tirto.id - Sport Utility Vehicle (SUV) merupakan simbol ketangguhan dan kekuasaan. Bodi tinggi, bongsor, dan intimidatif, membuatnya jadi pilihan orang-orang berkuasa, baik pejabat negara, bos tambang, maupun hartawan lainnya. Tak cuma itu, kesan intimidatif juga membuatnya identik dengan citra “mobil penculik” berkat gambaran dari film-film terdahulu.
Namun, SUV kini tidak lagi seeksklusif dulu. Soal harga, memang rata-ratanya masih mahal. Akan tetapi, pengguna SUV kini tidak lagi terbatas pada kalangan tertentu. Mobil jenis ini makin mudah dijumpai di jalanan, mulai dari gang sempit di perkampungan ibu kota, parkiran mal, sampai jalan tol antarkota. Dari model yang paling murah sampai versi yang paling mewah, SUV telah menjelma menjadi raja jalanan.
Tren tersebut tidak cuma berlaku di Indonesia. Kebangkitan SUV adalah fenomena global. Menurut International Energy Agency (IEA), hampir setengah (48 persen) dari seluruh mobil baru yang dijual secara global pada 2023 adalah SUV. Di Amerika Serikat, Yahoo Finance mencatat, pangsa pasar SUV telah mencapai 56,3 persen, menggusur sedan sebagai jenis mobil favorit. Hal serupa juga terjadi di Eropa, Tiongkok, India, dan Britania Raya.
Pendek kata, demam SUV sedang terjadi di mana-mana. Hal ini pun dipertegas oleh manuver jenama-jenama mewah, macam Ferrari, Lamborghini, dan Bentley, yang pada akhirnya turut bermain di segmen SUV. Jika dulu identik dengan sedan elit, kini merek-merek itu juga punya gacoan di pasar SUV.
Ferrari Purosangue, Lamborghini Urus, Bentley Bentayga, Rolls Royce Cullinan, dan Aston Martin DBX, merupakan contoh SUV super mewah yang kini tersedia di pasaran. Menariknya, SUV-SUV tersebut mampu menjadi tulang punggung ekonomi jenama-jenama besar itu.
Lamborghini Urus, misalnya, menjadi mobil terlaris Lamborghini yang membuat mereka jadi merek paling menguntungkan untuk grup Audi. Ini belum termasuk Bentley yang merupakan anggota dari grup yang sama. Bentayga, layaknya Urus, juga merupakan model Bentley terlaris. Kesuksesan mereka membuat Lamborghini dan Bentley mampu menyumbang 60 persen profit bagi grup Audi, meskipun volume penjualannya hanya 1 persen dari keseluruhan divisi.
Situasi di Indonesia
Jika dilihat angkanya secara konkret, kasus “kecanduan” SUV di Indonesia belum seakut di belahan dunia lain. Data terbaru Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan, Multi-Purpose Van (MPV) masih menjadi penguasa jalanan Indonesia. Kendati demikian, dari data yang sama bisa dilihat pula bahwa SUV sebenarnya sanggup berbicara banyak.
Dari 20 mobil terlaris di Indonesia pada 2024, delapan di antaranya berjenis SUV, yaitu Toyota Rush, Daihatsu Terios, Honda HR-V, Toyota Hilux, Suzuki XL7, Honda WR-V, Toyota Raize, dan Toyota Fortuner. Sementara itu, dari segmen kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV), empat dari 10 model terlaris pada 2024 merupakan SUV, yakni BYD Sealion 7, Chery iCar 03 (J6), Aion Hyptec, dan BYD Atto 3.
Data Gaikindo tersebut menunjukkan betapa variatifnya SUV yang laris di pasaran Indonesia. Ada yang bisa dibilang sebagai SUV kelas pemula seperti Daihatsu Terios, ada pula yang terhitung SUV mewah macam Toyota Fortuner. Hal serupa juga tampak pada segmen EV: model pemula seperti BYD Atto 3 serta model-model premium macam Aion Hyptec sama-sama masuk jajaran mobil terlaris.
Dalam analisisnya mengenai kebangkitan SUV, khususnya di Indonesia, pabrikan Tiongkok DFSK menyebut ada beberapa faktor di balik fenomena tersebut.
Pertama, orang Indonesia memang menyukai mobil tangguh yang bisa mengangkut banyak penumpang. Keberadaan SUV berkapasitas 7 penumpang, menurut DFSK, adalah alasan utama preferensi orang Indonesia mulai bergeser dari MPV ke SUV.
Faktor kedua, menurut DFSK, adalah bangkitnya kelas menengah. Di satu sisi, kelas menengah ingin menunjukkan bahwa mereka telah mulai mapan. Dulu, hal ini ditunjukkan dengan membeli mobil sedan mewah. Akan tetapi, seiring dengan makin variatifnya model SUV yang tersedia, banyak kalangan menengah memilih SUV dengan harga tak terlalu mahal untuk menunjukkan kenaikan kelas mereka.
SUV memang menawarkan value for money yang sulit ditandingi model lain. Urusan kapasitas, mereka bisa menyaingi MPV. Urusan ketangguhan, jelas SUV lebih hebat dari sedan. Soal harga? Semua ada segmen pasarnya. Untuk kelas harga mana pun, selalu ada model SUV yang mampu menggoda konsumen untuk tidak memilih MPV maupun sedan.
Itu ada hubungannya pula dengan faktor ketiga, yaitu kian maraknya SUV dengan harga terjangkau. Jika dulu SUV identik dengan mobilnya orang kaya, tidak dengan zaman sekarang. SUV kelas pemula disediakan oleh berbagai jenama, mulai dari pabrikan tradisional Jepang sampai merek-merek Tiongkok yang kini makin mudah ditemui di tanah air.
Kombinasi ketiga hal itulah yang membuat SUV menjadi primadona baru dalam lanskap otomotif Indonesia. Jika ditarik lebih jauh lagi, faktor-faktor yang sama juga membuat SUV kini menjadi penguasa pasar mobil global.
Sisi Gelap SUV
Sayangnya, di balik kemewahan, kegagahan, dan popularitasnya, SUV menyimpan beban ekologis dan sosial yang berat.
Menurut International Energy Agency, emisi CO₂ dari SUV meningkat hampir 100 juta ton hanya dalam kurun setahun pada 2023. Total emisi SUV pada tahun tersebut telah mencapai 1 miliar ton CO₂. Urusan emisi, pesaingnya bahkan bukan lagi produk setara, melainkan negara. Emisi SUV hanya kalah dari Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Rusia, sebagai polutan terbesar sejagat raya.
Jika dirata-rata, emisi CO₂ memang lebih tinggi 20 persen ketimbang mobil lainnya. Ini terjadi karena bodi SUV memang lebih bongsor dan kapasitas mesinnya rata-rata lebih besar dibanding mobil jenis lain sehingga energi yang dibutuhkan pun lebih banyak.
Selain soal emisi karbon, sisi gelap SUV ada pada risiko kecelakaan yang lebih tinggi. Pada 2010, rata-rata tinggi kap mobil ada di angka 77 cm. Pada 2024, seiring dengan makin populernya SUV, angka itu melonjak ke 84 cm. Meningkatnya ketinggian kap mobil itu berpengaruh pada berkurangnya kemampuan pengemudi melihat kondisi sekitar dan, imbasnya, risiko cedera karena tertabrak, khususnya pada anak-anak, meningkat secara signifikan.
Tertabrak oleh sebuah mobil SUV juga membuat risiko kematian lebih tinggi. Studi yang dilakukan London School of Hygiene & Tropical Medicine (LSHTM) dan Imperial College London menunjukkan, pejalan kaki atau pesepeda yang tertabrak SUV punya risiko kematian 44 persen lebih tinggi dibanding tertabrak mobil lain seperti sedan. Untuk anak-anak, risikonya bahkan 82 persen lebih besar.
Parahnya lagi, risiko besar juga dihadapi pengendara serta penumpang SUV. Menurut studi Badan Keselamatan Jalan Raya Amerika Serikat, saat terjadi kecelakaan, kans SUV untuk terguling justru lebih besar. Ini membuat mereka yang berada di dalam mobil pun lebih rentan cedera, bahkan meninggal dunia. Apalagi, menurut riset yang diterbitkan di jurnal Marketing Letters tersebut, mengemudikan mobil besar macam SUV bisa membuat orang lebih ugal-ugalan dalam berkendara.
Satu masalah besar lain yang ditimbulkan SUV adalah kemacetan. Jika Anda pernah dibikin kesal oleh Pajero atau Fortuner yang “menuh-menuhin jalan”, Anda tidak sendirian. Pasalnya, di belahan dunia mana pun, keberadaan SUV memang membuat jalanan lebih macet.
“Bodi mobil yang besar jelas memakan lebih banyak ruang di jalanan. SUV juga butuh waktu lebih lama untuk mengerem karena alasan massa dan momentum. Selain itu, data kami pun menunjukkan bahwa pengguna jalan lain cenderung memilih untuk memberi lebih banyak ruang bagi SUV yang juga berpengaruh pada kelancaran lalu lintas,” ucap David Levinson, ahli lalu lintas dari University of Sydney, seperti dikutip dari Forbes.
Akankah Dominasi SUV Berakhir?
Masalah-masalah yang ditimbulkan itu membuat sejumlah kota kini telah menerapkan kebijakan “anti-SUV”. Paris, misalnya, menerapkan kenaikan tarif parkir tiga kali lipat bagi SUV berbobot lebih dari 1,6 ton—mencapai 18 Euro per jam—sebagai bagian dari upaya regenerasi ruang publik dan perlindungan terhadap pejalan kaki. Kebijakan tersebut didukung sebagian besar warga kota.
Hal yang dilakukan kota-kota besar seperti Paris menjadi jawaban dari pertanyaan soal kelangsungan tren SUV. Meskipun saat ini tampak sulit disetop, perlahan tapi pasti jenis mobil ini bakal kehilangan popularitas. Ketika memiliki SUV dirasa tidak lagi menguntungkan, khususnya secara finansial, konsumen pun lambat laun bakal meninggalkannya.
Yang jelas, kebijakan publik dan insentif industri berperan besar dalam membentuk lanskap otomotif kita hari ini. Produsen lebih suka menjual SUV karena margin keuntungannya jauh lebih tinggi ketimbang mobil kecil. Pemerintah pun, dalam banyak kasus, gagal memberikan disinsentif yang tegas pada kendaraan-kendaraan beremisi tinggi. Akibatnya, keputusan individu sering kali terbentuk bukan dari kesadaran lingkungan, melainkan dari iklan, persepsi status, dan kemudahan cicilan.
Karena itu, masa depan SUV sangat ditentukan oleh kemauan politik, bukan semata tren pasar. Dunia kini menghadapi persimpangan pertanyaan: apakah kita terus membiarkan jalan-jalan kita didominasi oleh mobil bongsor yang menyerap sumber daya secara boros dan membahayakan pengguna jalan lain, atau kita memilih arah baru—menuju moda transportasi yang lebih ringkas, lebih bersih, dan lebih manusiawi?
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin