasilnya adalah sistem yang mampu menambahkan fitur baru secara over-the-air serta menjual opsi upgrade pasca-pembelian seperti “Acceleration Boost” seharga $2.000, atau bahkan paket otonomi bernilai ribuan dolar. Dan semua itu bisa dilakukan tanpa harus ke dealer atau bengkel.
Volkswagen (VW) mengambil jalur yang berbeda lewat CARIAD, divisi perangkat lunaknya yang bertujuan menyatukan seluruh sistem digital di bawah satu kerangka teknis. Dengan mencakup infotainment, pembaruan OTA, ADAS (Advanced Driver Assistance System), hingga otomasi, CARIAD menjadi fondasi digital bagi merek-merek VW Group seperti Audi, Porsche, dan SEAT.
Namun, ambisi ini tak mudah diwujudkan. Proyek yang secara resmi dimulai pada 2020 tersebut dilanda penundaan, perombakan manajemen, ketegangan internal, dan PHK massal. Namun, pada 2023, CARIAD akhirnya resmi diluncurkan.
Stellantis, sementara itu, pernah bekerja sama dengan Amazon untuk mengembangkan SmartCockpit. Akan tetapi, proyek ini layu sebelum berkembang.
Setelahnya, Stellantis menggandeng raksasa semikonduktor Taiwan, Foxconn, untuk membentuk joint venture Mobile Drive yang bakal mengembangkan OS SmartCockpit untuk semua jenama di bawah naungan Stellantis—Peugeot, Jeep, Ram, hingga Fiat. Tak cuma itu, OS ini rencananya juga bakal ditawarkan ke pabrikan lain.
Pemain yang Tak Diduga
Dalam perebutan senyap dominasi sistem operasi mobil, perhatian publik kerap tertuju pada nama-nama besar seperti Google, Apple, dan Tesla. Namun di balik layar, ada pemain lain yang justru menopang arsitektur kendaraan modern: perusahaan seperti Continental AG. Dikenal sebagai produsen ban, raksasa Jerman berusia lebih dari 150 tahun ini kini menjadi penyedia infrastruktur kunci bagi era kendaraan berbasis perangkat lunak.
Alih-alih membangun antarmuka pengguna atau ekosistem aplikasi, Continental berfokus pada lapisan terdalam: sistem embedded, middleware, dan komputer kendaraan performa tinggi yang memungkinkan OEM (Original Equipment Manufacturer) membangun OS sendiri tanpa bergantung pada Google atau Apple. Pusat dari upaya ini adalah Automotive Edge Framework, sebuah arsitektur virtualisasi yang memisahkan perangkat keras dari perangkat lunak, memungkinkan pembaruan OTA, pengolahan data real-time, dan peluncuran fitur secara modular.

Selain perangkat lunak, Continental juga menyuplai komponen kritis seperti High-Performance Computers (HPCs) untuk infotainment dan ADAS, Zone Control Units (ZCUs) untuk sensor dan aktuator, serta sistem akses digital CoSmA. Dengan mengadopsi standar AUTOSAR, mereka memastikan perangkat lunak tetap modular, lintas model, dan mudah diperbarui.
Continental tidak berniat mendominasi OS. Akan tetapi, mereka bermain di “infrastruktur pendukung”. Mereka menyediakan fondasi bagi pabrikan macam Mercedes-Benz (sistem operasi MB.OS dibangun dengan Continental sebagai penyedia backbone-nya) untuk membangun kedaulatan perangkat lunaknya sendiri.
Setidaknya hingga kini, Continental tidak mengumpulkan data, tidak menjual ke konsumen, dan tidak mengganggu identitas merek. Bisnis mereka murni B2B. Mereka memosisikan diri sebagai mitra strategis bagi produsen yang ingin lepas dari bayang-bayang Big Tech.
Pertaruhan Sebenarnya dan Masa Depan OS Otomotif
Sekilas, perang sistem operasi dalam mobil terdengar seperti soal preferensi antarmuka: apakah Anda memakai Google Maps atau Apple Music, Alexa atau sistem buatan pabrikan. Tapi di baliknya, berlangsung restrukturisasi diam-diam atas kekuatan industri otomotif. Ada pergeseran medan tempur dari dapur pacu dan desain produk ke arsitektur digital.
Yang dipertaruhkan bukan hanya kenyamanan, tetapi kepemilikan data, kedaulatan OEM, dan alur ekonomi jangka panjang. Setiap navigasi, perintah suara, atau pola mengemudi menghasilkan data bernilai tinggi yang bisa dimonetisasi lewat layanan, perawatan prediktif, atau iklan. Siapa yang mengendalikan OS, mengendalikan data. Dan siapa yang mengendalikan data, pada akhirnya mengendalikan ekosistem.
Di saat yang sama, risiko platform lock-in makin nyata. Seperti Android dan iOS dalam dunia ponsel, OS mobil bisa menciptakan ekosistem tertutup yang, dalam jangka panjang, bisa menjebak konsumen. Mobil dengan Android Automotive OS cenderung menjaga pengguna tetap dalam ekosistem Google, sementara sistem buatan pabrikan bisa sepenuhnya menolak integrasi pihak ketiga.
Perkara reparasi juga jadi isu krusial. Ketika fungsi-fungsi vital kendaraan—dari pendingin hingga rem—dikendalikan oleh kode, siapa yang boleh mengakses sistem akan menentukan siapa yang bisa memperbaiki atau memodifikasi mobil. Tanpa regulasi, pemilik bisa terjebak dalam ketergantungan digital yang panjang dan mahal.
Satu hal lain yang tak boleh dilupakan adalah potensi meledaknya mikrotransaksi. Lewat OS, fitur-fitur yang mestinya jadi fitur standar berisiko hanya bisa dinikmati dengan mikrotransaksi alias membayar ekstra. Apa yang dilakukan Tesla, misalnya, sudah menunjukkan gejala demikian. Pun demikian dengan bagaimana BMW memasarkan fiturnya.
Lalu, ke mana arah semua ini? Sejauh ini, semua skenario masih terbuka. Bisa jadi Big Tech bakal menguasai, bisa jadi OS pabrikan yang bakal jadi masa depan, dan bisa jadi pula pihak “netral” macam Continental bakal bermunculan lebih banyak seraya menjadi model industri baru. Atau, ketika konsumen pada akhirnya muak, justru mobil tanpa OS seperti bikinan Slate Auto-lah yang mendominasi masa depan.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































