Menuju konten utama
Gearbox

Kisah Mobil Tenaga Turbin yang Layu Sebelum Berkembang

Proyek mobil bermesin turbin yang dibuat Chrysler harus berakhir pada 1966 karena risikonya tidak sebanding dengan potensinya.

Kisah Mobil Tenaga Turbin yang Layu Sebelum Berkembang
Chrysler Turbine Car. FOTO/commons.wikimedia.org

tirto.id - Mungkinkah ada sebuah mobil yang digerakkan dengan mesin jet tempur dan bisa menggunakan bahan bakar apa pun mulai dari bensin, minyak goreng, parfum, sampai Cognac? Jawabannya adalah mungkin, karena mobil semacam itu sebetulnya sudah pernah diproduksi kurang lebih enam dasawarsa silam.

Pada awal dekade 1960-an, Chrysler membuat mobil persis seperti deskripsi di atas. Mobil itu benar-benar ada dan kemampuannya mengonsumsi bahan bakar apa pun—asalkan berupa cairan yang mudah terbakar, telah didemonstrasikan berulang kali. Tangki bahan bakar itu bisa diisi oleh apa saja dan mesin mobil tetap akan bisa menyala.

Chrysler Turbine Car, demikianlah mobil itu diberi nama. Mereka tidak memilih nama khusus, melainkan nama yang semata-mata mewakili nilai jual utama dari mobil tersebut, yakni mesin turbinnya. Bagi Amerika Serikat, dan khususnya bagi Chrysler, Turbine Car ketika itu merupakan sebuah perwujudan dari optimisme akan masa depan yang tak terbatas.

Pada masa tersebut, AS memang sedang memimpin perkembangan teknologi, mulai dari komputer sampai misi antariksa. Ukuran komputer mulai bisa diperkecil. Misi antariksa tak cuma soal keberhasilan meluncurkan roket, tetapi sudah sampai pada taraf bagaimana caranya mengirim manusia ke luar sana. Anehnya, mobil-mobil yang beredar kala itu justru tidak mendapat sentuhan teknologi berarti.

Bagi Chrysler, kondisi tersebut menjadi sebuah kesempatan emas. Sebagai sebuah perusahaan otomotif, mereka selalu kalah bersaing dengan dua raksasa AS, yakni General Motors dan Ford. Bahkan, saking sulitnya bersaing, Chrysler ketika itu terancam kolaps dan konstelasi otomotif AS bisa berubah dari triopoli menjadi duopoli. Jika secara volume produksi dan penjualan Chrysler tidak bisa bersaing, barangkali yang mereka butuhkan adalah sebuah lompatan teknologi.

Awalnya Begitu Mengesankan

Ide untuk mengadopsi mesin turbin ke mobil sebetulnya sudah cukup lama beredar. Secara teoretis, mesin yang menggerakkan jet tempur dan tank semestinya bisa juga digunakan untuk menggerakkan mobil. Maka, pada 1954, dipimpin oleh insinyur mesin bernama George Huebner, Chrysler memulai proyek pengembangan mobil bermesin turbin.

Ada tiga tahap yang mesti dilalui tim Chrysler sebelum akhirnya sukses memproduksi Turbine Car pada 1963. Tahap pertama, pada 1954, Huebner dkk. menguji mobil bermesin turbin secara internal dengan sebuah Plymouth Fury yang diganti mesinnya.

Kemudian, pada 1956, tim Chrysler memodifikasi satu unit Plymouth Belvedere dengan mengganti mesinnya dengan mesin turbin. Mobil ini pun sukses melahap rute New York City-Los Angeles dalam waktu empat hari tanpa hambatan berarti.

Tahap ketiga, tim Chrysler menggunakan mobil yang berbeda—Dodge Dart 1962—dengan mesin yang sudah lebih canggih. Mereka pun kembali menguji ketahanan mobil dengan melakukan perjalanan panjang dari New York City menuju Los Angeles. Meski menghadapi cuaca buruk seperti salju, hujan, dan angin kencang, Dodge Dart bermesin turbin itu sukses dikendarai sampai California tanpa halangan berarti pula.

Chrysler Turbine Car

Chrysler Turbine Car. FOTO/commons.wikimedia.org

Rangkaian kesuksesan inilah yang membuat Chrysler akhirnya berani memproduksi Turbine Car, dan mobil ini tidak sekadar mewakili terobosan teknologi. Lebih dari itu, Chrysler Turbine Car merupakan sebuah mahakarya desain.

Bodinya dibuat langsung dengan tangan di karoseri Italia, Ghia, yang telah berpengalaman menangani mobil-mobil terbaik dunia. Mobil coupe dua pintu itu kemudian diberi kelir Turbine Bronze, sebuah warna yang sengaja diciptakan khusus untuk mobil ini. Warna mobil ini pun bisa berubah-ubah tergantung arah cahaya matahari.

Dari desain mobil tersebut, barangkali yang paling menonjol adalah bagian belakangnya yang dibuat menyerupai roket. Interiornya juga elegan, diberi warna serupa dengan kelir bodi dengan aksen perak yang memberi sentuhan futuristik. Seakan-akan, siapa pun yang mengendarai mobil ini akan merasa seperti sedang mengendalikan sebuah jet pribadi.

Namun, tentu saja, keajaiban sesungguhnya ada pada bagian mesin. Ini adalah mobil pertama yang diciptakan secara khusus dengan mesin turbin. Mesin itu jauh lebih ringan dibanding mesin-mesin V8 pada era tersebut—hanya sekitar 200 kg. Komponen bergeraknya juga jauh lebih sedikit, hanya 60 bagian—jauh lebih sedikit dibanding mesin piston standar yang membutuhkan ratusan komponen bergerak.

Mesin turbin itu mampu berputar hingga 60 ribu rpm tanpa getaran seperti mesin piston. Keunggulan lainnya, mesin ini tidak membutuhkan penggantian pelumas, tidak membutuhkan sistem pendinginan, dan pembuangannya tidak menghasilkan karbon monoksida. Singkat kata, mesin ini amat sangat low maintenance.

Sifat low maintenance mesin Chrysler Turbine Car juga ditunjukkan lewat konsumsi bahan bakar. Sebelum menyelenggarakan demonstrasi publik di mana mereka menguji mesin dengan bahan bakar parfum dan Cognac, para insinyur Chrysler sudah terlebih dahulu sukses menguji mesin dengan bahan bakar solar, kerosen, minyak kacang, minyak kedelai, hingga tequila. Artinya, demonstrasi publik yang mereka lakukan bukan sekadar gimik melainkan uji coba sesungguhnya.

Di atas kertas, Chrysler Turbine Car adalah mobil paling demokratis. Ia terbebas dari keharusan untuk membeli bahan bakar yang sumbernya tentu saja berasal dari perusahaan minyak raksasa. Ia terbebas dari kekhawatiran akan kelangkaan bahan bakar. Pada masa itu, orang-orang juga masih khawatir dengan adanya penjatahan seperti pada masa perang dan Chrysler Turbine Car sukses melenyapkan kekhawatiran tersebut.

Pada 1963, Chrysler mulai melepas 50 unit Turbine Car kepada publik. Akan tetapi, mobil-mobil itu tidaklah dijual, melainkan hanya dipinjamkan secara gratis kepada keluarga-keluarga AS yang terpilih selama tiga bulan. Keluarga yang dipilih pun berbeda-beda dari sisi demografis. Ada yang tinggal di dalam kota, ada yang merupakan keluarga muda, ada pensiunan, ada pula ibu rumah tangga, dan pebisnis.

Hasilnya? Mereka semua sangat menyukai Turbine Car. Akselerasinya begitu halus. Pengemudi juga tidak perlu mengoper gigi. Getarannya sangat minim, tak seperti mesin berpembakaran internal lainnya. Cuaca juga tidak berpengaruh karena mobil ini bisa dihidupkan dalam kondisi suhu apa pun.

Chrysler Turbine Car

Chrysler Turbine Car. FOTO/commons.wikimedia.org

Akhir yang Mengenaskan

Sayangnya, apa yang terdengar seperti fantasi itu kemudian dihancurkan oleh realitas. Nyatanya, efisiensi bahan bakar Turbine Car sangatlah buruk. Untuk tiap satu liter bahan bakar, mobil itu hanya bisa menempuh jarak sekitar 5,5 km.

Tak cuma itu, gas buang dari mobil ini pun sangatlah panas, mencapai 537,8°C. Panasnya gas buang ini jelas akan membahayakan pejalan kaki atau pengendara lain yang ada di belakang mobil. Meski Chrysler sudah memasang sistem pendingin untuk gas buang, masalah tidak pernah bisa benar-benar selesai.

Persoalan berikutnya ada pada akselerasi di kecepatan rendah. Untuk kecepatan tinggi, misalnya ketika menyetir di jalan tol, Turbine Car memang luar biasa nyaman. Namun, di tengah lalu lintas yang padat, mobil ini sering harus terbatuk terlebih dahulu untuk bisa benar-benar berjalan seperti seharusnya.

Masalah tidak cuma dihadapi oleh para pengguna. Chrysler sendiri sejatinya kesulitan memproduksi Turbine Car karena biaya produksi mesin turbin memang lebih besar ketimbang mesin piston biasa. Apabila Chrysler ingin beralih seratus persen ke mesin turbin, ada biaya ratusan juta dolar yang harus mereka keluarkan dan ini adalah risiko yang terlalu berbahaya untuk diambil.

Di sisi lain, standar emisi baru kemudian muncul. Memang benar bahwa mesin turbin tidak menghasilkan karbon monoksida maupun hidrokarbon. Akan tetapi, emisi nitrogen oksidanya sangatlah besar, dan ini membuat Turbine Car tidak bisa lagi memenuhi standar yang ada. Sampai akhirnya, pada 1966, proyek ambisius ini secara resmi diakhiri. Risikonya tidak sebanding dengan potensinya.

Menariknya, karena aturan pajak terkait penjualan produk riset dan pengembangan, Chrysler jadi tidak bisa menjual Turbine Car kepada publik karena, apabila itu terjadi, mereka bakal dikenai beban pajak yang sangat tinggi. Maka, Chrysler pun tidak punya pilihan. Sebagian besar mobil eksperimen itu ditarik kembali lalu dihancurkan.

Dari total 55 unit yang pernah diproduksi, kini yang tersisa hanya sembilan. Dua unit disimpan oleh Chrysler, satu unit disimpan di Museum Henry Ford, satu unit di Museum Smithsonian, dan lima lainnya tersebar di kalangan kolektor, salah satunya komedian legendaris Jay Leno.

Kini, Chrysler Turbine Car mungkin hanya akan terdengar seperti sebuah eksperimen gagal. Akan tetapi, untuk beberapa saat, Chrysler sempat bisa menawarkan alternatif (yang tampak) nyata. Bagaimana jika mobil tidak harus seperti mobil-mobil yang ada? Bagaimana jika mesin mobil bisa dibuat lebih sederhana, bandel, dan tahan lama?

Chrysler Turbine Car, pada akhirnya, adalah perwujudan dari sebuah mimpi dan, layaknya mimpi, tidak semua menjadi kenyataan. Namun, dari mimpi itu, inspirasi akan lahir, inovasi akan tercipta, hingga akhirnya masa depan yang (semoga saja) ideal bisa tercapai. Kapankah itu semua terjadi? Entahlah. Namun, toh, tak ada yang salah dengan berharap, bukan?

Baca juga artikel terkait OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Otomotif
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi