tirto.id - Cerita rakyat Sulawesi Tenggara merupakan bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia. Cerita rakyat ini tak hanya sebagai hiburan, tapi juga sarat akan nilai-nilai moral dan pesan kehidupan.
Cerita rakyat adalah bentuk narasi atau kisah yang berkembang secara lisan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Kisah ini diwariskan dari generasi ke generasi yang biasanya mengandung nilai-nilai moral, kearifan lokal, serta pandangan hidup masyarakat setempat.
Selain berfungsi sebagai hiburan, cerita rakyat juga berperan sebagai sarana pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan penting, misalnya nilai-nilai kejujuran, keberanian, hingga kebijaksanaan.
Setiap wilayah di Indonesia memiliki kisah atau legendanya tersendiri, termasuk cerita rakyat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Cerita rakyat ini berisi kisah tentang asal-usul daerah, gunung, atau fenomena alam tertentu yang umumnya dibalut dengan hal-hal gaib.
Kumpulan Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara
Cerita rakyat Sulawesi Tenggara hadir dalam bentuk yang beragam, mulai dari fabel hingga legenda. Meski seringkali bersifat fiktif, cerita rakyat memiliki peran penting dalam menjaga identitas budaya, sumber inspirasi literasi, serta memperkuat rasa kebersamaan dalam masyarakat.
Berikut beberapa cerita rakyat Sulawesi Tenggara yang singkat:
1. Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara La Moelu
La Moelu adalah seorang anak laki-laki miskin yang tinggal bersama ayahnya yang sudah tua renta. Saat pergi memancing, ia mendapatkan seekor ikan kecil yang bentuknya sangat indah. Sang ayah pun menyuruhnya memelihara ikan tersebut dan La Moelu menurut.Namun, ikan tersebut tumbuh menjadi ikan yang sangat besar hingga La Moelu kesulitan untuk memeliharanya. Atas saran sang ayah, La Moelu mengembalikan ikan itu ke laut. Sebelum melepasnya, La Moelu menamai ikan itu dengan sebutan Jinnande Teremombonga.
La Moelu juga berpesan, jika ia datang ke laut dan memanggil namanya, si ikan harus datang karena La Moelu akan memberinya makan. Sejak hari itu, La Moelu kerap datang ke laut dan memberi makan Jinnande Teremombonga.
Akan tetapi, ada tetangganya yang melihat ikan tersebut dan berusaha menangkapnya dengan cara memanggil nama Jinnande Teremombonga. Ikan kesayangan La Moelu tersebut akhirnya tertangkap dan dimasak oleh si tetangga tersebut.
La Moelu yang sangat sedih akhirnya hanya bisa mengubur tulang Jinnande Teremombonga di dekat rumah. Anehnya, di atas kuburan tersebut, tumbuh tanaman yang berbatang emas dan berdaun perak. Bunganya berupa intan, sedangkan buahnya adalah berlian.
La Moelu pun bisa menjual buah dan bunga dari tanaman tersebut hingga menjadi kaya raya. Ia juga tak segan membantu mereka yang sedang membutuhkan sehingga La Moelu sangat dihormati oleh warga sekitar.
Cerita rakyat Sulawesi Tenggara ini mengajarkan banyak hal-hal baik, yaitu menyayangi hewan atau sesama makhluk hidup, tidak menjadi seorang pendendam, dan selalu bermurah hati untuk menolong orang-orang yang membutuhkan.
2. Cerita Rakyat Gunung Mekongga
Negeri Sorume (sekarang Kolaka) tengah dilanda malapetaka. Seekor burung garuda raksasa mengacaukan negeri itu dan memangsa hewan-hewan ternak milik penduduk. Semua orang ketakutan, karena ketika hewan ternak sudah habis, merekalah yang nanti akan dimangsa oleh si garuda.Penduduk akhirnya takut keluar rumah. Padang Bende yang jadi pusat keramaian pun menjadi sepi. Sementara itu, terdengar kabar bahwa ada orang sakti bernama Larumbalangi dari Solumba (sekarang Belandete). Utusan dari Sorume pun pergi menemui orang sakti tersebut untuk meminta pertolongan.
Larumbalangi bersedia membantu, lalu menyuruh penduduk Sorume untuk mengumpulkan buluh bambu yang sudah tua dan membuat bambu runcing dalam jumlah banyak. Setelah itu, cari pemuda pemberani sebagai umpan. Pemuda itu nantinya harus berada di tengah padang, tapi tubuhnya dipagari dengan bambu runcing.
Penduduk Sorume akhirnya mengadakan sayembara untuk mendapatkan “umpan”. Siapa pun yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan garuda, ia akan diangkat menjadi bangsawan (bila ia budak) atau diangkat menjadi pemimpin negeri (bila ia bangsawan).
Seorang budak laki-laki bernama Tasahea akhirnya terpilih. Tasahea kemudian dibawa ke Padang Bende dan dipagari bambu runcing sesuai perintah Larumbalangi. Benar saja, garuda muncul dan berusaha melahap umpan di tengah padang, tapi tubuh dan sayapnya terkena bambu runcing.
Saat itulah Tasahea segera menghunuskan bambu runcing ke garuda sampai burung tersebut menjerit kesakitan. Sang garuda terbang melarikan diri, tapi akhirnya mati dan jatuh di puncak gunung tinggi.
Sementara itu, para warga bersukacita dengan kemenangan mereka dan mengadakan pesta sampai tujuh hari tujuh malam. Di hari terakhir, tercium bau bangkai menyengat dan wabah penyakit mematikan mendadak tersebar. Seluruh tanaman dipenuhi ulat dan gagal panen, penduduk pun banyak yang akhirnya mati kelaparan.
Penduduk akhirnya kembali mendatangi Larumbalangi untuk meminta bantuan. Larumbalangi pun berdoa agar Tuhan menurunkan hujan deras di Sorume demi menghanyutkan bangkai burung garuda dari atas gunung. Doa tersebut dikabulkan dan turunlah hujan deras yang menyebabkan banjir besar.
Bangkai garuda telah hanyut, begitu pula dengan ulat dan wabah yang menimpa Sorume. Setelah itu, Gunung tempat jatuhnya burung garuda dinamai Gunung Mekongga yang bermakna tempat matinya elang besar atau garuda.
Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Suku Tolaki ini memiliki pesan moral bahwa kita tidak boleh berputus asa dan selalu berusaha mencari jalan keluar atas permasalahan yang terjadi. Cerita ini juga mengajarkan keberanian, persatuan, gotong royong, serta mementingkan keharmonisan dengan alam.
3. Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara: Oheo
Oheo adalah seorang pemuda yang tak sengaja melihat tujuh putri dari kayangan sedang mandi di sungai. Oheo kemudian mengambil salah satu sarungga-ngguluri (sejenis pakaian terbang) dan menyembunyikannya di lubang ujung kasau bambu.Saat putri kayangan selesai mandi, mereka langsung mengenakan pakaian dan terbang pulang. Namun, si bungsu yang bernama Anawaingguluri tidak menemukan sarungganya. Ia kemudian bertemu dengan Oheo dan menanyakan di mana pakaian miliknya.
Oheo bersedia mengembalikan pakaian terbang milik Anawaingguluri asalkan putri kayangan tersebut mau menikahinya. Anawaingguluri pun menyetujuinya, tapi ia mengajukan syarat bahwa jika mereka memiliki anak, ia tidak mau membersihkan kotorannya. Oheo menyetujui syarat tersebut dan berjanji tidak akan melanggarnya.
Namun, setelah keduanya menikah dan punya anak, Oheo justru tidak menepati janjinya sendiri. Anawaingguluri yang sedih kemudian menemukan sarungganya dan memutuskan pulang ke kayangan, meninggalkan Oheo yang sedih dan kebingungan karena harus mengurus anak.
Oheo meminta tolong kepada siapa pun agar diantar ke kayangan, tapi tidak ada yang mau. Saat itulah Ue-Wai (sejenis tumbuhan rotan liar) menyanggupinya. Oheo duduk di salah satu dahan Ue-Wai dan dahan tersebut terus tumbuh ke atas angkasa.
Oheo sampai di kayangan dan bertemu dengan Kepala Dewa. Kepala Dewa pun tidak mengizinkan Oheo masuk istana dan memberinya banyak tugas. Oheo melalui semua ujian dari Kepala Dewa hingga akhirnya bertemu dengan istrinya, Anawaingguluri, dan kembali ke bumi.
Cerita rakyat Sulawesi Tenggara ini memiliki sedikit kemiripan dengan kisah Jaka Tarub dari Jawa. Pesan moral dari kisah ini adalah kita harus mengutamakan kejujuran dan tidak boleh melanggar janji. Kisah ini juga mengajarkan bahwa akan ada risiko dari setiap perbuatan yang telah kita lakukan.
4. Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara: Asal-Usul Peredaran Matahari dan Bulan
Dahulu, matahari dan bulan memiliki anak. Matahari dan anaknya memancarkan panas yang sangat terik sehingga manusia dan hewan-hewan yang ada di bumi mengalami kesulitan untuk hidup. Saat itu, bulan sengaja mengurung dan menyembunyikan anak-anaknya, lalu melancarkan tipu muslihat pada matahari.Bulan membujuk matahari untuk segera memakan anak-anaknya. Bulan juga berkata bahwa ia sudah memakan anaknya sendiri. Hal ini dilakukan bulan agar matahari menjadi sendirian di angkasa dan agar kehidupan bumi terselamatkan.
Matahari rupanya terbujuk oleh bulan dan memakan anaknya. Setelah itu, bulan melepaskan anak-anaknya dari persembunyian, anak-anak bulan tersebut adalah bintang yang banyak tersebar di atas langit.
Mengetahui bahwa bulan berbohong padanya, matahari pun marah. Ia berusaha memburu bulan dan ingin memakannya, tapi bulan berhasil melarikan diri. Sejak itulah matahari dan bulan seolah tampak berkejaran. Di malam hari, bulan tampak bersama anak-anaknya (bintang), tapi kemudian “kabur” ketika matahari datang.
Legenda tentang asal-usul perederan matahari dan bulan ini memiliki pesan moral tersendiri, yaitu jangan mudah terhasut oleh ucapan orang lain agar tidak mengalami kerugian.
5. Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara: Kisah Sangia I Wambulu
Sangia I Wambulu adalah seorang laki-laki sabar yang sudah menikah. Suatu hari, ia pergi memancing sebagai salah satu upayanya dalam menghidupi keluarga kecilnya. Namun, sampai larut malam, Sangia I Wambulu tak kunjung mendapatkan ikan. Hari itu pun Sangia I Wambulu pulang dan sang istri menyambutnya dengan muka masam.Keesokan harinya, Sangia I Wambulu hendak pergi memancing lagi. Sang istri berpesan bahwa jika Sangia I Wambulu tidak berhasil menangkap ikan lagi, sebaiknya tidak usah pulang. Mendengar hal ini, Sangia I Wambulu pun berangkat memancing dengan hati resah, tapi bertekad untuk mendapatkan ikan agar istrinya senang.
Di tengah usahanya memancing ikan, seorang putri cantik tiba-tiba muncul di hadapan Sangia I Wambulu. Putri tersebut bertanya kenapa Sangia I Wambulu tampak susah dan pria itu pun menceritakan masalahnya.
Sang putri kemudian bersedia menolongnya, tapi saat itu juga Sangia I Wambulu pingsan. Saat pingsan, Sangia I Wambulu mendengar sebuah bisikan seolah sedang bermimpi. Ia kemudian menghafalkan bisikan itu dan siuman, sedang putri cantik tadi sudah pergi.
Setelah kejadian itu, Sangia I Wambulu kembali memancing sambil mengucapkan bisikan yang ia dapatkan dari pingsannya tadi. Saat itulah pancingnya terus mendapatkan ikan sampai sampannya penuh. Namun, sampannya justru terbalik dan ikan yang ditangkapnya kembali jatuh ke dalam air.
Sangia I Wambulu akhirnya pulang dengan bersedih hati. Seperti yang ia duga, sang istri yang tahu bahwa suaminya pulang dengan tangan hampa akhirnya meminta dipulangkan ke orang tuanya. Sangia I Wambulu pun menceritakan semuanya, termasuk kesaktian barunya.
Ia juga menyuruh sang istri memancing di mana saja untuk membuktikannya. Sang istri pun memancing di tempat-tempat yang mustahil seperti di dalam tempayan, tapi ia benar-benar bisa mendapatkan ikan. Tak hanya itu, di waktu yang sama, banyak ikan bermunculan di pinggir rumah sehingga sang istri langsung berusaha menangkapnya.
Ikan itu terus bermunculan sampai si istri kewalahan dan berteriak “koemo, koemo” yang artinya “berhentilah” kepada sang suami. Sangia I Wambulu kemudian meletakkan ikan-ikan tersebut di pelabuhan kampung Baruta dan menamainya ikan koe-koe.
Ini adalah cerita rakyat Buton, Sulawesi Tenggara, yang memiliki pesan moral untuk tidak pernah menyerah, terutama dalam bekerja untuk mencari nafkah. Kisah ini juga mengandung makna untuk selalu menjaga keutuhan rumah tangga, saling mendukung, serta saling percaya pada pasangan.
6. Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara: Asal Mula Batu Samboka-Mboka
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang ibu dengan dua anaknya di sebuah kampung di bukit tertinggi di Kaledupa. Si anak bungsu yang masih kecil diberi nama Wa Konduru. Nama ini diberikan karena saat ia lahir, sang ibu baru saja memetik hasil kebunnya, yaitu buah konduru.Suatu hari, sang ibu pergi berkebun lagi dan berpesan kepada anak pertama agar memasak konduru. Tanpa penjelasan apa-apa lagi, si ibu pergi, meninggalkan anak pertamanya yang sangat gelisah. Si anak pertama lalu menangis tersedu-sedu karena mengira sang ibu menyuruhnya memasak sang adik.
Karena takut dimarahi ibunya, si anak pertama akhirnya menggendong adiknya dan mulai membunuhnya agar bisa dimasak. Setelah semua selesai, ibunya pun pulang dan mengajak anaknya makan. Ia juga meminta si anak pertama untuk membangunkan adiknya.
Namun, si ibu terkejut ketika tahu kalau anak bungsunya telah mati dan dimasak. Ia pun murka dan mulai mengejar anak pertamanya dengan parang. Si anak pertama melarikan diri hingga akhirnya bertemu sebuah batu besar. Saat itulah ia memohon agar batu itu terbuka sehingga ia bisa bersembunyi di dalamnya.
Sambil menangis, si anak juga menyanyikan lagu yang berbunyi: “watu samboka-mboka, leka aku galigu aku” yang artinya “hai batu terbukalah, supaya aku dapat masuk dan tutuplah aku."
Batu itu akhirnya terbuka dan si anak buru-buru masuk ke dalamnya, tapi rambutnya yang panjang belum masuk semuanya sehingga tampak terkulai di luar batu. Sang ibu yang menemukannya pun langsung menyesal karena kini ia kehilangan dua orang anak. Konon, kabarnya batu ini masih ada dengan akar-akar yang menyerupai rambut.
Cerita rakyat Sulawesi Tenggara ini memiliki pesan moral untuk berhati-hati dalam mengerjakan sesuatu, termasuk menyuruh atau memberi perintah pada orang lain. Selain itu, kita tidak boleh terlalu emosi dalam menanggapi suatu masalah. Jika mengedepankan emosi, maka kitalah yang akan merugi dan kehilangan segalanya.
Cerita rakyat Sulawesi Tenggara merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Kisah-kisah ini tidak hanya mengajarkan tentang kehidupan, tetapi juga mencerminkan tradisi, adat istiadat, dan kepercayaan yang menjadi identitas masyarakat setempat.
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani