tirto.id - Penemuan radioaktif CS-137 di Cikande berawal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) yang mengeluarkan imbauan untuk tidak membeli dan mengonsumsi udang beku dari Indonesia.
Setelah imbauan terbit, pemerintah melakukan investigasi terhadap produk udang tersebut. Hasilnya, pemerintah menemukan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Cikande, Serang, Banten.
Investigasi ini dilakukan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), dan Tim Satuan Kimia, Biologi, Radiologi dan Nuklir (KBRN) Brimob
Kronologi Radioaktif CS-137 Ada di Cikande
Keberadaan zat radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern (KIM) Cikande, Kabupaten Serang, bermula dari temuan kontaminasi radiasi pada produk ekspor udang beku Indonesia oleh otoritas Amerika Serikat.
FDA di laman resminya mengeluarkan imbauan pada rakyat AS tidak lagi mengonsumsi produk udang beku dari Indonesia.
Temuan awal dilakukan oleh U.S. Customs and Border Protection (CBP) yang mendeteksi jejak Cs-137 dalam produk udang beku dari PT. Bahari Makmur Sejati (BMS Foods), perusahaan pengolah udang asal Indonesia, saat akan masuk ke pasar AS.
FDA kemudian memulai investigasi lanjutan dan menemukan indikasi bahwa produk tersebut melanggar Federal Food, Drug, and Cosmetic (FD&C) Act karena dianggap diproses, dikemas, atau disimpan dalam kondisi tidak higienis, sehingga berpotensi terkontaminasi Cs-137 dan menimbulkan resiko terhadap kesehatan konsumen.
Investigasi lintas kementerian yang dipimpin oleh BAPETEN, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta KLH/BPLH memastikan bahwa sumber cemaran bukan berasal dari laut atau tambak, melainkan dari aktivitas industri darat, khususnya fasilitas pengemasan PT BMS.
Pemeriksaan lebih lanjut oleh tim gabungan BAPETEN, BRIN, KLH/BPLH, dan satuan KBRN Brimob mengarah ke keberadaan logam bekas (scrap metal) yang mengandung Cs-137 di lokasi pengumpulan besi tua serta fasilitas PT Peter Metal Teknologi (PMT), yang kemudian ditetapkan sebagai lokasi penyimpanan sementara material terkontaminasi.
Pada 18 September 2025, BAPETEN memulai tahapan awal penanganan dengan mengukur volume material terkontaminasi, tingkat paparan radiasi, serta memetakan zona panas di area scrap dan PT PMT.
Puncaknya terjadi pada 23 September 2025, ketika tim satuan tanggap darurat dari BAPETEN bersama KLH, BRIN, dan Brimob melakukan pemindahan fisik sumber radioaktif Cs-137 dari titik-titik terkontaminasi ke tempat penyimpanan yang lebih aman.
Dalam proses tersebut, sejumlah material logam teridentifikasi telah digunakan oleh warga untuk keperluan bangunan tanpa menyadari bahayanya. Pemerintah kemudian memasang perimeter keamanan untuk membatasi akses warga dan mencegah penyebaran lebih lanjut.
Untuk mengetahui apakah pegawai PT BMS dan juga warga sekitar telah terkontaminasi Cs-137 atau belum, BAPETEN juga mengawasi pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kab. Serang, Puskesmas Cikande, RSUP Fatmawati, RS Kanker Dharmais, dan BRIN dengan metode Whole Body Counting (WBC).
Bagi warga yang terbukti mengalami kontaminasi internal, dilakukan treatment dengan pemberian pil Prussian Blue. Prussian Blue adalah agen pengikat radionuklida (terutama Cs-137), yang membantu mengeluarkan zat radioaktif dari tubuh melalui sistem pencernaan.
Apa Dampak Paparan Cs-137?
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) dalam laman resminya menggolongkan paparan Cs-137 sebagai bahaya besar.
1. Paparan Eksternal (dari luar tubuh):
Jika terkena dalam jumlah besar (misalnya dari kebocoran alat industri atau kecelakaan nuklir) dapat menyebabkan:- Bisa menyebabkan luka bakar akibat radiasi,
- Penyakit radiasi akut, bahkan
- Kematian.
2. Paparan Internal (masuk ke dalam tubuh):
Jika terhirup atau tertelan melalui makanan, minuman, atau udara terkontaminasi, maka Cs-137 masuk ke dalam jaringan lunak tubuh, terutama otot dan akan memancarkan radiasi gamma dari dalam tubuh.Dampaknya tidak langsung terasa, namun dalam jangka panjang bisa merusak DNA dan meningkatkan risiko kanker.
Penulis: Prihatini Wahyuningtyas
Editor: Dipna Videlia Putsanra
Masuk tirto.id


































